Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Hal ini berarti bahwa negara menjamin hak warga negaranya untuk dapat memiliki kepemilikan tanah baik untuk dibangun maupun untuk ditanami selama hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin penggunaan dan pemeliharaan tanah serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikelola dengan baik dan harus dapat menjamin kekayaan yang dihasilkan dari tanah untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam tataran Undang-Undang, pengaturan mengenai kepemilikan tanah salah satunya diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang tercantum dalam pasal 16 sampai dengan 49.
Dalam Pasal 16 disebutkan bahwa, hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) ialah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 53.
Selanjutnya dalam pasal 53 disebutkan hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana dimaksud pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat.
Selanjutnya dokumen yang harus dimiliki masyarakat atas hak-hak yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tersebut adalah sertifikat.
Berdasarkan pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa sertifikat yang merupakan surat bukti hak atas tanah berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Hal tersebut dikarenakan data dalam sertifikat mencakup data mengenai jenis haknya, subjeknya maupun mengenai letak, batas, dan luasnya maka sertifikat memberikan jaminan kepastian hukum terhadap data tersebut.
Sebagian besar masyarakat di Provinsi Riau memiliki SKGR (Surat Keterangan Ganti Rugi) untuk menyatakan bahwa mereka memiliki tanah.
SKGR secara harfiah dimaknai sebagai produk Kepala Desa atau Lurah yang berisi informasi pemilik tanah yang berkekuatan hukum karena dilegalisasi oleh desa.
Kewenangan SKGR mutlak berada pada Pemerintah Daerah dalam hal ini yang paling dekat dengan masyarakat adalah Kelurahan atau Desa.
Pada pelaksanaan pendaftaran tanah hampir diseluruh daerah di Provinsi Riau SKGR yang telah terdaftar di Kantor Desa tidak tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga memiliki peluang besar adanya saling klaim antar masyarakat terkait kepemilikan suatu bidang tanah.
Keberadaan SKGR dapat dinilai positif apabila dipergunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik diakui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai surat bukti tertulis pada Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.”
Dalam penerbitan SKGR yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Camat seringkali tanah yang dinyatakan milik seseorang tersebut tidak valid karena beberapa hal yaitu:
- Proses pengukuran tanah hanya dilakukan oleh staff di Kantor Desa yang tidak memiliki sertifikasi pengukuran dan alat yang digunakan tidak terstandarisasi;
- Penandatanganan batas-batas tanah banyak dipalsukan sehingga membuka peluang terjadi sengketa tanah dikemudian hari;
- Surat awal penerbitan SKGR tidak dapat divalidasi dengan jelas, banyak terjadi dibeberapa daerah hanya Surat Keterangan Tanah yang sudah tidak dapat dibaca dengan jelas.
Memperhatikan hal-hal tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat bahwa SKGR bukan merupakan bukti kepemilikan suatu tanah sehingga SKGR sudah seharusnya didaftarkan menjadi sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak katas tanah yang kuat.
SKGR tersebut seharusnya dapat dilakukan permohonan hak baru pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai dengan penguasaannya baik berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan atau Hak Guna Usaha, hal tersebut bersesuaian dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.”
Tujuan dari didaftarkannya tanah tersebut menjadi sertifikat adalah:
- Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
- Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
- Untk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Hal tersebut bersesuaian dengan teori kepastian hukum bedasarkan konsep dari Gustav Radbruch yang menyatakan bahwa bidang tanah yang telah terdaftar akan terhindar dari kesewenang-wenangan.
Kesewenang-wenangan dari pihak-pihak tertentu yang beritikad tidak baik untuk mengakui kepemilikan tanah orang lain. Kepastian hukum tersebut diperlukan, agar pada saat satu waktu terjadi sengketa kepemilikan tanah, masyarakat memiliki bukti yang kuat atas kepemilikan tanah tersebut, yaitu sertifikat.
Kontributor: