Patuhi Arahan Ketua MA, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Tunjukkan Pola Hidup Sederhana Seorang Pejabat Negara

Satu peristiwa yang terlintas di depan mata hanya beberapa saat, namun sangat banyak pembelajaran baik yang dapat dipetik. Bukan dari kata-kata, tapi dari perbuatan nyata.
Suasana ruang tunggu Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar | Foto : Dokumentasi Penulis
Suasana ruang tunggu Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar | Foto : Dokumentasi Penulis

Ketua Mahkamah Agung R.I. Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. telah berkali-kali memberikan arahan kepada Para Pejabat di lingkungan Mahkamah Agung, Para Hakim dan jajaran aparatur Peradilan di seluruh daerah untuk senantiasa menjunjung tinggi pola hidup sederhana, menjaga integritas dan bersikap tidak arogan dalam hidup bermasyarakat.

Pada hari Minggu, 14 Desember 2025, Bandara International Sultan Hasanuddin di Makassar, menjadi saksi bisu betapa seorang Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Non Yudisial, Dr. H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. mematuhi arahan Sang Ketua untuk benar-benar memberi contoh pada seluruh jajaran di bawahnya agar sepenuh hati menjalankan pola hidup sederhana dan jauh dari kesan jamuan protokoler serta pelayanan mewah untuk kelas VIP.

Dimulai dari moment kedatangannya di Bandara yang ternyata jauh dari Gambaran seorang Pejabat Negara yang berhak atas penggunaan mobil dengan plat nomor berkode “R.I.-” khusus pimpinan Lembaga Tinggi Negara. Beliau justru terpantau datang hanya dengan menggunakan mobil Toyota Innova Putih dengan plat nomor putih biasa dan tanpa sedikitpun pengawalan dari petugas voorijder. Beliau turun dari mobil, jauh dari kesan berpakaian yang mewah. Hanya dengan balutan kaos berkerah, yang dimasukkan ke dalam celana kainnya yang berwarna gelap dan tetap bersepatu. Rapi dan sopan dalam berpenampilan, tapi jauh dari kesan glamour.

Selanjutnya, alih-alih menunggu pesawatnya berangkat dengan duduk di area lounge yang nyaman sembari menikmati kudapan yang selayaknya bagi Pejabat Negara, beliau justru duduk santai dan biasa di area umum yang sama, membaur dengan seluruh penumpang pesawat yang lain di depan Gate 3 tanpa pengawalan ketat para ajudan di sekitarnya.

Rasanya, sebagian besar penumpang pesawat yang duduk di sekitarnya waktu itu dan sedang berkutat dengan hiruk-pikuk kehidupan bandara yang berkejaran dengan waktu, tak akan sadar bahwa yang di dekatnya adalah seorang Wakil Ketua Lembaga Yudisiil, seorang Hakim yang dikenal tegas dalam memegang prinsip dan nilai-nilai integritas, yang bahkan pernah memimpin persidangan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penistaan Agama sekian tahun yang lalu.

Papan informasi jadwal keberangkatan Pesawat | Foto : Dokumentasi Penulis

Dalam hal pilihan pesawat, beliau ternyata memutuskan menaiki maskapai Pelita Air, dengan kode penerbangan IP-807 untuk kembali menuju Kota Jakarta pada Pukul 10.10 WITA Pagi itu. Pilihan menggunakan Pelita Air itu rasanya bukan karena kehabisan tiket maskapai lain atau menyesuaikan pilihan maskapai di momentum jam yang tertentu, tetapi karena memang beliau berkehendak naik Pesawat itu.

Sejatinya, di jam yang sangat berdekatan dengan keberatan Pelita Air tersebut, untuk tujuan yang sama dari Makassar (UPG) ke Jakarta (CGK), tercatat ada pula Pesawat Garuda Indonesia GA-605 yang jadwal berangkatnya pada Pukul 10.30 WITA atau Pesawat Batik Air ID-6267 yang jadwal berangkatnya pada Pukul 10.05 WITA.

Kedua pesawat terakhir itu, sebagaimana diketahui adalah Maskapai yang memiliki seat kelas Bisnis di dalamnya. Sebagai seorang pimpinan Lembaga Tinggi Negara, tentu saja Yang Mulia Dr. H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. bisa duduk di bangku penumpang kelas bisnis yang sangat nyaman dalam setiap perjalanannya menggunakan pesawat udara.

Di titik inilah, sikap Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang non Yudisial yang memilih menaiki maskapai Pelita Air yang tidak memiliki kursi kelas Bisnis dan memilih menjadi penumpang pesawat kelas Ekonomi, seakan menjadi oase bahwa di tengah stereotip gaya hidup hedonisme dan “pelayanan prima” yang melekat pada sejumlah pejabat tinggi Negara, beliau tampil beda. Sangat sederhana dan tidak membebani Satuan Kerja di daerah yang didatangi. 

Kepemimpinan adalah Ketauladanan dan Pembentukan “Shame Culture” (kultur rasa malu) dalam Budaya Kerja di Mahkamah Agung

 “Yang Mulia Pak KMA saja pas ada acara Wisuda Purnabhakti Ka P.T. Makassar dan acara di Tanjung Karang gak mau nunggu pesawat di lounge. Masak kita-kita yang di bawahnya beliau malah mau masuk Lounge. Kan ga etis jadinya mas” demikian tutur Dr. Dwiarso Budi Santiarto saat ditanya tentang sikapnya yang memilih menunggu di depan Gate Pintu Keberangkatan.

Fenomema yang terjadi di Bandara International Hasanuddin di Makassar pagi itu, seakan menunjukkan bahwa “Satu Perbuatan Nyata itu Lebih Baik dari Seribu Ucapan”.

Seorang pemimpin tidak perlu berbuih dan berbusa mulutnya hanya untuk menyampaikan kepada anak-anaknya di bawah, agar senantiasa berperilaku baik. Tapi cukup dengan satu gambaran perilaku yang nyata dan konkret, diharapkan sudah dapat membentuk kultur rasa malu di Mahkamah Agung. 

Jika Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung saja sangat menghindari pelayanan yang berkelebihan tatkala berkunjung di daerah, maka sudah sepatutnya pula Pimpinan, Hakim dan seluruh warga peradilan di bawah Mahkamah Agung mentauladani sikap pucuk pimpinan Tertinggi di lembaganya untuk tidak juga meminta dilayani.

Dari momentum itu, sudah seharusnya pula timbul adanya “rasa malu” dalam benak setiap insan peradilan, jika dalam alam bathinnya masih ada rasa ingin dilayani dan tampil glamour di hadapan publik.

Pepatah barat mengatakan : “a fish begin to stink not from it’s tail”, bahwa ikan itu mulai busuk bukan dari ekornya. Melihat sikap, karekter dan pembawaan para Pucuk Pimpinan tertinggi Mahkamah Agung hari ini yang selalu mengedepankan pemberian contoh hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak suka dilayani. Rasanya, besar harapan, Visi terbentuknya Badan Peradilan Yang Agung itu akan benar-benar dapat terwujud. 

Beranjak dari logika sederhana bahwa untuk melayani pimpinan itu butuh uang. Maka sikap pimpinan yang menutup rapat pintu agar dirinya tidak dilayani oleh anggota di bawahnya, harusnya akan dapat berdampak besar pada perubahan pola pikir dan pola perilaku Para Hakim dan Aparatur Peradilan untuk tidak menerima uang suap atau Tindakan koruptif lainnya atas nama judul : “harus mencarikan uang untuk melayani pimpinan”. Pimpinan, melalui sikap-sikap nyata, seakan menekankan, Tugas aparatur Pengadilan di Bawah Mahkamah Agung hanyalah fokus bekerja dengan baik tanpa berfikir melayani pimpinan.

Pesan Kedisiplinan dalam Bekerja 

Perihal kunjungannya ke Makassar, Y.M. Dwiarso menceriterakan : “Cucu saya ada yang tinggal di sini, karena ikut ayahnya kerja di Makassar. Jadi ini judulnya kangen cucu pas weekend”. Di titik inilah, lagi-lagi ada pelajaran berharga yang sedang beliau tunjukkan kepada seluruh jajaran di bawahnya. Bukan hanya soal integritas dan kesederhanaan dalam hidup, fenomena adanya Wakil Ketua Mahkmah Agung Bidang Non Yudisial yang kembali ke Jakarta dari Bandara Makassar pada hari Minggu pagi ini, seakan menunjukkan pula pesan tegas : “Jaga Kedisiplinan dalam Bekerja”. 

Terpantau, pada hari Jumat, 12 November 2025 Yang Mulia Dr. H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. masih masuk kerja dan melaksanakan serangkaian kewajibannya, antara lain, beliau ada dan hadir mendampingi Ketua M.A. dalam momentum Pembinan Administrasi Kesekretariatan bagi seluruh sekretaris di 4 (empat) lingkungan peradilan Se-Indonesia di Jakarta. 

Bahwa tatkala weekend beliau pergi ke Makassar untuk acara pribadi dan kembali ke Jakarta sehari sebelum masuk kembali bekerja, maka melalui sikapnya itu beliau seakan ingin memberikan pesan tegas secara tersirat dengan Bahasa kekinian : “Jangan bolos. Jangan pakai akal-akalan Surat Sakit. Silahkan nikmati me time kalian saat libur, tapi jangan lupa untuk kembali ke tempat tugas dengan tepat waktu pada saatnya Kalian harus masuk kerja”. 

Satu peristiwa yang terlintas di depan mata hanya beberapa saat, namun sangat banyak pembelajaran baik yang dapat dipetik. Bukan dari kata-kata, tapi dari perbuatan nyata. Semoga ini bisa menginspirasi dan diikuti oleh seluruh Pimpinan, Hakim dan jajaran Keluarga Besar Mahkamah Agung R.I. di seluruh daerah. Apapun itu, kita yakin bahwa suatu perubahan besar itu bisa dimulai dari melakukan aksi nyata perubahan dari hal-hal yang kecil.

Penulis: Agung D. Syahputra
Editor: Tim MariNews