Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan tahapan yang memiliki kedudukan yang sangat sentral. Melalui pembuktian, kebenaran materill dapat terwujud guna menentukan bagaimana arah suatu putusan hakim. Apakah terbukti atau tidak suatu perbuatan tindak pidana.
Dalam konteks ini, berbagai alat bukti sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan metode ilmiah digunakan untuk memastikan jika putusan hakim didasarkan pada keyakinan atas fakta hukum yang objektif, bukan semata dugaan, asumsi atau persepsi semata.
Salah satu instrumen yang menggunakan metode ilmiah dalam perkara kematian yang tidak wajar atau menimbulkan kecurigaan atas penyebab kematian adalah ekshumasi.
Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Ekshumasi
Secara terminologi ekshumasi berasal dari bahasa latin yakni ex yang artinya keluar dan humus yang artinya tanah. Sehingga ekshumasi memiliki pengertian keluar dari tanah. Sedangkan dalam Bahasa inggris ekshumasi berasal dari kata exhume yang berarti menggali sesuatu yang terkubur, terutama mayat di bumi.
Dalam tataran ilmu forensik, ekshumasi dipahami sebagai tindakan penggalian mayat atau pembongkaran kuburan yang dilakukan demi keadilan oleh yang berwenang dan berkepentingan dimana selanjutnya mayat tersebut diperiksa secara ilmu kedokteran forensik.
Sedangkan dari sudut pandang Hukum, ekshumasi bukan hanya sebatas tindakan medis, melainkan serangkaian tindakan hukum yang dijalankan berdasarkan undang-undang dalam rangka membuktikan adanya dugaan tindak pidana terhadap suatu peristiwa kejahatan, mencari penyebab kematian atau mencari identitas seseorang dengan cara menggali kembali jenazah yang telah dikuburkan dan berdasarkan izin dari pihak keluarga korban.
Tujuannya untuk memperterang suatu peristiwa tindak pidana yang muncul atas kecurigaan kematian yang tak wajar.
Pengaturannya tidak ada kekhususan, namun termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya pada pasal 135 KUHAP yang menyatakan dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.
Selanjutnya pasal yang menjadi rujukannya yakni dalam Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyatakan Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Dan Pasal 134 ayat (1) menyatakan dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
Pasal-pasal tersebutlah yang menjadi payung hukum bagi penyidik untuk melakukan serangkaian penggalian mayat dengan tujuan untuk kepentingan peradilan.
Menariknya, dalam Rancangan KUHAP, pengaturan tentang ekshumasi termuat dalam 39 RKUHAP dengan makna pasal yang tidak jauh berbeda dengan pasal 135 KUHAP. Begitu pula dengan pasal rujukannya.
Hanya saja, dalam hal kondisi keluarga korban tidak setuju terhadap adanya pembedahan mayat sebagai kelanjutan dari proses penggalian jenazah, maka penyidik dapat meminta wewenang dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk melaksanakan pembedahan mayat.
Indikasi dilakukan penggalian mayat atau ekshumasi adalah sebagai berikut :
- Terdakwa telah mengaku dia telah membunuh seseorang dan telah menguburkan di suatu tempat;
- Jenazah setelah dikubur beberapa hari baru kemudian ada kecurigaan bahwa jenazah meninggal secara tidak wajar;
- Atas perintah hakim untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap jenazah yang telah/dilakukan pemeriksaan dokter untuk membuat visum et repertum;
- Penguburan mayat secara legal untuk menyembunyikan kematian atau karena alasan kriminal;
- Pada kasus dimana sebab kematian yang tertera dalam surat keterangan kematian tidak jelas dan menimbulkan pertanyaan seperti keracunan dan gantung diri;
- Pada kasus dimana identitas mayat yang dikubur tidak jelas kebenarannya atau diragukan;
- Pada kasus kriminal untuk menentukan penyebab kematian yang diragukan, misalnya kasus pembunuhan, yang ditutup seakan bunuh diri.
Secara teknis, prosedur ekshumasi dibagi menjadi 3 yakni :
- Persiapan Penggalian Kuburan;
- Pelaksanaan penggalian Kuburan; dan
- Penyerahan kepada Penyidik.
Setelah jenazah digali kembali, langkah selanjutnya adalah melakukan autopsi guna menelusuri lebih jauh kemungkinan adanya hubungan sebab akibat antara seseorang yang diduga terlibat dengan kematian yang tidak wajar tersebut.
Autopsi yang dilakukan oleh dokter forensik akan menghasilkan alat bukti surat berupa Visum et Repertum (VeR), yaitu keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan media terhadap seorang manusia (baik hidup maupun mati) atau bagian dari tubuh manusia (berupa temuan dan interpretasinya), di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan.
Dalam beberapa kasus, ekshumasi memiliki peranan yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa, seperti pengungkapan kasus yang diberitakan oleh Marinews.mahkamahagung.go.id pada 29 Juni 2025 tentang perkara di Pengadilan Negeri Jeneponto yang menjatuhkan vonis maksimal kepada seorang suami yang membunuh istrinya.
Awalnya kematian diduga karena gangguan makhluk gaib/jin namun setelah dilakukan ekshumasi atas permintaan keluarga karena melihat ada kematian yang tidak wajar terhadap korban, diketahuilah jika penyebab kematian korban bukanlah karena gangguan makhluk gaib/jin melainkan karena ada dugaan tindak pidana.
Kendala ekshumasi dalam praktek
Pelaksanaan ekshumasi tidak lepas dari berbagai persoalan yang kompleks. Proses ini tidak bisa dilihat hanya dari sisi hukum atau legal formal semata, karena di dalamnya terkandung dimensi etika, keagamaan, dan sosial yang sangat sensitif.
Dalam pandangan sebagian besar agama, jenazah merupakan sesuatu yang harus dijaga kehormatannya dan tidak boleh diganggu setelah dimakamkan, kecuali dalam situasi yang benar-benar mendesak.
Hal inilah yang sering menjadi kendala utama, terutama dari sudut pandang keluarga atau masyarakat yang menganggap penggalian kembali jenazah sebagai tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral.
Akibatnya, persetujuan dari pihak keluarga korban kerap menjadi tantangan tersendiri. Karena itu, ekshumasi harus dilandasi itikad baik untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan.
Dalam konteks sosial, aparat penegak hukum dituntut untuk membangun komunikasi yang empatik dan terbuka dengan keluarga korban serta masyarakat sekitar lokasi pemakaman, agar tidak menimbulkan penolakan atau trauma psikologis.
Kesimpulan
Ekshumasi merupakan tindakan hukum yang memiliki peran strategis dalam pembuktian pidana, khususnya pada kasus kematian yang menimbulkan dugaan tindak pidana.
Melalui penggalian kembali jenazah, penyidik dan dokter forensik dapat memperoleh alat bukti yang objektif untuk menentukan penyebab, waktu, serta cara kematian. Hal tersebut dapat menjadi penambah keyakinan bagi Hakim dalam menilai kebenaran materiil dalam suatu perkara.
Namun demikian, pelaksanaan ekshumasi harus berlandaskan ketentuan hukum acara pidana serta memperhatikan nilai etika, sosial, dan religius yang hidup di masyarakat.
Tindakan ini tidak hanya menuntut ketepatan secara prosedural, tetapi juga kepekaan moral agar tidak menimbulkan pelanggaran terhadap martabat jenazah maupun perasaan keluarga.
Dengan demikian, ekshumasi mencerminkan keseimbangan antara kepentingan hukum untuk menegakkan keadilan dan kewajiban kemanusiaan untuk menjaga kehormatan terhadap yang telah meninggal.