MARINews, Jakarta – Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI menyelenggarakan Diskusi publik bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium Prof. Abdul Kadir Muhammad – Universitas Lampung pada Kamis (18/12).
Kegiatan ini diawali sambutan oleh Rektor Universitas Lampung, Prof. Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A., IPM., ASEAN Eng., dihadiri oleh Kepala Badan Strajak Diklat Kumdil MA RI, Dr. H. Syamsul Arief, S.H., M.H. Ketua Komisi III DPR RI, Dr. Habiburokhman, S.H., M.H. Dirjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara MA RI, Marsda. Yuwono Agung Nugroho, S.H., M.H.. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Dr. M. Fakih, S.H., M.S., Aktivis Hak Asasi Manusia, Harris Azhar, S.H., M.A dan Akademisi Universitas Indonesia, Rocky Gerung.
Dalam paparannya, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H. menyatakan bahwa keadilan dapat ditegakkan bila pengadilan aman. "Keamanan pengadilan adalah pondasi yang menopang seluruh bangunan keadilan, tanpa jaminan keamanan baik fisik maupun digital proses peradilan akan kehilangan legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan melemah," ujar Sobandi.
Lanjutnya, Berdasarkan laporan Komisi Yudisial dalam kurun waktu 2015 hingga September 2025, terdapat 154 ancaman dan kekerasan terhadap hakim. Peristiwa di PN Jakarta Pusat tahun 2015 ketika pengacara menyerang seorang hakim dengan ikat pinggang, dan baru-baru ini sidang di PN Jakarta Utara bulan Februari 2025 berubah ricuh dikarenakan oknum pengacara yang menjadi terdakwa pencemaran nama baik menggebrak meja dan memprotes keras keputusan hakim yang menetapkan sidang dilakukan secara tertutup. Kejadian memuncak ketika salah satu tim kuasa hukum naik ke atas meja persidangan dan menginjaknya, hal ini menunjukkan bahwa sistem keamanan ruang sidang masih rapuh.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa keamanan pengadilan bukan semata-mata untuk melindungi hukum tetapi yang utama adalah melindungi pencari keadilan. "Masyarakat yang datang ke pengadilan membawa harapan, luka, dan sengketa yang ingin diselesaikan secara damai. Berhak merasa aman ketika memasuki ruang sidang berhak dilindungi dan dari intimidasi serta berhak menyaksikan proses hukum berjalan tanpa gangguan," tegasnya.
"Kita tidak sendiri dalam menghadapi tantangan ini, negara lain telah menempuh langkah-langkah yang bisa menjadi inspirasi. Di Kawasan Asean, Indonesia telah menetapkan Perma 5/2020, Malaysia memiliki court security (unit dibawah polis diraja Malaysia), Filipina membentuk court security division di bawah Mahkamah Agungnya. Selain itu MA telah membentuk badan cyber sendiri bekerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN)," tuturnya.
Diakhir acara, Sobandi berharap dengan pembentukan polisi khusus seperti US Marshall di Amerika Serikat dan forkom keamanan pengadilan (koordinasi lokal antara pengadilan, kepolisian, dan pemerintah daerah), sistem keamanan pengadilan harus diatur dalam Undang-Undang agar memiliki legitimasi politik, kepastian anggaran dan keberlanjutan kelembagaan.
"Mari kita jadikan keamanan pengadilan jadi agenda bersama dengan sistem yang terencana, berbasis resiko, didukung kelembagaan yang kuat dan payung hukum berupa undang-undang agar dapat melindungi hakim, aparatur, pencari keadilan. Dengan rasa aman, independensi hakim terjamin, bukan dimaknai hakim bebas, tetapi dimaknai hakim terlepas dari intervensi, ancaman, dan ikatan yang membelenggunya dalam menegakkan hukum dan keadilan," pungkasnya.



