Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan, Melanggar HAM?

Apakah draft RUU Perampasan Aset sudah layak untuk disahkan? Apakah perampasan aset yang diatur dalam RUU tersebut melanggar HAM?
Ilustrasi RUU Perampasan Aset. Foto : dibuat oleh Gemini Ai
Ilustrasi RUU Perampasan Aset. Foto : dibuat oleh Gemini Ai

Dalam beberapa bulan terakhir isu mengenai RUU Perampasan Aset kerap dibahas di negara ini. Publik menuntut agar RUU tersebut segera disahkan, dan puncaknya saat terjadi demo besar-besaran bulan Agustus lalu, bulan dimana Ibu Pertiwi merayakan ulang tahun kemerdekaan. 

Pertanyaannya, apakah draft RUU Perampasan Aset sudah layak untuk disahkan? Apakah perampasan aset yang diatur dalam RUU tersebut melanggar HAM?

Perampasan Aset tanpa Pemidanaan

Merujuk pada draft RUU Perampasan Aset Tahun 2023 yang dapat diakses dari website Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum PPATK, Pasal 2 menyebutkan bahwa perampasan aset dilakukan tanpa adanya penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan bahwa tindakan perampasan aset yang dimaksud adalah lingkup perdata (civil forfeiture) yang bersifat in rem, sasarannya bukan individu (in personam) seperti dalam perkara pidana, melainkan untuk melawan aset itu sendiri. 

Dengan kata lain, perampasan dapat dilaksanakan tanpa menunggu putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sesuai Pasal 193 KUHAP.

Aturan ini menarik untuk dikaji, mengingat perampasan aset pada dasarnya bukan hal baru dalam dunia peradilan, khususnya peradilan pidana. Namun umumnya dilakukan setelah pemeriksaan di persidangan selesai dan majelis hakim menjatuhkan putusan, serta putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Baik di dalam pertimbangan dan amar putusannya, hakim akan menetapkan antara lain harta kekayaan dirampas untuk negara. 

Bahkan, Mahkamah Agung melalui Perma No. 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain (Perma No. 1 Tahun 2013) telah mengatur prosedur permohonan perampasan aset yang diajukan oleh penyidik. 

Persoalannya, Perma No. 1 Tahun 2013 hadir untuk melengkapi kekosongan hukum acara Pasal 67 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diuraikan dalam salah satu konsideran Perma tersebut, dan ruang lingkupnya juga terbatas yaitu jika orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan.

Adapun RUU Perampasan Aset cakupannya lebih luas, yaitu terhadap tersangka atau terdakwa yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), serta terhadap aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan atau diputus bersalah namun kemudian diketahui aset tindak pidananya belum dinyatakan dirampas.

Berkaitan dengan perampasan aset terhadap terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) perlu digarisbawahi. Hakikat utama dari putusan lepas adalah perbuatan yang didakwakan terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana. Artinya tidak ditemukan adanya sifat melawan hukum pada perbuatan terdakwa atau tidak terdapat kesalahan pada terdakwa. 

Selain itu dalam putusan lepas juga melekat hak terdakwa untuk dipulihkan kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya. Akan menjadi suatu hal yang kontradiktif, ketika perampasan aset tindak pidana dilaksanakan, namun disisi lain kedudukan, harkat dan martabat terdakwa dipulihkan. 

Beralih dari putusan lepas, yang menjadi catatan lagi dari RUU Perampasan Aset ini adalah tidak atau belum adanya ketentuan yang mengatur bagaimana status aset yang telah dirampas jika ternyata berdasarkan pemeriksaan di persidangan pidana, terdakwa justru dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana (putusan bebas/vrijspraak). Bagaimana status putusan bebas tersebut, apakah bisa menganulir perampasan aset yang telah dilakukan sebelumnya juga tidak diatur. Sementara putusan perampasan aset dapat diajukan sebagai alat bukti dalam penuntutan tindak pidana sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 3 RUU tersebut.

Hak Asasi Manusia, Batas yang Jelas antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu ciri negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Indonesia melalui Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 secara jelas dan tegas (expressis verbis) mengatur bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang­-wenang oleh siapa pun, yang mana kemudian pasal tersebut diafirmasi dalam Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Memperhatikan Naskah Akademik RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang diterbitkan oleh Kemenkumham pada tahun 2022, setidaknya terdapat tiga poin utama. Pertama, perampasan aset yang dimaksud tidak berhubungan dengan tindak pidana, oleh karena itu penyitaan dapat lebih cepat diminta ke pengadilan. 

Kedua, perampasan aset menggunakan standar pembuktian perdata dan sistem pembuktiannya terbalik. Terakhir, proses yang digunakan adalah proses gugatan perdata terhadap aset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana bahkan putusan bebas tidak ada relevansinya dengan perampasan aset yang diatur dalam RUU.

Kemudian berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) RUU Perampasan Aset, disebutkan bahwa aset yang dapat dirampas yaitu: (i) aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana; (ii) aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana; (iii) aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara; atau (iv) aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.

Mengacu pada Naskah Akademik dan Pasal 5 RUU Perampasan Aset tersebut, apabila memang perampasan aset yang dimaksud adalah domain dari hukum perdata, maka seyogianya ruang lingkup aset yang dapat dirampas tidak dihubungkan baik langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana, karena jika diatur demikian maka aset dan tindak pidana adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 

Selain itu, penyitaan aset dalam hukum perdata dengan perampasan aset dalam hukum pidana adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu harus ada batas yang jelas antara hukum pidana dan hukum perdata. 

Jika tidak, maka perampasan aset dimungkinkan akan berbenturan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence principles) dan melanggar hak asasi manusia.

Pada prinsipnya, berbicara mengenai upaya perlindungan HAM tidak boleh mengesampingkan eksistensi Pasal 28J UUD 1945, dimana HAM wajib tunduk pada batas-batas yang diatur dalam undang-undang. HAM ditegakkan sepanjang tidak melanggar HAM orang lain. 

Artinya, siapapun yang mempunyai aset harus mampu membuktikan bahwa aset diperoleh secara sah dan tidak melawan hukum. 

Di sisi lain, negara juga tidak boleh sewenang-wenang merampas aset seseorang tanpa melaksanakan kewajibannya untuk membuktikan terlebih dahulu apakah aset yang akan dirampas memang diperoleh secara tidak sah atau melawan hukum, dan harus jelas dalam konteks tindak pidana atau bukan.

Sumber Referensi:

Literatur/Buku

Husein, Yunus. 2019. Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan & Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI.
Draft RUU Perampasan Aset Tahun 2023
Naskah Akademik RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana

Peraturan

Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Perma No. 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain