Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum: Mana yang Harus Didahulukan?

Ketika hukum mampu menghadirkan rasa keadilan dalam realitas, maka di situlah hukum menemukan kehidupannya yang sejati, bukan hanya sebagai norma, melainkan sebagai pelindung kemanusiaan.
Ilustrasi menyemai keadilan. Foto dari ChatGPT
Ilustrasi menyemai keadilan. Foto dari ChatGPT

Di tengah derasnya perubahan zaman dan kompleksitas persoalan kehidupan, hukum dituntut hadir sebagai pelita yang menerangi jalan umat manusia. Namun seringkali, hukum menjadi medan tarik menarik antara tiga nilai utama, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Ketiganya bagai pilar penyangga bangunan hukum. Ketika satu ditinggikan, yang lain bisa goyah. Maka pertanyaannya menggema dengan lantang adalah, dalam praksis hukum, nilai mana yang semestinya berada di garda terdepan?

Keadilan merupakan inti dari keberadaan hukum, menjadi ruh yang menghidupkan setiap pasal dan aturan yang tertulis. Ia bukan sekadar tujuan formil, melainkan cerminan dari fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai ilahiah yang luhur. Ketika hukum kehilangan keadilannya, maka ia berubah menjadi sekadar susunan teks yang kering dan hampa makna.

Hukum yang mengabaikan keadilan tidak hanya gagal menjalankan fungsinya, tetapi juga kehilangan legitimasi spiritual dan moralnya. Oleh karena itu, keadilan harus senantiasa menjadi kompas utama dalam setiap proses penegakan hukum.

Namun, keadilan tidak bisa tegak tanpa kepastian. Kepastian hukum memberi arah dan ketenangan, memastikan setiap orang memahami hak dan kewajiban tanpa merasa digantung di ujung tombak kekuasaan. Kepastian hukum melindungi para pihak dari tipu daya dan kekaburan. Bila hukum bisa ditafsir sesuka hati, maka hukum kehilangan wataknya sebagai pelindung, dan berubah menjadi alat penindasan.

Kemanfaatan hukum juga tidak boleh dikesampingkan. Ia adalah jembatan antara norma dan realitas sosial. Hukum yang tidak membawa kemaslahatan akan menjadi beban, bukan penolong. Ketika hukum memudahkan masyarakat mengakses keadilan dan mengurangi penderitaan, di situlah kemanfaatan nyata terlihat. Karena itu, sebuah putusan harus memiliki daya guna bagi manusia. 

Ketiganya-keadilan, kepastian, dan kemanfaatan-bukanlah musuh yang saling meniadakan, melainkan sahabat yang harus dirangkul bersamaan. Namun dalam kondisi benturan, keadilan harus diberi tempat utama. Sebab keadilan adalah nilai yang hidup dalam fitrah manusia, yang tidak pernah lekang oleh waktu.

Menempatkan keadilan sebagai prioritas bukan berarti mengabaikan kepastian dan kemanfaatan. Justru sebaliknya, keadilan yang sejati akan mendorong hadirnya kepastian yang manusiawi dan kemanfaatan yang berakar pada kebajikan. Dalam tradisi hukum Islam, maqashid al-syari’ah menjadi panduan yang menekankan maslahat sebagai inti dari seluruh peraturan. Tapi maslahat tidak pernah bisa berdiri sendiri tanpa keadilan.

Di ruang sidang, keadilan sering kali berhadapan dengan teks undang-undang yang kaku. Hakim yang bijak tidak hanya membaca pasal-pasal hukum, tetapi juga mendengar suara nurani dan memahami ruh sosial di balik perkara. Seorang ibu yang menggugat nafkah untuk anaknya tidak hanya mencari angka, tetapi mencari keadilan. Jika hukum hanya memberikan angka tanpa empati, maka hukum kehilangan wajah kasih sayangnya.

Namun, keadilan yang tidak dilandasi kepastian dapat melahirkan kekacauan. Maka hukum harus tetap terikat pada struktur yang jelas dan bisa diprediksi. Kepastian menjauhkan dari kesewenang-wenangan. Hanya saja, kepastian hukum harus lentur terhadap dinamika nilai dan kondisi sosial. Kepastian yang keras dan tidak adaptif adalah kepastian yang mematikan rasa.

Adapun kemanfaatan adalah buah dari perpaduan keduanya. Hukum yang adil dan pasti akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat luas. Dalam konteks ini, hukum menjadi instrumen transformasi sosial. Ia bukan hanya alat kontrol, tetapi juga pendorong kebaikan, penyemai keseimbangan, dan penjaga martabat.

Maka dalam sistem hukum, dibutuhkan kebijaksanaan yang memadukan ketiganya dengan bijak. Tidak ada hukum yang benar-benar sempurna, tetapi hukum yang mengedepankan keadilan akan selalu lebih dekat pada nilai-nilai Tuhan. Sebab Allah adalah Maha Adil, dan keadilan adalah pantulan dari sifat-Nya yang agung.

Keadilan adalah kebutuhan jiwa manusia. Ia mendamaikan, menyejukkan, dan mengangkat harkat kehidupan. Keadilan adalah ruh yang menuntun hukum berjalan di jalan yang lurus. Maka dalam dilema nilai, keadilanlah yang harus diberi mahkota utama.

Itu bukan berarti hukum harus bersandar pada perasaan atau intuisi semata. Hukum tetap butuh aturan dan kerangka. Namun aturan yang tidak memberikan ruang bagi keadilan sejati akan ditolak oleh hati nurani masyarakat. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada hukum, itulah awal dari runtuhnya tatanan.

Sebaliknya, ketika hukum berpihak pada keadilan, meski terkadang menabrak formalitas, masyarakat akan tetap menaruh harapan dan kepercayaan. Harapan itu adalah fondasi dari ketertiban sosial yang sesungguhnya. Maka hukum bukan sekadar teks, melainkan cermin jiwa sebuah bangsa.

Hukum yang hanya mengejar kepastian akan menjadi mesin, hukum yang hanya mengejar kemanfaatan akan jadi oportunis. Tetapi hukum yang mengedepankan keadilan, niscaya menjadi cahaya. Cahaya itulah yang akan menerangi langkah-langkah masyarakat menuju kehidupan yang damai, tertib, dan bermartabat.

Dengan demikian, keadilan adalah panggilan jiwa yang tumbuh dari nurani, bukan sekadar produk dari kalkulasi legalistik. Ia meresap dalam kesadaran manusia dan menjadi ukuran utama dalam menilai benar atau salah, adil atau zalim. Ketika hukum mampu menghadirkan rasa keadilan dalam realitas, maka di situlah hukum menemukan kehidupannya yang sejati, bukan hanya sebagai norma, melainkan sebagai pelindung kemanusiaan. Dan di titik itulah, hukum menjelma menjadi wasilah rahmat bagi umat manusia, bukan sebagai alat penindasan.
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews