Administrasi Kependudukan merupakan rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen, serta data kependudukan melalui proses pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi, dan pendayagunaan hasilnya bagi pelayanan publik maupun pembangunan sektor lainnya.
Dalam konteks tersebut, pencatatan sipil merupakan pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register resmi pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota.
Peristiwa penting tersebut, mencakup kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan berbagai perubahan status hukum seseorang yang mempengaruhi data kependudukannya, termasuk perubahan nama.
Dalam kerangka sistem hukum administrasi kependudukan, perubahan nama dikategorikan sebagai salah satu bentuk peristiwa penting yang wajib dicatat melalui mekanisme Pencatatan Sipil.
Hal ini, dikarenakan nama bukan sekadar identitas sosial, melainkan tanda pengenal hukum yang melekat pada seluruh dokumen resmi seseorang.
Setiap perubahan nama harus dicatat agar selaras dengan asas keabsahan data kependudukan dan mencegah timbulnya perbedaan identitas dalam dokumen negara.
Perubahan nama, bukan sekadar tindakan administratif, melainkan bagian dari proses hukum yang menyentuh aspek keabsahan identitas seseorang.
Nama adalah elemen dasar yang melekat pada status hukum individu tercantum dalam akta kelahiran, kartu tanda penduduk, hingga berbagai dokumen perdata lain yang menentukan hak dan kewajiban.
Maka, setiap perubahan nama harus ditempatkan dalam koridor hukum yang jelas, agar tertib administrasi kependudukan terjaga dan kepastian hukum bagi warga negara dapat terjamin.
Dengan demikian, hukum mewajibkan perubahan nama hanya dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan negeri.
Berdasarkan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, menyatakan “Perubahan nama hanya dapat dilakukan atas dasar penetapan pengadilan negeri.”.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 53 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil menyatakan bahwa “Pencatatan perubahan nama Penduduk harus memenuhi syarat berupa: a. Salinan penetapan pengadilan negeri tentang perubahan nama”.
Dari ketentuan di atas, kewenangan Disdukcapil dalam perubahan nama bersifat pasif, yakni baru dapat bertindak setelah menerima penetapan pengadilan. Tanpa dasar tersebut, setiap tindakan administratif dianggap melampaui kewenangan (ultra vires).
Namun, dalam praktiknya tidak jarang ditemukan perubahan nama dilakukan secara sepihak tanpa proses yudisial.
Beberapa kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), telah menerbitkan KTP dan Kartu Keluarga baru dengan nama berbeda tanpa dasar penetapan pengadilan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah sistem pengawasan administrasi kependudukan telah dijalankan dengan benar?
Dalam praktik ditemukan kasus-kasus perubahan nama penduduk disetujui dan diterbitkan oleh Disdukcapil, tanpa penetapan pengadilan.
Kelalaian semacam ini menimbulkan kekacauan hukum, karena menimbulkan perbedaan data antar dokumen, yang berpotensi menimbulkan sengketa hukum (misalnya dalam pernikahan, waris, atau pendidikan anak).
Dengan demikian, terdapat kekosongan pengawasan normatif di tingkat administrasi, karena pengawasan internal Disdukcapil tidak efektif dan pengawasan eksternal (oleh pengadilan) baru terjadi, setelah kerugian ataupun permasalahan hukum muncul.
Implikasi Hukum
Perubahan nama yang dilakukan tanpa melalui mekanisme penetapan pengadilan negeri menimbulkan sejumlah implikasi hukum yang serius, baik terhadap keabsahan dokumen kependudukan maupun terhadap tanggung jawab pejabat yang memprosesnya.
Pertama, dokumen kependudukan yang diterbitkan tanpa adanya dasar penetapan pengadilan dapat dinyatakan cacat hukum administratif.
Hal ini, disebabkan setiap perubahan nama merupakan bentuk perubahan identitas hukum seseorang yang berdampak pada keabsahan berbagai dokumen turunan, seperti akta kelahiran, KTP, maupun kartu keluarga.
Tanpa dasar hukum yang sah, dokumen tersebut berpotensi tidak valid dan menimbulkan ketidaktertiban dalam sistem administrasi kependudukan nasional.
Kedua, pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), yang memproses atau menyetujui perubahan nama, tanpa dasar hukum yang benar dapat dimintai pertanggungjawaban administratif, bahkan dalam kondisi tertentu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jabatan, apabila tindakannya menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau merusak kepercayaan publik, terhadap keabsahan dokumen negara.
Ketiga, peran Pengadilan Negeri juga memiliki dimensi preventif dalam konteks ini.
Pengadilan Negeri diharapkan lebih aktif melakukan edukasi dan koordinasi dengan pihak Disdukcapil, agar setiap perubahan identitas kependudukan dilakukan berdasarkan mekanisme hukum yang tepat.
Sinergi antara lembaga peradilan dan instansi kependudukan menjadi penting untuk mencegah praktik penyimpangan administrasi, menjamin tertib hukum, serta menjaga keutuhan data kependudukan nasional sebagai basis pelayanan publik yang terpercaya.
Kesimpulan
Perubahan nama tanpa penetapan Pengadilan Negeri, merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas dan asas tertib administrasi dalam sistem kependudukan.
Praktik ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal Disdukcapil dan menimbulkan kesenjangan administratif yang berpotensi mengacaukan keabsahan identitas hukum warga negara.
Guna menutup celah tersebut, diperlukan penegakan disiplin administratif terhadap pejabat pencatat sipil, disertai sosialisasi kewajiban yudisial dalam setiap perubahan identitas, serta integrasi sistem data kependudukan dengan mekanisme pengawasan hukum berbasis elektronik.
Hanya melalui sinergi antara pengadilan dan Disdukcapil, kepastian hukum dan kredibilitas dokumen kependudukan dapat terjaga.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo. UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Penetapan Pengadilan Negeri Rembang Nomor 61/Pdt.P/2025/PN Rbg
