Hukum dan Luka Sosial: Menimbang Keadilan dari Sisi yang Terluka

Reformasi hukum yang sejati adalah ketika hukum mampu menyentuh sisi-sisi terdalam dari luka sosial. Ketika hukum mulai menimbang keadilan dari sisi yang terluka, maka keadilan tak lagi menjadi kemewahan, tetapi kebutuhan yang dirasakan setiap warga negara.
Ilustrasi hukum untuk mendapatkan keadilan. Foto pixabay.com
Ilustrasi hukum untuk mendapatkan keadilan. Foto pixabay.com

Tidak semua luka dapat dilihat dengan mata. Ada luka yang hidup di tengah masyarakat, dalam diam, dan tetap berdarah meski hukum telah bicara. Luka sosial semacam ini kerap lahir dari ketimpangan, ketidakadilan, dan pengabaian terhadap nilai kemanusiaan yang mendasar.

Hukum seharusnya menjadi alat penyembuh luka, bukan pelengkap penderitaan. Namun dalam kenyataannya, tak sedikit norma hukum yang justru memperdalam luka yang telah ada. Ketika hukum tidak memahami penderitaan sosial, keadilan hanya menjadi bayangan samar.

Keadilan harus diukur bukan dari perspektif yang kuat, tetapi dari mereka yang terluka. Di sanalah letak kebenaran yang otentik. Hukum yang baik tidak hanya mendengarkan, tetapi memahami luka dan mencoba menenun pengobatan melalui putusan yang bijak.

Kehadiran hukum progresif memberi napas baru. Ia tidak hanya memutus perkara, tetapi menyelami konteks sosial. Ia mencoba memahami realitas dari kacamata mereka yang menderita, bukan hanya dari pasal yang tertulis. Inilah semangat hukum yang hidup dan menyembuhkan.

Hukum tidak boleh netral terhadap ketidakadilan. Netralitas dalam situasi yang timpang hanya akan memperkuat posisi penindas. Di sinilah pentingnya menimbang keadilan dari sisi yang terluka, karena di sana terdapat kepekaan moral yang lebih tajam dari sekadar logika legal.

Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang memberi ruang bagi suara yang terpinggirkan. Maka hukum pun harus menjadi ruang aman, bukan alat represi. Sebab hukum yang baik bukan yang membuat orang takut, tetapi yang membuat orang terlindungi.

Luka sosial tidak cukup disembuhkan dengan ganti rugi materi. Ia membutuhkan pengakuan, pemulihan martabat, dan kesempatan untuk membangun kembali kehidupan. Hukum harus menjadi jembatan bagi semua itu, bukan hanya pengatur hak dan kewajiban yang kering.

Dalam tradisi keagamaan, hukum dan kasih berjalan beriringan. Keadilan bukan hanya soal benar atau salah, tetapi soal mengangkat mereka yang jatuh dan menyeka air mata mereka yang tertindas. Hukum yang demikian menjadi bagian dari ibadah dan amal sosial yang luhur.

Tantangan hukum modern adalah menghindari dehumanisasi. Ketika hukum kehilangan sentuhan moral, ia menjadi mekanisme yang buta terhadap penderitaan. Maka pembaruan hukum bukan hanya soal peraturan, tetapi tentang membangkitkan nurani dalam setiap tafsir dan keputusan.

Reformasi hukum yang sejati adalah ketika hukum mampu menyentuh sisi-sisi terdalam dari luka sosial. Ketika hukum mulai menimbang keadilan dari sisi yang terluka, maka keadilan tak lagi menjadi kemewahan, tetapi kebutuhan yang dirasakan setiap warga negara.

Sebagai alat transformasi sosial, hukum harus berpihak kepada yang lemah, bukan memperkuat dominasi. Di situlah letak keagungannya. Hukum menjadi cahaya penerang bagi yang terabaikan, bukan palu yang memukul yang tak berdaya.

Dari semua ini, ada harapan bahwa hukum yang adil adalah hukum yang hidup dalam nurani. Ia tidak sekadar bicara pasal, tetapi berbicara melalui cinta kasih terhadap sesama. Dan dalam cinta yang demikian, luka sosial pun mulai menemukan jalan pulihnya.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews