Hukum acara perdata di Indonesia yang mengacu pada Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg), dan Wetboek op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) mengatur mengenai pelaksanaan praktik hukum materiil perdata di Indonesia.
Melihat dari praktik peradilan perdata khususnya dalam perkara perdata gugatan, dikenal konsep kontradiktif (contradictoire). Di mana, para pihak yang berperkara memiliki hak dan kesempatan untuk membantah dalil-dalil dari pihak oposisi dan begitu pula sebaliknya (Harahap:2017).
Jika digambarkan secara proses, maka ada rangkaian sanggah menyanggah antara para pihak baik dalam jawab jinawab, pembuktian, hingga kesimpulan. Maka, dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, prinsip contradictoire menjadi fondasi penting yang menjamin hak setiap pihak untuk membela kepentingannya secara seimbang.
Mengkaji dari hukum acara peradilan di luar negeri, dikenal prinsip pemeriksaan silang. Prinsip pemeriksaan silang adalah prinsip yang memungkinkan para pihak untuk melakukan pengujian mengenai kebenaran terhadap hal atau dalil yang diajukan oleh pihak oposisi sebagai suatu kebenaran yang definitif (Wellman:2022).
Prinsip pemeriksaan silang tidak secara eksplisit dikenal dalam hukum acara perdata Indonesia. Namun, terdapat ketentuan yang memiliki konsep serupa.
Contohnya dapat ditemukan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 BW, yang mengatur mengenai pembuktian dengan surat, termasuk ketentuan tentang kekuatan bukti surat otentik.
Meskipun Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 BW menyatakan bahwa akta otentik merupakan bukti yang sempurna, ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pihak lawan untuk membantah atau melemahkan kekuatan pembuktian akta tersebut dengan alat bukti yang sah lainnya.
Prinsip ini sejalan dengan asas audi alteram partem, yang mengharuskan kedua belah pihak mendapat kesempatan yang sama untuk didengar dan membuktikan keabsahan dalil bantahannya. Dalam konteks bukti surat, hal ini berarti pihak lawan memiliki hak untuk menguji kredibilitas, keaslian, dan relevansi dokumen yang diajukan.
Seiring dengan kemajuan teknologi yang mempermudah terjadinya pemalsuan dokumen, pemeriksaan keaslian bukti surat menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan dalam proses peradilan.
Para pihak dapat membuktikan keaslian suatu surat dengan menghadirkan alat bukti lain, salah satunya berupa keterangan ahli, khususnya ahli forensik dokumen.
Meskipun ahli yang dihadirkan tidak selalu memiliki kesempatan untuk melakukan pemeriksaan forensik secara menyeluruh, mereka tetap dapat melakukan inspeksi visual sebagai tahap awal pemeriksaan. Teknik ini mencakup analisis terhadap konsistensi jenis huruf (font), kualitas kertas, tanda tangan, serta elemen keamanan dokumen.
Melalui inspeksi visual, dapat diidentifikasi adanya indikasi modifikasi, ketidaksesuaian visual, atau inkonsistensi fisik pada dokumen yang mengarah pada dugaan pemalsuan.
Pentingnya penerapan prinsip pemeriksaan silang ini juga dapat digunakan untuk memperkuat Yurisprudensi 410 K/Pdt/2004 yang menegaskan bahwa fotokopi dari fotokopi atau salinan dari salinan tidak dapat dipandang sebagai bukti surat karena keasliannya masih diragukan.
Seperti dalam Yurisprudensi tersebut, maka dengan adanya bukti berupa keterangan ahli yang menguatkan autentitas bukti surat dengan mengingat prinsip persesuaian alat bukti, maka dapat memperkuat kedudukan fotokopi dari fotokopi atau salinan dari salinan sebagai bukti surat.
Pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat prinsip due process of law, yang selama ini belum sepenuhnya melekat dalam hukum acara perdata.
Penerapan prinsip tersebut dapat meningkatkan kualitas peradilan, karena memastikan bahwa hanya bukti yang benar-benar autentik yang dijadikan dasar dalam pengambilan putusan.
Selain itu, yurisprudensi juga menunjukkan bahwa pengadilan memiliki kewenangan untuk menilai kekuatan pembuktian suatu dokumen, termasuk mempertimbangkan hasil pemeriksaan terhadap keasliannya.