Pendahuluan
Strict liability atau pertanggungjawaban mutlak korporasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana tanpa perlu membuktikan adanya unsur kesalahan (mens rea) pada korporasi tersebut. Sehingga perbuatan yang dilarang dilakukan oleh korporasi, maka korporasi dapat dikenakan sanksi/hukuman tanpa perlu melihat ada niat jahat atau kelalaian dari pengurus atau anggota korporasi tersebut.
Terdapat kaidah hukum mengenai tanggung jawab mutlak atau strict liability dalam putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung. Kaidah hukum dalam putusan tersebut adalah tanggung jawab mutlak atau strict liability merupakan pertanggungjawaban yang dikenakan tanpa menilai adanya kesalahan, cukup dengan adanya kerugian yang timbul dan ada hubungan kausalitas.
Meskipun ada putusan pidana yang memutus bebas atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana lingkungan oleh korporasi, namun dalam perkara perdata tetap dimungkinkan korporasi tersebut dimintakan pertanggungjawaban karena sifat kegiatan usahanya yang menimbulkan risiko besar bagi lingkungan hidup.
Ringkasan Kasus Posisi, Pertimbangan Hukum PN, PT dan MA (PK Pertama)
Awal mula perkara adalah tergugat (PT Kumai Sentosa) adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 2358 hektare mengalami kebakaran. Kebakaran lahan itu, menyebabkan terjadinya kerusakan lahan gambut, sehingga penggugat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mengajukan gugatan untuk pemulihan lingkungan.
Pengadilan tingkat pertama (PN Pangkalan Bun) mengabulkan gugatan penggugat berdasarkan strict liability yaitu pertanggungjawaban mutlak tanpa perlu pembuktian penyebab kebakaran adalah akibat perbuatan/kesalahan tergugat, namun cukup membuktikan adanya kerugian yang terjadi dan adanya kausalitas antara kerugian akibat kebakaran tersebut.
Dengan adanya dua titik api, menyebabkan loncatan api dan tergugat tidak menerapkan sistem peringatan dini (early warning system) atau sistem deteksi dini (early detection system). Padahal, tergugat seharusnya menyediakan sarana prasarana seperti menara api, dengan menjaga level air 440 cm. Namun ternyata level air hanya 80-100 cm, yang mengindikasikan keringnya lahan gambut, sehingga rawan terbakar.
Atas gugatan tersebut, PN Pangkalan Bun mengabulkan gugatan penggugat yang pada pokoknya menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi materil ke kas negara sejumlah Rp175.179.930.000,00 dan tergugat dihukum pula melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup pada areal yang terbakar.
Selanjutnya, terhadap Putusan PN Pangkalan Bun tersebut, tergugat mengajukan banding dan PT Palangkaraya membatalkan putusan tingkat pertama tersebut dengan pertimbangan kebakaran terjadi di lahan tergugat yang sudah ditanami kelapa sawit. Sehingga, tidak mungkin tergugat membakar sendiri tanaman sawitnya.
Selain itu, terdapat fakta bahwa api berasal dari luar areal kebun tergugat yaitu,, dari Taman Nasional Tanjung Puting dan tergugat telah melakukan langkah antisipasi serta upaya pemadaman. Berdasarkan pertimbangan tersebut PT Palangkaraya membatalkan putusan PN Pangkalan Bun dan menolak gugatan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) untuk seluruhnya.
Penggugat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pertama dan pada pemeriksaan PK pertama Mahkamah Agung membatalkan Putusan PT Palangkaraya tersebut.
Majelis Hakim PK Pertama dalam pertimbangannya berpendapat, strict liability dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, keduanya masih tetap mengesampingkan unsur kesalahan dalam penerapan pertanggungjawaban mutlak. Putusan PT Palangkaraya yang mempertimbangkan kebakaran berasal dari Taman Nasional Tanjung Putting adalah keliru karena bertentangan dengan hakikat tanggung jawab mutlak.
Majelis Hakim menyatakan secara normatif tanggung jawab mutlak pada pokoknya adalah pertanggungjawaban yang dikenakan tanpa menilai adanya kesalahan. Bahwa telah terbukti kebakaran terjadi di areal yang dikuasai oleh tergugat. Seehingga, Tergugat harus bertanggung jawab.
Dalam PK Pertama ini Majelis Hakim kembali menjatuhkan putusan sebagaimana putusan PN Pangkalan Bun.
Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan PK Kedua
Tergugat kembali mengajukan PK Kedua atas putusan PK Pertama, dengan alasan adanya pertentangan putusan perdata yang menghukum tergugat membayar ganti kerugian dan melakukan tindakan pemulihan lingkungan dan terdapat putusan pidana yang membebaskan tergugat dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Putusan PN Pangkalan Bun Nomor 233/Pid.B/LH/2020/PN.Pbu. tanggal 17 Februari 2021 mendudukkan tergugat sebagai terdakwa dengan dugaan melakukan tindak pidana Pasal 98 ayat (1) juncto Pasal 91 huruf a juncto Pasal 119 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di mana tergugat dinyatakan tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa (PT Kumai Sentosa) dari segala dakwaan.
Putusan Peninjauan Kembali (PK) Kedua perkara Nomor 297 PK/Pdt/2024 tersebut, diperiksa dan diputuskan oleh I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H., dan Dr. H. Panji Widagdo, S.H., M.H., sebagai Anggota Majelis dengan klasifikasi tolak PK Kedua.
Alasan peninjauan kembali kedua tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti secara saksama memori PK Kedua dan kontra memori PK Kedua, serta dihubungkan dengan uutusan judex juris tidak ditemukan adanya dua putusan yang saling bertentangan antara pidana dan perdata.
Majelis Hakim menilai, meskipun ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang memutus bebas/tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh korporasi, namun dalam perkara perdata tetap dimungkinkan korporasi tersebut dimintakan pertanggungjawaban secara perdata karena sifat dari kegiatan usahanya yang menimbulkan risiko yang besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat. Sehingga, tanggung jawab tetap melekat pada pelaku usaha tersebut tanpa harus membuktikan adanya kesalahan (strict liability), sepanjang ada kerugian yang timbul dan ada kausalitas.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya melihat, pemohon PK Kedua (PT Kumai Sentosa) terbukti tidak melakukan usaha pemadaman yang maksimal di lokasi kegiatan usahanya.
Permohonan PK Kedua ini ditolak dengan pertimbangan tidak ada pertentangan putusan karena meskipun ada putusan pidana yang memutus bebas atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana oleh korporasi. Namun, dalam perkara perdata tetap dimungkinkan korporasi tersebut dimintakan pertanggungjawaban karena sifat kegiatan usahanya yang menimbulkan risiko besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
Dengan adanya putusan PK Kedua ini, maka pemohon PK Kedua (PT Kumai Sentosa) tetap dihukum untuk membayar ganti kerugian ke kas negara sebesar Rp175.179.930.000,00 dan juga melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup.
Dengan adanya putusan PK Kedua ini menjadi yurisprudensi yang dapat digunakan hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang sama dengan kaidah hukumnya, serta menjadi pemahaman bagi praktisi hukum, akademisi hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat pada umumnya.