Peradilan agama di Indonesia memegang peranan vital dalam menyelesaikan beragam perkara hukum keluarga Islam, mulai dari perceraian, waris, hingga ekonomi syariah. Dalam praktiknya, lembaga ini terikat pada koridor hukum positif yang formal, seperti Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, HIR, RBg, serta regulasi terkait lainnya.
Namun, sebagai bagian dari sistem peradilan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, muncul pertanyaan krusial: bagaimana prinsip-prinsip normatif Islam, khususnya maqashid syariah, dapat diintegrasikan secara lebih mendalam dalam proses penyelesaian sengketa demi keadilan yang lebih substantif?
Konsep maqashid syariah atau tujuan syariat, adalah pilar fundamental dalam hukum Islam. Ia memuat lima prinsip utama yang menjadi esensi keberadaan hukum Islam: menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal).
Dalam konteks hukum, maqashid syariah bukan sekadar etika normatif, melainkan sebuah pendekatan sistemik yang memastikan setiap aturan hukum berorientasi pada maslahat (mendatangkan kebaikan) dan mafsadah (menghindarkan kerusakan). Imam Asy-Syatibi, dalam kitab monumental Al-Muwafaqat, adalah salah satu ulama yang mengembangkan konsep ini secara komprehensif.
Kelima prinsip ini saling terkait erat, membentuk jalinan yang kokoh untuk mewujudkan keadilan, kemanusiaan, dan keseimbangan sosial. Dalam domain yuridis, maqashid menjadi parameter vital bagi hakim atau pembuat hukum. Ia berfungsi sebagai kompas moral untuk menafsirkan peraturan yang ambigu, menyelesaikan konflik antar norma, atau bahkan mengisi kekosongan hukum dengan pendekatan yang berpihak pada kemaslahatan umat.
Menjembatani Kesenjangan: Antara Hukum Formal dan Keadilan Substantif
Saat ini, hukum acara perdata di peradilan agama masih banyak mengacu pada hukum acara perdata umum (HIR/RBg) dengan tambahan Kompilasi Hukum Islam. Meskipun ini menjamin kesatuan sistem hukum nasional, pendekatan prosedural murni seringkali terasa kaku dan belum cukup memadai untuk menghadirkan keadilan substantif berbasis syariah.
Sebagai contoh, dalam perkara perceraian akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hukum acara mungkin menuntut bukti formil yang ketat. Namun, jika maqashid hifz al-nafs (menjaga jiwa) dan menjaga kehormatan perempuan dipertimbangkan, maka percepatan proses pemutusan hubungan dapat menjadi prioritas demi mencegah kerugian yang lebih besar. Ini adalah manifestasi dari teori hukum progresif yang melihat hukum sebagai alat adaptif untuk memperjuangkan keadilan, bukan sekadar teks formal.
Contoh lain terlihat dalam sengketa hak asuh anak pascaperceraian. Keputusan hakim seharusnya tidak hanya bertumpu pada bukti administratif. Dengan mempertimbangkan prinsip hifz al-nasl (menjaga keturunan) dan hifz al-nafs (menjaga jiwa), putusan harus mengedepankan kepentingan terbaik anak, misalnya dengan menempatkan anak bersama ibu jika kondisi fisik dan psikologisnya lebih terjamin, terlepas dari kondisi finansial ayah. Ini menjadikan maqashid syariah sebagai paradigma epistemologis yang membimbing hakim dalam menilai, menimbang, dan memutuskan perkara.
Dalam sistem hukum Islam, hakim memiliki otoritas besar untuk melakukan ijtihad yudisial dalam kasus-kasus yang tidak diatur secara eksplisit oleh hukum positif. Hal ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Oleh karena itu, maqashid syariah dapat berfungsi sebagai sumber hukum tidak tertulis yang memandu hakim menegakkan hukum secara adil. Integrasi ini bukan berarti mengabaikan hukum positif, melainkan memberikan dimensi etis dan humanistik dalam interpretasi yuridis.
Rekonsiliasi keluarga, misalnya, tidak hanya diupayakan karena perintah undang-undang, tetapi juga sebagai refleksi dari maqashid hifz al-nasl (menjaga keturunan) dan hifz al-din (menjaga harmoni rumah tangga sebagai institusi sakral). Upaya ini menjadi langkah strategis untuk menjaga keutuhan keluarga dan mencegah dampak negatif perceraian terhadap anak-anak dan struktur sosial.
Integrasi maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa di peradilan agama adalah langkah strategis untuk mewujudkan peradilan yang adil, beradab, dan selaras dengan nilai-nilai Islam. Prinsip-prinsip ini tidak hanya normatif, tetapi juga praktis, menjadi sumber penalaran hukum yang unggul di tengah kompleksitas masyarakat modern.
Melalui pemahaman dan penerapannya, hakim dapat menafsirkan hukum secara bijaksana, menjembatani kekakuan prosedur dengan kebutuhan keadilan substantif. Pada akhirnya, pendekatan ini diharapkan mampu memperkuat legitimasi peradilan agama sebagai institusi hukum yang tidak hanya sah secara legal, tetapi juga bermakna secara spiritual dan sosial.