Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif membawa angin segar dalam sistem pemidanaan di Indonesia.
Regulasi ini menandai pergeseran paradigma dari pendekatan retributif menuju pendekatan restoratif dan proporsional dalam menjatuhkan hukuman pidana.
Salah satu isu penting dalam penerapannya adalah mengenai validitas dan kekuatan hukum kesepakatan perdamaian yang tidak tertulis antara korban atau ahli waris dengan terdakwa, terutama ketika kesepakatan tersebut dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan pidana bersyarat.
Salah satu isu yang menarik untuk dibahas adalah apakah kesepakatan perdamaian yang tidak dituangkan secara tertulis dapat dijadikan dasar sah bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 PERMA No. 1 Tahun 2024.
Untuk menjawab hal ini, perlu dilakukan telaah terhadap substansi peraturan, prinsip peradilan progresif, dan penerapan asas keadilan substantif dalam hukum pidana.
Konsep Pidana Bersyarat dan Posisi Kesepakatan Perdamaian
Pidana bersyarat, sebagaimana diatur dalam KUHP, merupakan bentuk pemidanaan di mana pelaksanaan hukuman ditangguhkan dengan syarat-syarat tertentu.
Tujuannya bukan hanya memberikan efek jera, melainkan juga memberikan kesempatan rehabilitasi sosial serta mendukung semangat restorative justice.
Pasal 19 PERMA Nomor 1 Tahun 2024 menegaskan bahwa adanya kesepakatan perdamaian antara terdakwa dengan korban atau ahli warisnya menjadi salah satu variabel penting dalam menjatuhkan pidana bersyarat.
Meskipun demikian, PERMA ini tidak mewajibkan kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis, sehingga secara normatif, bentuk lisan pun tetap dapat diterima sepanjang dapat dibuktikan dalam persidangan.
Dalam praktik peradilan, hal ini telah menjadi pemahaman umum bahwa selama perdamaian dapat dibuktikan di depan persidangan, baik melalui pengakuan para pihak maupun catatan resmi dalam berita acara sidang (BAS), maka hal tersebut dapat menjadi pertimbangan hukum bagi majelis hakim tanpa perlu mempersoalkan bentuk tertulisnya.
Prinsip Hukum Pembuktian dan Kekuatan BAS
Dalam sistem Hukum Acara Pidana Indonesia, dikenal prinsip bahwa setiap fakta yang terungkap di persidangan dan dicatat dalam Berita Acara Sidang (BAS) merupakan bagian dari alat bukti yang sah dan dapat digunakan oleh hakim dalam menemukan kebenaran materiil.
Prinsip ini bersandar pada ketentuan Pasal 184 KUHAP yang mengatur bahwa keterangan terdakwa, keterangan saksi, dan surat dapat menjadi alat bukti yang sah, serta pada asas in dubio pro reo yang mengedepankan pencarian kebenaran yang tidak merugikan terdakwa.
BAS sebagai dokumen resmi yang disusun oleh panitera dan diawasi langsung oleh hakim memuat catatan pernyataan para pihak di persidangan.
Jika dalam persidangan baik terdakwa maupun korban secara terbuka mengakui telah terjadi perdamaian, maka pernyataan tersebut yang tercatat dalam BAS mempunyai kekuatan pembuktian formil dan materiil, karena merupakan hasil dari proses hukum yang sah dan terbuka.
Dengan demikian, meskipun kesepakatan perdamaian tidak dituangkan dalam bentuk tertulis atau ditandatangani secara formal, keberadaannya yang tercatat dalam BAS tetap memiliki nilai hukum dan kekuatan pembuktian sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat berdasarkan keadilan restoratif.
Risiko dan Peran Hakim dalam Menjaga Transparansi
Meski demikian, pengakuan terhadap kesepakatan perdamaian yang tidak tertulis tetap mengandung risiko, seperti kemungkinan adanya tekanan terhadap korban atau pengaruh eksternal.
Oleh sebab itu, peran hakim sangat sentral dalam memastikan kemurnian dan kesukarelaan perdamaian tersebut. Hakim harus menegakkan prinsip:
- Kesepakatan dibuat secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan;
- Proses perdamaian dicatat secara transparan dalam persidangan; dan
- Hak korban untuk menyampaikan pendapat dan keberatan tetap dilindungi.
Apabila ketiga prinsip ini dijaga, maka kesepakatan tidak tertulis yang tercatat dalam BAS dapat diakui legitim dan sah sebagai dasar penerapan pidana bersyarat.
Penutup: Substansi di Atas Formalitas
PERMA Nomor 1 Tahun 2024 merupakan perwujudan dari semangat peradilan yang substantif dan progresif, yang lebih menekankan pada pemulihan relasi sosial daripada sekadar penghukuman formalistik.
Dengan demikian, menolak kesepakatan perdamaian hanya karena tidak berbentuk tertulis justru bertentangan dengan semangat keadilan restoratif yang diusung PERMA ini.
Oleh karena itu, penerapan pidana bersyarat berdasarkan kesepakatan perdamaian tidak tertulis tetap sah dan dapat dibenarkan, sepanjang terbukti di persidangan dan dicatat dalam BAS.
Hal ini sejalan dengan arah kebijakan hukum nasional yang menempatkan keadilan substantif sebagai orientasi utama dalam sistem pemidanaan modern.