Pembuktian dalam penyelesaian suatu perkara, memiliki kedudukan utama atau strategis. Dilaksanakannya pembuktian untuk menyelesaikan perkara, baik pidana, perdata, perdata agama, tata usaha negara dan pidana militer, guna menghindari tindakan sewenang-wenang atau kerancuan hukum, bilamana hakim memutus suatu perkara tanpa disertai alat bukti yang sah secara hukum (Subekti, 2008;2012).
Hukum acara perdata miliki sistem pembuktian yang berbeda dengan perkara pidana. Di mana, pembuktian pidana menganut stelsel negatif, berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tujuan pembuktian perkara perdata guna menemukan kebenaran yang didasarkan hal-hal formil. Adapun menurut Yahya Harahap, tidak diperlukan keyakinan hakim atas suatu pembuktian perdata, dan itu berbeda dengan penyelesaian perkara pidana. Di mana, setelah adanya pembuktian, hakim meyakini suatu kebenaran atau disebut beyond reasonable doubt (Yahya Harahap, 2007;498).
Walaupun tidak ada larangan bagi hakim menyelesaikan perkara perdata lewat cara menemukan kebenaran materil, selama didasarkan alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata. Beberapa alat bukti, perkara perdata, sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg, terdiri dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Mendukung sistem pembuktian perdata yang formalistik. Maka, alat bukti utama dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, adalah bukti tertulis atau surat. Bentuk bukti surat, yang memiliki nilai pembuktian terkuat adalah akta autentik, dikarenakan mengikat para pihak yang ada tercantum dalam akta tersebut, selama tidak dibuktikan sebaliknya, sesuai ketentuan Pasal 165 HIR/Pasal 285 Rbg.
Akta autentik pembuatannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Sedangkan untuk akta d ibawah tangan, yang dibuat para pihak, dapat memiliki kekuatan pembuktian seperti akta autentik, bilamana diakui kebenarannya oleh para pihak bersengketa, sebagaimana penjeasan Pasal 165 HIR.
Kemudian dalam hal pembuktian perkara perdata, dihadirkan putusan pengadilan. Termasuk yang diputus badan peradilan lainnya. Bagaimanakah kedudukannya dan nilai pembuktiannya secara hukum? Apakah putusan badan peradilan lainnya, merupakan akta autentik atau dibawah tangan?
Dalam rangka menjawab persoalan dimaksud, penulis akan menguraikan kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1793 K/Pdt/1993, yang diputuskan dalam persidangan untuk umum pada 16 September 1998. Adapun Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah menjadi landmark decision dan dapat diakses melalui Kompilasi Kaidah Hukum Putusan MA RI Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad (M. Ali Boediarto, 2006; 152).
Putusan ini diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Agung yang terdiri dari German Hoediarto, S.H. sebagai Ketua Majelis, didampingi oleh H. Tjung Abdul Mutalib, S.H. dan Paulus Wardojo, S.H. selaku Hakim Anggota. Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan, salinan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat diterima sebagai alat bukti yang sah di persidangan.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1687 K/Pdt/1998, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 29 September 1999 oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai S.O. Nainggolan, dengan anggota Ny. Hj. Marnis Kahar, S.H. dan R. Sunu Wahadi, S.H., dijelaskan bahwa salinan putusan dari badan peradilan lain-dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara-yang telah berkekuatan hukum tetap dan diajukan dalam perkara perdata, dapat dinilai sebagai bukti sempurna. Salinan tersebut bahkan memiliki kekuatan sebagai akta autentik dalam proses pembuktian.
Demikian juga, kaidah hukum tersebut diperkuat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 83 PK/N/2002 tanggal 28 Januari 2002, yang diputus oleh Majelis Hakim Agung yang terdiri dari H. Soekirno, S.H. sebagai Ketua Majelis, dengan didampingi H. Abijoto, S.H. dan H. Abdul Kadir Mappong, S.H. Putusan ini kembali menegaskan, salinan putusan berkekuatan hukum tetap memiliki nilai pembuktian yang kuat dalam perkara perdata.
Putusan ini menjadi salah satu landmark decision penting dalam praktik hukum pembuktian perkara perdata di Indonesia, mempertegas posisi hukum dari salinan putusan yang telah inkracht sebagai bukti yang sah dan mengikat.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi para hakim dalam mengadili perkara serupa, khususnya dalam sengketa perdata, yang gunakan bukti surat putusan pengadilan. Demikian juga, dapat menjadi tambahan referensi bagi para pembacanya.
Sumber Referensi
- Subekti, 2008, Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita: Jakarta
- Harahap, M Yahya, 2007, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika: Jakarta
- Boediarto, M. Ali, 2006, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan MA RI Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, Swara Justitia: Jakarta
- HIR (Herziene Inlandsch Reglement)
- Rbg (Rechtreglement voor de Buitengewesten)