Keseimbangan Hak Kreditur dan Debitur dalam Pelelangan Hak Tanggungan: Analisis Normatif dan Praktis

Hak tanggungan merupakan jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur dalam memperoleh pelunasan piutang apabila debitur wanprestasi.
Ilustrasi lelang. Foto : freepik.com
Ilustrasi lelang. Foto : freepik.com

Hak tanggungan merupakan jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur dalam memperoleh pelunasan piutang apabila debitur wanprestasi. 

Salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan hak tanggungan adalah pelelangan, yaitu penjualan barang jaminan melalui mekanisme lelang umum (parate eksekusi). 

Mekanisme pelelangan melalui parate eksekusi ini diyakini sebagai sarana yang cepat, sederhana, dan memberi kepastian hukum bagi kreditur. 

Namun, dalam praktiknya, pelelangan hak tanggungan tidak jarang menimbulkan persoalan, terutama terkait perlindungan kepentingan kreditur maupun debitur. 

Salah satu kelemahan yang paling sering dipersoalkan adalah penetapan harga limit yang terlalu rendah oleh penjual (dalam hal ini kreditur), sehingga merugikan debitur dan membuka peluang gugatan pembatalan lelang oleh debitur.

Kondisi tersebut memperlihatkan adanya dilema keadilan. Di satu sisi, kreditur seharusnya mendapat perlindungan maksimal karena hak tanggungan adalah hak kebendaan yang melekat dengan asas droit de preference dan droit de suite. 

Namun, perlindungan kreditur bisa menjadi lemah ketika hakim membatalkan lelang dengan alasan prosedural atau karena adanya ketidakwajaran harga. 

Di sisi lain, debitur juga memerlukan perlindungan agar tidak kehilangan aset berharga dengan cara yang bertentangan dengan prinsip proporsionalitas.

Secara normatif, pelelangan hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), khususnya Pasal 6 dan Pasal 20, yang memberi hak kepada kreditur untuk menjual objek jaminan melalui pelelangan umum apabila debitur cidera janji. 

Adapun mekanisme lelang tunduk pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (selanjutnya disebut PMK 122/2023).

Terkait penentuan nilai limit, Pasal 1 angka 55 jo. Pasal 12 ayat (1) PMK 122/2023 menyatakan bahwa salah satu tanggung jawab kreditur sebagai penjual adalah berkaitan dengan kebenaran formal dan materiel nilai limit. 

Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) PMK 122/2023 mengatur bahwa nilai limit ditetapkan berdasarkan laporan hasil penilaian oleh penilai, laporan hasil penaksiran oleh penaksir, atau harga perkiraan sendiri. 

Penilai dimaksud adalah penilai pemerintah pada DJKN atau penilai publik sesuai peraturan perundang-undangan, sedangkan penaksir merupakan pihak internal penjual atau pihak yang ditunjuk penjual dengan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Adapun harga perkiraan sendiri hanya berlaku untuk satu kali pelaksanaan lelang sukarela.

PMK 122/2023 juga berupaya membatasi kesewenang-wenangan kreditur dalam menentukan limit melalui Pasal 59, yang menyatakan bahwa nilai limit ditetapkan dengan rentang paling tinggi sama dengan nilai pasar dan paling rendah sama dengan nilai likuidasi. 

Namun, dalam praktiknya, ketentuan ini justru dapat menjadi celah untuk menjual objek jaminan hak tanggungan di bawah harga pasar. 

Pada pelelangan pertama, harga dimulai dari nilai pasar yang ditentukan oleh penjual. Penentuan harga pasar ini terkadang sudah lebih rendah daripada harga pasar sebenarnya. 

Bila pada pelelangan pertama objek lelang tidak laku, maka dapat dilakukan penurunan batas nilai limit hingga menyentuh batas paling rendah. Artinya, objek lelang berpotensi terjual jauh di bawah harga pasar.

Lebih lanjut, PMK 122/2023 memberi ruang pembatalan sebelum pelaksanaan lelang ataupun pada saat lelang dimulai. 

Pembatalan sebelum pelaksanaan lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dapat dilakukan oleh pejabat lelang berdasarkan permintaan penjual atau berdasarkan putusan pengadilan yang memerintahkan penundaan atau pembatalan lelang. Artinya, satu-satunya sarana bagi debitur untuk membatalkan pelaksanaan lelang adalah melalui gugatan di pengadilan. 

Sementara itu, pembatalan oleh pejabat lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 47 hanya berkaitan dengan tidak terpenuhinya persyaratan lelang secara formil. 

Pembatalan berkaitan dengan nilai limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf j hanya dapat dilakukan apabila nilai limit yang dicantumkan dalam pengumuman lelang tidak sesuai dengan surat penetapan nilai limit yang dibuat oleh penjual. 

Begitu juga dengan pembatalan terhadap pelaksanaan lelang yang telah dimulai sebagaimana diatur dalam Pasal 48. Apabila merujuk pada ketentuan tersebut, pembatalan oleh pejabat lelang hanya menyangkut aspek administratif.

Kerangka hukum tersebut memperlihatkan posisi debitur dalam mekanisme lelang hak tanggungan cukup lemah. Debitur tidak memiliki jaminan bahwa harga lelang sesuai dengan nilai pasar; debitur dapat kehilangan aset meski nilai utang lebih kecil daripada nilai jaminan; apabila harga lelang berada di bawah nilai utang, debitur tetap berkewajiban melunasi sisa utang; ruang keberatan sebelum lelang dilaksanakan sangat terbatas; serta posisi tawar debitur jauh lebih lemah dibandingkan kreditur. 

Sebaliknya, kreditur berada pada posisi dominan karena memiliki hak preferen serta inisiatif eksekusi. Lembaga lelang hanya bertindak sebagai fasilitator yang kewenangannya terbatas pada prosedur administratif dan tidak menyentuh persoalan keadilan substansial. 

Kondisi ini menciptakan asimetri struktural, karena desain hukum sejak awal memang lebih berpihak kepada kreditur sebagai motor utama perekonomian, sedangkan debitur diposisikan sebagai pihak yang lalai.

Dalam konteks ini, peran hakim menjadi sangat sentral. Hakim tidak hanya sekadar memeriksa legalitas prosedural, tetapi juga harus menilai keadilan substantif antara kepentingan kreditur, debitur, dan pihak ketiga (pemenang lelang).

Dalam putusannya, hakim tidak boleh semata-mata menilai apakah prosedur administrasi lelang telah dipatuhi, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek substantif, seperti kewajaran harga serta dampak kerugian bagi debitur, tanpa mengesampingkan kepastian hukum bagi kreditur. 

Mahkamah Agung melalui putusannya telah menjalankan fungsi ini. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1997 yang menjadi yurisprudensi penting, dinyatakan bahwa pelelangan dapat dibatalkan jika harga lelang jauh di bawah harga pasar atau jika pemenang lelang adalah pegawai dari pihak pemohon lelang, karena menimbulkan konflik kepentingan dan cacat etis. 

Hal serupa juga tampak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2868 K/Pdt/2018, di mana hakim mempertimbangkan harga limit yang tidak wajar sehingga risalah lelang dibatalkan.

Meski demikian, yang terpenting dari permasalahan lelang adalah penyelesaian dari hulu, yakni dari akar penyebabnya. Permasalahan fundamental terletak pada ketidaktepatan penilaian harga limit, kurangnya transparansi dalam pemberitahuan, serta terbatasnya ruang keberatan bagi debitur selain melalui gugatan di pengadilan. 

Oleh karena itu, diperlukan pembaruan hukum yang lebih menyeimbangkan kedudukan kreditur dan debitur.

Parate eksekusi tetap perlu dipertahankan agar kepastian hukum kreditur terjamin, tetapi mekanisme pelelangan harus diperkuat dengan regulasi yang lebih ketat, terutama terkait harga limit. 

Adapun beberapa konsep mekanisme pelaksanaan lelang yang dapat dijadikan opsi penyelesaian masalah penentuan nilai limit, yaitu:

  1. Apabila objek hak tanggungan akan dijual dengan harga yang jauh di bawah harga pasar, kreditur berkewajiban memberitahu debitur serta memberikan tenggat waktu agar debitur dapat menjual sendiri aset tersebut dengan harga yang lebih layak. Sebelum mengajukan permohonan lelang, kreditur wajib terlebih dahulu memberi kesempatan kepada debitur untuk melakukan penjualan secara mandiri dalam jangka waktu tertentu. Kesempatan ini dibuktikan dengan adanya permintaan dari debitur kepada kreditur untuk menjual objek hak tanggungan sendiri, serta adanya waktu yang diberikan kreditur kepada debitur untuk melakukan penjualan tersebut. Pengecualian dapat berlaku apabila terdapat kesepakatan antara para pihak dalam penyelesaian piutang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari sengketa lebih lanjut antara kreditur dan debitur.
  2. Penentuan harga limit sebaiknya tidak sepenuhnya menjadi kewenangan penjual, melainkan menjadi kewajiban pihak pelelang guna menjamin prinsip netralitas, keseimbangan, dan biaya ringan. Dalam hal ini, peran negara hadir untuk memberikan perlindungan kepada para pihak.
  3. Selain itu, perlu disediakan ruang bagi debitur untuk mengajukan keberatan apabila nilai limit dianggap tidak sesuai dengan nilai pasar, dengan melibatkan lembaga penilai atau penaksir independen sebagai pembanding. Transparansi dalam pemberitahuan lelang juga harus ditingkatkan agar jumlah peserta lelang lebih banyak, sehingga penawaran harga menjadi lebih optimal serta dapat mencegah adanya pembeli fiktif. Di samping itu, diperlukan pula mekanisme perlindungan hukum bagi pemenang lelang.

Dengan demikian, disamping hakim tetap berperan sebagai penjaga keseimbangan, namun regulasi yang lebih komprehensif akan mengurangi disparitas putusan dan menciptakan kepastian hukum yang lebih adil bagi kreditur maupun debitur.

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122/PMK.06/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 112 K/Pdt/1997.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2868 K/Pdt/2018.

Penulis: Anggraini
Editor: Tim MariNews