Dispensasi Kawin Anak Hamil di Luar Nikah, Solusi Hukum atau Jalan Darurat?

Fenomena kehamilan anak di luar perkawinan menjadi persoalan sosial dan hukum yang kian marak terjadi di masyarakat.
Ilustrasi legal perkawinan. Foto desakarangsari.gunungkidulkab.go.id/
Ilustrasi legal perkawinan. Foto desakarangsari.gunungkidulkab.go.id/

Fenomena kehamilan anak di luar perkawinan menjadi persoalan sosial dan hukum yang kian marak terjadi di masyarakat.

Situasi ini sering kali berujung pada pengajuan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama sebagai solusi yang dipandang paling cepat dan aman.

Berdasarkan data Badilag, pada 2024 sekitar 59 persen permohonan dispensasi kawin diajukan dengan alasan menghindari zina, sementara 31 persen lainnya disebabkan oleh kehamilan. 

Tren serupa juga terlihat pada 2025, dengan persentase permohonan karena alasan menghindari zina sebesar 56 persen dan karena kehamilan sebesar 34 persen. 

Adapun alasan ekonomi maupun faktor adat, seperti perjodohan, tercatat hanya menyumbang persentase yang relatif kecil dibandingkan alasan-alasan tersebut.

Dispensasi kawin kemudian dipersepsikan sebagai solusi hukum untuk menjaga kehormatan keluarga, memberikan kepastian status hukum bagi anak yang akan dilahirkan, serta menghindari stigma sosial. 

Namun, di balik itu semua, muncul pertanyaan mendasar: apakah dispensasi kawin benar-benar merupakan solusi hukum yang ideal, atau sekadar jalan darurat atas kegagalan sistem perlindungan anak?

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menaikkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. 

Ketentuan ini lahir sebagai bentuk komitmen negara untuk menekan praktik perkawinan anak yang terbukti berdampak negatif terhadap kesehatan, pendidikan, dan masa depan anak. 

Namun, undang-undang tersebut tetap membuka celah melalui mekanisme dispensasi kawin yang diberikan oleh pengadilan dengan alasan sangat mendesak dan disertai bukti yang cukup.

Dalam praktik peradilan, hakim kerap dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis ketika memeriksa permohonan dispensasi kawin. 

Di satu sisi, sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, hakim berkewajiban menegakkan ketentuan hukum yang berlaku. 

Namun, di sisi lain, hakim harus berhadapan dengan fakta sosial bahwa perkawinan dianggap sebagai pilihan yang tidak terelakkan. 

Dalam kondisi demikian, hakim cenderung berpegang pada kaidah untuk mengutamakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan yang lebih besar. 

Konsekuensinya, pendekatan ini tidak jarang dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat dengan melakukan hubungan biologis yang berujung pada kehamilan, kemudian menjadikan kondisi tersebut sebagai dasar pengajuan permohonan dispensasi kawin ke pengadilan.

Untuk merespons persoalan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. 

Perma ini merupakan instrumen penting yang menegaskan bahwa dispensasi kawin tidak boleh diputus secara serampangan. 

Hakim diwajibkan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) sebagai pertimbangan utama dalam setiap putusan.

Perma Nomor 5 Tahun 2019 mengatur secara rinci tahapan pemeriksaan permohonan dispensasi kawin. Hakim tidak hanya memeriksa aspek administratif, tetapi juga wajib menggali kondisi psikologis anak, kesiapan fisik dan mental, kesehatan reproduksi, kelanjutan pendidikan, serta potensi dampak sosial dan ekonomi setelah perkawinan. 

Bahkan, hakim diwajibkan mendengarkan keterangan langsung dari anak yang dimohonkan dispensasi, guna memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak semata-mata didorong oleh tekanan orang tua atau lingkungan.

Dalam konteks anak hamil di luar nikah, Perma ini secara implisit menegaskan\ kehamilan tidak serta-merta menjadi alasan pembenar untuk mengabulkan dispensasi kawin.
 
Kehamilan harus dilihat sebagai kondisi darurat yang memerlukan perlindungan ekstra, bukan sebagai legitimasi untuk mempercepat perkawinan anak.

Hakim dituntut bersikap progresif dengan mempertimbangkan apakah perkawinan benar-benar akan memberikan perlindungan terbaik, atau justru menambah beban dan risiko baru bagi anak.

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menempatkan anak sebagai subjek hukum yang memiliki hak asasi yang wajib dilindungi oleh negara, orang tua, dan masyarakat. 

Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, pendidikan, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

Perkawinan anak, termasuk yang dilatarbelakangi oleh kehamilan di luar nikah, berpotensi melanggar hak-hak tersebut jika tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang.

Undang-Undang Perlindungan Anak juga menegaskan kewajiban orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. 

Dengan demikian, dorongan orang tua untuk menikahkan anak yang hamil seharusnya tidak hanya dilihat sebagai upaya menyelamatkan nama baik keluarga, tetapi juga harus diuji apakah tindakan tersebut sejalan dengan prinsip perlindungan anak. 

Tekanan sosial dan norma budaya tidak boleh mengalahkan hak anak atas masa depan yang lebih baik.

Secara sosiologis, praktik dispensasi kawin dalam kasus anak hamil seringkali dipengaruhi oleh stigma masyarakat terhadap kehamilan di luar nikah. 

Anak perempuan menjadi pihak yang paling rentan menanggung beban sosial, sementara faktor penyebab seperti kurangnya pendidikan seks, lemahnya pengawasan, dan minimnya peran negara dalam pencegahan justru terabaikan. 

Dalam situasi seperti ini, dispensasi kawin berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”, bukan solusi jangka panjang.

Dari perspektif hukum progresif, dispensasi kawin seharusnya ditempatkan sebagai langkah terakhir (ultimum remedium). 

Artinya, pengadilan hanya boleh mengabulkan permohonan apabila tidak ada alternatif perlindungan lain yang lebih baik bagi anak. 

Negara, melalui aparat penegak hukum dan lembaga terkait, semestinya memperkuat mekanisme pendampingan psikologis, layanan kesehatan, serta jaminan kelanjutan pendidikan bagi anak yang hamil di luar nikah, tanpa harus selalu mengorbankan masa depan mereka melalui perkawinan dini.

Oleh karena itu, penting bagi hakim, orang tua, dan masyarakat untuk mengubah paradigma. Dispensasi kawin bukanlah solusi hukum yang ideal, melainkan jalan darurat yang penuh risiko. 

Putusan dispensasi kawin harus benar-benar mencerminkan upaya perlindungan anak, bukan sekadar kompromi atas tekanan sosial dan moral. 

Konsistensi penerapan Perma Nomor 5 Tahun 2019 dan penguatan implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi kunci agar hukum tidak hanya menyelesaikan akibat, tetapi juga mencegah terulangnya persoalan serupa di masa depan.

Pada akhirnya, fenomena anak hamil di luar nikah menuntut respons yang lebih komprehensif. Dispensasi kawin boleh jadi diperlukan dalam kondisi tertentu, tetapi tidak boleh dijadikan solusi instan. 

Hukum harus hadir untuk melindungi anak secara utuh, memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak, bukan sekadar meredam gejolak sosial sesaat. 

Dengan demikian, dispensasi kawin tidak kehilangan ruh keadilannya sebagai instrumen perlindungan, bukan justru menjadi pintu masuk baru bagi praktik perkawinan anak.

Sumber Referensi

Muhammad Fikry Firdaus & Suaib Lubis. (2022). Dispensasi Perkawinan Bagi Calon Istri Yang Hamil Diluar Nikah Dibawah Usia 19 Tahun (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Stabat Kabupaten Langkat). Jurnal Pusat Studi Pendidikan Rakyat, 2(2).
Pengadilan Tinggi Agama Bali. (2025). Dirjen Badilag: Dispensasi Kawin Menurun, Namun Waspadai Nikah di Bawah Tangan. Diakses pada 14 Desember 2025, dari https://pta-bali.go.id.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Penulis: Rico Febriansyah
Editor: Tim MariNews