Yurisprudensi MA: Syarat Penjatuhan Sumpah Pemutus dalam Perkara Perdata

Berdasarkan Pasal 162 HIR/Pasal 282 Rbg dijelaskan bahwa alat bukti yang diajukan para pihak berperkara dinilai hakim, apakah mendukung atau tidak dalil yang disampaikan dalam proses jawab-menjawab
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Guna menentukan hasil penyelesaian perkara perdata di persidangan melalui penjatuhan putusan hakim, pembuktian yang diajukan para pihak memiliki peran utama.

Berdasarkan Pasal 162 HIR/Pasal 282 Rbg dijelaskan bahwa alat bukti yang diajukan para pihak berperkara dinilai hakim, apakah mendukung atau tidak dalil yang disampaikan dalam proses jawab-menjawab (gugatan sampai dengan duplik).

Hal tersebut selaras dengan prinsip pembuktian perkara perdata, yakni para pihak yang mendalilkan memiliki suatu hak keperdataan, menyampaikan suatu perbuatan yang menguatkan hak dimaksud, atau membantah hak keperdataan pihak lainnya, wajib membuktikan dalil tersebut (vide Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rbg).

Alat bukti dalam perkara perdata sendiri terdiri dari bukti surat (tertulis), saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah, sesuai ketentuan Pasal 284 Rbg/Pasal 164 HIR.

Selain diatur dalam hukum acara perdata (HIR/Rbg), jenis alat bukti perkara perdata tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata.

Salah satu alat bukti yang jarang digunakan dalam pembuktian perkara perdata adalah alat bukti sumpah.

Pasal 1929 KUHPerdata menegaskan terdapat dua bentuk sumpah sebagai alat bukti perkara perdata. Pertama, sumpah yang diperintahkan kepada pihak lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atau dikenal dengan sumpah pemutus (decisoir).

Kedua, sumpah yang oleh hakim berdasarkan jabatan dan kewenangannya memerintahkan salah satu pihak untuk mengambil sumpah (suppletoir).

Dua bentuk sumpah tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 177 HIR/Pasal 314 Rbg beserta penjelasannya.

Tata cara pengambilan sumpah dilakukan secara lisan pada persidangan dan di depan hakim yang memeriksa perkara (vide Pasal 1944 KUHPerdata). Namun, seandainya terdapat halangan yang sah, pengambilan sumpah dapat dikuasakan kepada salah satu hakim anggota dan dilakukan di rumah pihak yang mengambil sumpah, sebagaimana ketentuan Pasal 1944 dimaksud.

Mekanisme pengambilan sumpah wajib dilakukan di hadapan pihak lain, atau sesudah pihak itu dipanggil secara patut tetapi tidak hadir dalam persidangan pengambilan sumpah, sesuai Pasal 158 HIR/Pasal 185 Ayat 3 Rbg.

Kemudian, dalam suatu perkara bilamana satu pihak memerintahkan pihak lain mengucapkan sumpah pemutus atau decisoir, apakah terdapat keadaan tertentu yang menjadi syarat pengambilan sumpah pemutus?

Guna menjawab pertanyaan dimaksud, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 575 K/Sip/1973, yang diputus dalam persidangan terbuka untuk umum tanggal 4 Mei 1976 oleh Majelis Hakim Agung RI Dr. R. Santoso Poedjosoebroto, S.H. (Ketua Majelis) dengan didampingi oleh R. Saldiman Wirjatmo, S.H. dan Sri Widojati Wiratmo Soekito, S.H. (masing-masing sebagai hakim anggota).

Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 575 K/Sip/1973 menjelaskan bahwa permohonan sumpah decisoir (pemutus) hanya dapat dikabulkan bilamana dalam suatu perkara sama sekali tidak terdapat bukti-bukti.

Kaidah hukum tersebut selaras dengan ketentuan Pasal 1930 KUHPerdata.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 575 K/Sip/1973 telah ditetapkan sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung RI, sebagaimana tertuang dalam buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Seri II Hukum Perdata dan Acara Perdata.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews