Penerapan SEMA Sebagai Dasar Menyimpangi Pidana Minimum Khusus dalam Perkara Narkotika

Perkara tindak pidana narkotika merupakan salah satu jenis perkara pidana yang sering diadili dan diputuskan oleh hakim di Indonesia.
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik

Perkara tindak pidana narkotika merupakan salah satu jenis perkara pidana yang sering diadili dan diputuskan oleh hakim di Indonesia. 

Tidak jarang, perkara tindak pidana narkotika yang didakwakan oleh Penuntut Umum dilimpahkan ke pengadilan dengan variasi pasal dakwaan, seperti Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, maupun Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut Undang-Undang Narkotika). 

Dakwaan tersebut dapat berbentuk tunggal, alternatif, kumulatif, subsidiaritas, atau kombinasi.

Pelimpahan perkara tindak pidana narkotika oleh Penuntut Umum pada dasarnya didasarkan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian setempat. BAP ini diperoleh dari hasil pemeriksaan saksi, ahli, keterangan terdakwa, bukti surat berupa hasil penimbangan, hasil pemeriksaan laboratorium, maupun hasil pemeriksaan urine. 

Bukti-bukti tersebut, dikaitkan dengan barang bukti hasil penggeledahan dan/atau penyitaan oleh pihak kepolisian, yang kemudian dirumuskan dalam surat dakwaan oleh Penuntut Umum, sebagaimana diatur Pasal 140 dan Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pada prinsipnya, hakim dalam mengadili dan memutus perkara pidana narkotika harus mendasarkan putusannya pada surat dakwaan dan segala hal yang terbukti dalam pemeriksaan sidang, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (2) KUHAP.

Namun, dalam praktiknya, hakim sering menemukan fakta hukum yang mengungkap bahwa perbuatan terdakwa terbukti sebagai penyalahguna narkotika golongan I bagi dirinya sendiri. 

Hal ini, menjadi permasalahan ketika Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika dalam surat dakwaannya. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana hakim dapat melakukan penyimpangan terhadap ancaman pidana penjara minimum khusus dalam putusannya, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa adalah penyalahguna?

Putusan hakim didasarkan pada hasil musyawarah majelis hakim sebagaimana Pasal 182 ayat (2) KUHAP, musyawarah tersebut harus didasarkan pada pendapat ketua majelis dan anggota majelis yang disertai pertimbangan beserta alasannya, sesuai Pasal 182 ayat (5) KUHAP. 

Maka, dalam memutus perkara pidana, khususnya tindak pidana narkotika, hakim harus menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. 

Bahkan, jika Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, tetapi fakta persidangan membuktikan terdakwa sebagai penyalahguna, hakim dapat memedomani Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). 

SEMA ini berfungsi memberikan arahan dan menjaga konsistensi dalam penanganan perkara, terutama ketika terdapat kekosongan atau ketidakjelasan dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan beberapa SEMA yang berkaitan langsung dengan tindak pidana narkotika dalam konteks terdakwa sebagai penyalahguna narkotika. 

SEMA tersebut meliputi SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan; dan SEMA Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Dengan memedomani SEMA tersebut di atas, hakim dapat mengisi kekosongan hukum dengan melakukan penyimpangan terhadap ancaman pidana penjara minimum khusus, mengarah pada ancaman pidana Pasal 127 Undang-Undang Narkotika. 

Hal ini berlaku, meskipun Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 dan fakta persidangan membuktikan terdakwa sebagai penyalahguna. 

Namun, penerapan SEMA harus dilakukan secara hati-hati dan cermat, karena masing-masing SEMA mensyaratkan ketentuan rinci sebagai berikut:

  • SEMA Nomor 4 Tahun 2010, yakni mensyaratkan penerapan pemidanaan sebagaimana Pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Narkotika dalam kondisi terdakwa tertangkap tangan oleh penyidik Kepolisian atau Badan Narkotika Nasional (BNN). Barang bukti pemakaian dibatasi untuk satu hari, misalnya metamphetamine (sabu) maksimal 1 gram, ganja maksimal 5 gram, dan sebagainya sebagaimana diatur pada angka 2 huruf b. Selain itu, diperlukan surat uji laboratorium yang positif penggunaan narkotika, surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk hakim, serta tidak adanya bukti keterlibatan terdakwa dalam peredaran gelap narkotika.
  • SEMA Nomor 3 Tahun 2015 yakni mensyaratkan hakim memeriksa dan memutus perkara berdasarkan surat dakwaan. Namun, jika Penuntut Umum mendakwakan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Narkotika, tetapi fakta persidangan membuktikan Pasal 127 (yang tidak didakwakan), dan terdakwa terbukti sebagai pemakai dengan jumlah barang bukti relatif kecil (vide angka 2 huruf b SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka hakim dapat memutus sesuai surat dakwaan tetapi menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan pertimbangan yang memadai.
  • SEMA Nomor 1 Tahun 2017, yakni mensyaratkan bahwa jika Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, tetapi fakta persidangan membuktikan terdakwa sebagai penyalahguna, hakim harus mendasarkan putusan pada fakta hukum yang terbukti. Jika terdakwa tidak tertangkap tangan sedang memakai narkotika, tetapi ditemukan barang bukti narkotika dengan jumlah/berat relatif kecil, hasil tes urine positif mengandung metamphetamine, dan Pasal 127 tidak didakwakan, maka hakim dapat mengkategorikan perbuatan terdakwa sebagai penyalahgunaan, dengan kualifikasi tindak pidana tetap mengacu pada surat dakwaan.
  • SEMA Nomor 3 Tahun 2023, yakni mensyaratkan bahwa jika terdakwa didakwa Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Narkotika, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus, sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 juncto SEMA Nomor 3 Tahun 2015 juncto SEMA Nomor 1 Tahun 2017.

Berdasarkan SEMA tersebut di atas, hakim dapat memedomani penjatuhan putusan pidana terkait penyalahguna narkotika dengan memenuhi 4 unsur utama.

Pertama, terdakwa tidak didakwa Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, tetapi terbukti sebagai penyalahguna. Kedua, penerapan SEMA tidak mensyaratkan tertangkap tangan memakai narkotika, melainkan dapat juga dengan ditemukannya barang bukti narkotika dalam jumlah/berat relatif kecil (vide angka 2 huruf b SEMA Nomor 4 Tahun 2010) disertai hasil tes urine positif mengandung metamphetamine.

Ketiga, terdakwa didakwa Pasal 111, Pasal 112, atau Pasal 114 Undang-Undang Narkotika. Keempat, penerapan SEMA hanya untuk penyimpangi pidana minimum khusus sesuai ketentuan ancaman pidana pada Pasal 127, tanpa mengubah kualifikasi tindak pidana dalam surat dakwaan Penuntut Umum.

Dengan demikian, penerapan SEMA dapat menjadi dasar bagi hakim dalam mengadili perkara tindak pidana narkotika, ketika fakta hukum yang terungkap di persidangan membuktikan terdakwa sebagai penyalahguna meskipun tidak didakwakan demikian oleh Penuntut Umum. 

Hal ini memastikan agar putusan hakim dapat menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan.

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews