Saat hukum berbicara dengan pasal-pasal, sementara air mata menyampaikan luka dan derita yang tidak terlihat. Di ruang sidang yang hening, suara tangis tenggelam oleh ketukan palu yang dingin. Prosedur berjalan dengan rapi, tetapi rasa sakit tidak selalu terwakili ketentuan, yang tercatat. Di sinilah hukum diuji, bukan dalam kesempurnaan teks, tetapi kemampuannya menyentuh sisi kemanusiaan.
Hukum dirancang menciptakan ketertiban dan keadilan. Namun, keadilan bukan sekadar hasil formula normatif. Wujudnya tumbuh dari pemahaman, empati dan kemampuan mendengarkan luka yang tersembunyi, di balik kronologi peristiwa. Ketika hukum tidak sanggup membaca air mata, maka bentuknya berisiko, jadi sistem tanpa jiwa.
Dalam kasus kekerasan rumah tangga, sering kali korban datang membawa trauma, bukan bukti fisik semata. Prosedur menuntut visum, saksi, atau pengakuan tertulis. Namun, tidak semua luka, dapat dibuktikan secara medis. Terkadang, yang dibawa hanya diam dan tatapan kosong. Di titik itu, apakah hukum mampu berbicara dengan hati?
Hukum miliki perangkat, tahapan dan batasan. Tetapi luka manusia, tidak berjalan sesuai prosedur. Bentuknya, dapat meledak tidak terduga, mengalir di malam sepi, dan membekas, jauh lebih lama dari vonis yang dijatuhkan. Inilah dimensi, yang tidak selalu diakomodasi mekanisme legal.
Terdapat kebutuhan mendesak hadirkan pendekatan yang lebih holistik. Restorative justice, misalnya, menawarkan ruang bagi korban untuk berbicara, bukan hanya sebagai alat bukti. Wujudnya membuka jalan bagi penyembuhan, bukan sekadar penghukuman. Di sinilah hukum mendekati air mata, bukan menjauhinya.
Namun faktanya, banyak korban merasa sendirian dalam proses hukum. Mereka datang penuh harapan, tetapi pulang dengan kecewa. Hukum bicara teknis, sedangkan korban bicara rasa. Ketimpangan ini, tidak boleh dianggap remeh. Ia bisa menjadi jurang antara hukum yang hidup dan hukum yang mati dalam formalitas.
Tugas para pelaku hukum, bukan hanya memastikan prosedur berjalan, tetapi juga membuka ruang rasa. Para pekerja hukum dipanggil, untuk lebih dari sekadar menjalankan profesi. Mereka adalah penjaga nurani hukum, yang wajib membaca luka, bukan hanya membaca berkas.
Dalam sistem hukum, harus terdapat ruang belas kasih. Adapun belas kasih bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral. Wujudnya menyentuh mereka yang terpinggirkan, yang tidak sanggup bersuara dan hanya bisa menangis dalam diam. Air mata bukan pengganti bukti, tetapi petunjuk adanya luka, yang menuntut keadilan.
Keadilan sejati, bukan sekadar menghitung salah dan benar, tetapi mengobati sakit dan memulihkan yang terluka. Keadilan hukum, adalah hukum yang peduli. Bukan hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada korban. Bukan hanya prosedur, tetapi juga pada penderitaan.
Dalam konteks inilah, hukum perlu direfleksikan secara mendalam. Apakah ia masih menyapa mereka yang lemah? Apakah cukup lentur mengakomodasi air mata? Ataukah telah menjadi menara gading, yang tidak terjangkau jeritan manusia biasa?
Keadilan bukan menara, tetapi rumah. Rumah bagi mereka yang mencari harapan. Rumah bagi mereka yang terluka, serta rumah itu, tidak cukup hanya dengan fondasi hukum. Bentuknya perlu dihiasi dengan empati, dihuni nurani, dan diterangi cahaya kasih.
Air mata tidak harus menjadi simbol ketidakberdayaan. Wujudnya dapat berupa suara paling jujur dan nyaring dalam persidangan. Suara yang mengingatkan, hukum harus melihat, bukan hanya membaca. Harus mendengar, bukan terbatas menilai. Harus merasa, bukan sekedar menimbang.
Ketika hukum dapat meresapi makna air mata, maka wujudnya telah melampaui formalitas. Hukum telah menjelma sebagai pelita dalam kegelapan, pelukan dalam dinginnya prosedur, dan jembatan antara rasa sakit, serta keadilan.
Air mata tidak butuh dikasihani dan hanya butuh dimengerti. Hukum yang mengerti air mata, telah menemukan jiwanya kembali. Hukum yang tidak sekadar bicara tentang siapa benar dan siapa salah, tapi tentang sosok yang terluka dan harus disembuhkan.
Dengan demikian, keadilan bukan hanya soal vonis, tetapi juga penyembuhan. Tentang keberanian melihat luka, dan ketulusan hadir di sana. Hukum harus mampu menyembuhkan luka, agar benar-benar jadi cahaya bagi kehidupan, bukan sekadar sistem negara.