Refleksi Keadilan dalam Bilah Keris Sepang dan Relevansinya dengan Profesi Hakim

Seorang hakim, seperti halnya filosofi yang terkandung dalam Keris Sepang, harus mampu menegakkan keadilan tanpa terpengaruh oleh tekanan eksternal, kepentingan pribadi, atau kekuatan politik.
Keris sepang. Foto dokumentasi.pusaka keris
Keris sepang. Foto dokumentasi.pusaka keris

Warisan budaya Nusantara semakin pudar, terdesak oleh derasnya arus modernisasi yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Perkembangan teknologi serta pola hidup yang semakin pragmatis turut mempercepat pergeseran ini. Seolah terlupakan dan tersisih dari ruang kesadaran kolektif.

Namun, di antara jejak peninggalan sejarah yang nyaris sirna, masih ada warisan yang bertahan dan tetap memiliki makna mendalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Jawa yaitu Keris. Senjata tradisional yang bukan hanya sebagai alat tikam semata, tetapi juga pusaka yang mencerminkan nilai garis waktu sejarah, tradisi, seni, filosofi bahkan spiritual.

Secara etimologi, keris berasal dari kata kres yang diyakini sebagai onomatope yang menirukan bunyi senjata tikam saat menusuk atau menghunus. Istilah tersebut ditemukan dalam prasasti tertua yakni Prasasti Karang Tengah, sebuah prasasti perunggu yang berasal dari tahun 746 Saka. Seiring perkembangan zaman, kata kres mengalami perubahan menjadi keris dengan tetap mempertahankan makna yang berkaitan dengan bunyi serta fungsi sebagai senjata tikam dalam budaya nusantara.

Sejarah mencatat, keris telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat nusantara selama berabad-abad. Keberadaannya dapat ditelusuri sejak zaman kerajaan Hindu, Budha, Islam, kolonial hingga era paska kemerdekaan.

Bahkan, kemunculan keris menjadi penanda kemajuan pola pikir dalam penempaan logam. Pada masa itu, keris tidak hanya digunakan sebagai senjata dalam pertempuran, tetapi juga sebagai simbol status sosial, alat diplomasi, dan benda pusaka yang memiliki makna sakral.

Satu bilah keris dibuat dengan prosesi yang sangat panjang, rumit, dan sakral. Sehingga atas dasar kompleksitas dari makna dan prosesi pembuatan keris, tidak mengherankan jika UNESCO mengakui keris sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada 25 November 2005. 

Filosofi Keris Berdhapur Sepang

Bagi para pecinta tosan aji,  salah satu dhapur yang memiliki makna falsafah yang mendalam adalah Keris Sepang. Keris lurus yang memiliki bentuk sederhana namun sarat akan makna. Ciri khas utama dari Keris Sepang adalah bilahnya yang lurus dengan gandhik kanan kirinya yang simetris, melambangkan keseimbangan, kesetaraan, dan keadilan.

Simetris dalam bentuk keris ini mencerminkan prinsip bahwa dalam kehidupan, segala sesuatu harus berjalan dalam keselarasan, di mana tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, melainkan saling melengkapi dan menopang satu sama lain. Konsep ini sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa.

Nama sepang sendiri berasal dari kata “pang” yang dalam bahasa jawa memiliki arti cabang. Menggambarkan bagaimana sebuah pohon tumbuh dengan menopang semua cabangnya secara seimbang tanpa membeda-bedakan bagian mana yang lebih utama.

Filosofi ini mencerminkan prinsip keadilan, dimana seorang pemimpin atau individu harus mampu bersikap adil dalam segala hal, tanpa memihak atau memberikan keistimewaan yang tidak seharusnya kepada pihak tertentu. Sebuah pohon yang tumbuh dengan seimbang akan memberikan manfaat bagi seluruh bagiannya, dari akar, batang, cabang hingga daun. Begitu pula dalam kehidupan manusia, keseimbangan dalam berpikir dan bertindak menjadi kunci utama dalam menciptakan kehidupan yang selaras.

Sebagai pusaka yang diwariskan secara turun-temurun, Keris Sepang tidak hanya dihargai karena keindahan seninya, tetapi juga karena nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa memiliki Keris Sepang berarti membawa serta tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Oleh karena itu, keris ini sering dijadikan piandel (pegangan hidup) bagi mereka yang mengemban tugas besar, seperti pemimpin, tokoh masyarakat, atau siapa pun yang ingin menjalani hidup dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Sehingga dengan filosofi dan nilai luhur yang terkandung didalamnya, keris sepang bukan hanya sebatas senjata tikam tradisional, tetapi juga sebuah pusaka yang mengingatkan bahwa keadilan dan keseimbangan adalah dua pilar utama dalam kehidupan yang harus dijaga dan diterapkan dalam setiap tindakan dan keputusan.

Relevansi Keris Sepang dan Hakim

Dalam konteks dunia peradilan modern, filosofi yang terkandung dalam Keris Sepang memiliki relevansi yang sangat kuat dengan tugas dan tanggung jawab seorang hakim.

Hakim bukan hanya seorang penegak hukum sebagaimana amanah Undang-undang,tetapi juga penyeimbang antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Keris sepang dengan bentuknya yang lurus dan gandhik yang simetris, menggambarkan prinsip dasar yang harus dimiliki seorang hakim dalam menjalankan tugasnya yakni tegas dan tidak terpengaruh akan hal apapun dalam menegakan keadilan. Layaknya adagium Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakan keadilan meski langit akan runtuh).

Hakim dalam menjalankan tugasnya harus mampu mempertahankan sudut pandang objektifnya, tidak terpengaruh oleh tekanan dari pihak luar, baik itu dari pemegang kekuasaan, masyarakat, maupun kepentingan pribadi. Hal ini selaras dengan filosofi Keris Sepang, yang mencerminkan kestabilan dan keseimbangan. Sebuah keputusan yang diambil tidak boleh condong pada satu pihak saja, melainkan harus mempertimbangkan semua aspek hukum dengan penuh kebijaksanaan.

Simbol keseimbangan dalam Keris Sepang dapat dianalogikan dengan prinsip “equality before the law,” di mana setiap orang, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik, harus diperlakukan sama dihadapan hukum.

Oleh karenanya menurut penulis, filosofi Keris Sepang bukan hanya relevan dalam tatanan simbolisme historis, tetapi juga menjadi pengingat bagi para Hakim di era ini untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, keseimbangan, dan kebijaksanaan dalam menjalankan tugasnya.

Setiap putusan yang lahir bukan hanya berdampak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, tetapi juga menentukan bagaimana hukum dapat dihormati, diimplementasikan dan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Penutup 

Keris sepang bukan hanya sebilah pusaka, tetapi juga sebuah manifestasi dari nilai-nilai luhur yang relevan dengan dunia hukum, terutama dalam lingkup profesi seorang hakim.

Dalam gandhik yang simetris, keris ini melambangkan keseimbangan sebagai wujud ketidakberpihakan dan keadilan, prinsip utama yang harus dipegang teguh oleh setiap hakim dalam menjalankan tugasnya. Seorang hakim, seperti halnya filosofi yang terkandung dalam Keris Sepang, harus mampu menegakkan keadilan tanpa terpengaruh oleh tekanan eksternal, kepentingan pribadi, atau kekuatan politik. Ia harus berdiri tegak seperti bilah Keris Sepang yang lurus, menandakan integritas yang tak tergoyahkan dalam menghadapi berbagai kompleksitas hukum dan sosial.