“‘To own’ is transitive; the object of ownership is always spoken of as a ‘thing’ in the legal sense, a res. There is, clearly, a close connexion between the idea of ownership and the idea of things owned, as is shown by the use of words such as ‘property’ to designate both.”
A.M. Honoré (“Ownership”, dalam Oxford Essays in Jurisprudence).
Sinkhole terjadi ketika daerah kapur (karst) mengalami penggerusan terutama oleh pengosongan air tanah secara masif. Fenomena ini, sebenarnya bisa terjadi secara alami (seperti di daerah Yucátan, Meksiko); namun demikian, dengan semakin gencarnya kebutuhan akan air bersih, eksploitasi air tanah melebihi daya dukungnya menjadi sulit dihindari, terutama bila yang menjadi pertimbangan adalah biaya dan laba.
Tanah yang amblas dapat menelan satu atau sekaligus beberapa bangunan, dan mengakibatkan hilangnya properti individu. Masalahnya, persis seperti kasus pencemaran PFOA (perfluorooctanoic acid-asam perfluoroktanoik) yang menimpa Negara Bagian West Virginia dan Ohio (Bilott, 2020), Amerika Serikat, hukum selalu datang terlambat terutama saat berhadapan dengan teknologi paling aktual. Perusahaan yang mengekstrak air tanah bekerja secara legal; namun demikian, dampak destruktifnya baru bisa diketahui kemudian.
Iuris Italia dari Abad Pertengahan, Accursius (1589), memperkenalkan prinsip kepemilikan tanah sebagai cuius est solum, eius est usque ad coelum et ad inferos (siapapun yang memiliki tanah [solum], langit [coelum] dan yang ada di bawahnya [inferos] sepenuhnya menjadi penguasaannya). Maksim ad coelum et ad inferos ini, semakin sulit diterapkan saat teknologi memungkinkan pihak tertentu, entah negara atau swasta, untuk memanfaatkan air tanah di kedalaman yang tidak mungkin dilakukan oleh perorangan. Filsuf Inggris yang menjadi titik tolak pemikiran filsafat hukum, John Locke (1988), mengatakan, siapapun yang bekerja keras untuk mengolah tanah berhak memiliki dan mendaulatnya sebagai hak miliknya. Namun demikian, seperti gagasan Accursius, pemikiran Locke juga problematis saat dihadapkan dengan fenomena sinkhole.
Risiko dalam Kolektivitas
Sosiolog Gareth Hardin (1968) memberi ilustrasi tentang kolektivitas yang mencederai (harm) secara tidak sengaja. Hardin memberi nama fenomena ini “tragedy of the commons” (tragedi dalam kolektivitas manusia). Menurut Hardin, tidak ada yang salah dengan menggembalakan hewan ternak.
Namun demikian, bila hewan ternak yang digembalakan melewati batasan daya dukung ladang penggembalaan, maka yang terjadi adalah desertifikasi (penggurunan) lahan. Daerah tandus akan memicu efek domino penurunan yang curah hujan yang makin lama semakin luas dampaknya. Gurun Sahara di Afrika adalah contoh nyata dari tragedi semacam ini.
Analisis Hardin dapat kita lihat pula dalam turisme berlebihan (over-tourism). Sebuah tempat wisata memiliki batasan daya dukung yang tidak dapat diabaikan (UNWTO-United Nations World Tourism Organization/Badan PBB untuk Pariwisata Internasional, 2024).
Aktivitas pariwisata yang berkesinambungan (sustainable) harus memperhatikan indeks daya dukung yang dikenal dengan istilah carrying capacity atau kapasitas kunjungan (Kennell, 2016), sekalipun terkesan tidak berbahaya (harmless). Para wisatawan jelas tidak memiliki intensi merusak destinasi liburan mereka, namun dalam skala tertentu (the commons), turisme bisa mengancam keberlangsungn tempat wisata.
Tragedi sinkhole, dataran dengan luas tertentu yang amblas begitu saja ke perut Bumi, juga menjadi bagian dari tragedy of the commons. Satu perusahaan penyedia air minum mungkin tidak memberi dampak negatif apapun terhadap lingkungan, selama ekstraksi mereka belum melampaui daya dukung. Namun bila belasan perusahaan serupa melakukan hal yang sama di wilayah berbasis kapur, aktivitas wajar seperti mengambil air tanah menjadi tindakan pencederaan terhadap pemilik properti. Seturut pemikiran filsuf kajian moral Iris Marion Young (2011), ketidakadilan struktural yang menimpa pemilik lahan yang amblas menyaratkan pihak-pihak terkait (seperti pemerintah dan perusahaan) untuk memberikan relokasi, kompensasi, dan zonasi ulang atas kehilangan tersebut.
Pengkaji studi etika lainnya, David Miller (2007), mencatat bahwa kelalaian berbagai pihak (dalam kasus sinkhole misalnya pemerintah setempat, perusahaan operator, dan tata kota) untuk bertindak secara kolektif dalam menjamin hak warga negara memunculkan kewajiban yang bersifat mengikat sekalipun tidak ada intensi dari pihak-pihak tersebut untuk melakukan tindak pencederaan (harm).
Hohfeld dan Pencederaan Hak Milik Relasional
Berbeda dengan pandangan John Locke tentang kepemilikan absolut-yang awalnya digunakan untuk membenarkan aneksasi wilayah suku-suku asli di Benua Amerika-pakar hukum Universitas Yale, Wesley Newcomb Hohfeld (1913), melihat konsep kepemilikan secara relasional, bukan absolut.
Menurut Hohfeld, hak kepemilikan dapat dipahami melalui empat dimensi utama:
1. Klaim (Claim-right)
Pemilik lahan memiliki hak untuk mengecualikan pihak lain dari properti tersebut. Sebaliknya, pihak yang bukan pemilik memiliki kewajiban untuk tidak memasuki atau menggunakan area tersebut.
2. Privilese (Privilege)
Pemilik tanah memiliki kebebasan penuh untuk menggunakan lahannya tanpa bisa dihentikan oleh alasan apa pun. Pihak nonpemilik memiliki kewajiban untuk menghormati dan mendukung hak ini.
3. Penguasaan (Power)
Pemilik berhak menjual, memindahtangankan, atau mempertahankan tanahnya. Pihak yang tidak memiliki hak kepemilikan tidak berwenang melakukan transaksi atau pengalihan atas tanah tersebut.
4. Imunitas (Immunity)
Pemilik properti tidak dapat diusir secara sah dari tanah miliknya. Pihak lain tidak memiliki wewenang hukum untuk mengusir atau memaksa pemilik meninggalkan tanah tersebut.
Pendekatan Hohfeld ini, memberikan kerangka hukum yang lebih terperinci, menekankan hubungan hak dan kewajiban antara pemilik dan nonpemilik, serta membantu memahami perlindungan hukum terhadap hak atas tanah secara lebih komprehensif.
Dalam prinsip logika relasional yang diajukan Hohfeld, pemilik tanah yang amblas karena praktik eksploitasi air tanah kehilangan keempat hubungan relasional tersebut. Tanah yang amblas, tidak dapat dipergunakan untuk mengeksklusi yang lain. Sang pemilik juga tidak dapat lagi mempergunakan tanahnya. Ia juga tidak lagi dapat menjualnya. Terakhir, ia tidak lagi tidak dapat diusir dari tanah yang ia miliki.
Dalam kerangka pemikiran Hohfeld, pemilik properti dapat menggugat ke otoritas yang menyebabkan ia kehilangan disposisi legal-relasionalnya. Berbeda dengan model klaim hak kepemilikan Locke yang ditautkan pada tanah, dalam model relasional Hohfeld hak tersebut diikatkan potensi yang dimiliki seseorang yang dimulai saat kontrak jual-beli properti disahkan. Karena negara menciptakan pola relasi tersebut dengan otoritasnya, maka pemilik tanah yang amblas oleh peristiwa sinkhole dicederai relasionalitasnya. Logika biner relasional yang ditawarkan Hohfeld sejalan dengan prinsip ad coelum et ad inferos dari Accursius.
Filsuf hukum A.M. Honoré menjelaskan, elemen-elemen dalam kepemilikan (ownership). Adalah sebagai berikut: “the right to possess, the right to use, the right to manage, the right to the income of the thing, the right to the capital, the right to security, the rights or incidents of transmissibility and absence of term, the prohibition of harmful use, liability to execution, and the incident of residuarity” (hak untuk memiliki, hak untuk menggunakan, hak untuk mengelola, hak atas pendapatan, hak atas kapital benda, hak atas jaminan kepemilikan, hak atau insiden mengenai keteralihan dan ketiadaan batas waktu, larangan atas penggunaan yang merugikan, tanggung jawab atas eksekusi, dan insiden residuaritas) (Honoré, 1961:113).
Dalam garis pemikiran Honoré tersebut, pihak yang dirugikan karena terjadi amblasnya tanah dan bangunan yang ia miliki sebagai akibat eksploitasi air tanah kehilangan haknya, sebagaimana yang digagas oleh Hohfeld.
Kelindan Kepemilikan dan Transisi Ekologi
Kasus LeBlanc et al. v. Texas Brine Co., 5th Cir. No. 20-30208 (2021) adalah contoh yang tepat, bila kita membahas tentang hak kepemilikan dan tragedi ekologis yang disebabkan oleh manusia. Pada 3 Agustus 2012, sinkhole berukuran 28 kali lapangan sepak bola muncul di Bayou Corne, Negara Bagian Louisiana.
Amblasnya area tersebut, merengut tanah dan bangunan dari masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Penyelidikan menunjukkan, bencana tersebut disebabkan oleh aktivitas penambangan bawah tanah yang dilakukan oleh perusahaan bernama Texas Brine.
Penduduk yang menjadi korban dari kegiatan ekstraktif tersebut kemudian menggugat Texas Brine ke pengadilan dan akhirnya memenangkan ganti rugi sebesar 48,1 juta dolar (WDSU, 9 April 2014). Semula, perusahaan yang bersangkutan mencoba memindahkan tanggung jawabnya ke perusahaan asuransi bernama Zurich, namun lembaga asuransi tersebut menolak dengan alasan sinkhole terjadi beberapa bulan setelah batas kontrak pada 1 Maret 2012 berakhir.
Dalam menghadapi dinamika ekologis yang semakin kompleks, konsep kepemilikan tidak lagi dapat direduksi hanya pada relasi privat antara individu dan benda. Kepemilikan adalah produk konstruksi institusional yang dibentuk melalui norma hukum, legitimasi sosial, dan daya dukung ekologis yang saling terkait.
Ketika hak milik secara substansial kehilangan fungsi-fungsi dasarnya baik secara fungsional (seperti kehilangan hak guna atau nilai ekonomi), maupun secara relasional (seperti terputusnya klaim dan jaminan), maka negara sebagai penyelenggara hukum turut bertanggung jawab atas keretakan struktur legal tersebut.
Dalam konteks krisis lingkungan seperti sinkhole, eksploitasi sumber daya oleh entitas legal yang sah justru dapat berujung pada ketidakadilan struktural terhadap pemilik lahan yang terdampak. Dengan demikian, kepemilikan dalam hukum harus dibaca secara progresif: tidak hanya menjamin perlindungan terhadap benda yang dimiliki, tetapi juga menata ulang peran negara dan kolektivitas dalam menjamin keberlanjutan hak milik di tengah transisi ekologi yang tak terhindarkan.