Tama Ulinta Tarigan: Tidak Ada DNA Jahat dalam Perempuan

Profil Hakim Agung Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn, Hakim Agung Kamar Militer
Hakim Agung Kamar Militer MA Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn. Foto : Dokumentasi Humas MA
Hakim Agung Kamar Militer MA Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn. Foto : Dokumentasi Humas MA

Jago masak dan pandai mengurus kebun, begitulah pandangan keluarga terhadap sosoknya. Kegemarannya sederhana, membuat seluruh anggota keluarga senang dan kenyang menyantap hidangan nasi goreng yang dimasaknya setiap pagi. Sosok itu bernama Tama Ulinta.

Anak keempat dari tujuh bersaudara tersebut tidak pernah terbayang menjadi hakim, namun, jalan hidup membawanya duduk sebagai Hakim Agung Kamar Militer Mahkamah Agung Republik Indonesia. Menjadi satu-satunya perempuan di kamar yang identik dengan dunia maskulin.

Di sebuah pagi di ruang kerjanya, ditemani cemilan di meja, MARINews berbincang dengannya tentang segala hal yang pernah dilaluinya, tentang kemudahan yang datang tanpa dinyana, dan tentang kegagalan yang darinya ia belajar bertahan dan berhasil.

Militer itu Keras

Lahir di Medan, 3 Maret 1965, Tama tumbuh sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Di rumah, ia dikenal sebagai anak yang paling betah dengan buku. Biologi dan fisika menjadi pelajaran favoritnya. Ia senang meneliti organ manusia, hewan, apa saja yang bisa dipelajari.

“Cuma kamu aja yang suka belajar”, katanya menirukan ucapan orang tuanya kepadanya. Makanya mereka mendukung Tama belajar hingga kuliah agar cepat selesai dan menggapai cita-cita.

Ayahnya seorang pegawai negeri sipil di bidang agraria. Namun, Tama tak tertarik membayangkan hidup menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena kecintaannya pada dunia ekologi, ketika lulus SMA, ia menjadikan Fakultas Pertanian sebagai pilihan pertama. Alasannya sederhana: Indonesia adalah negara agraris. 

Namun takdir membelokkannya ke Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Di sanalah hukum pelan-pelan mengambil alih rencananya.

Ia lulus dari fakultas hukum pada 1988. Saat itu, pilihannya hanya dua, menjadi notaris atau hakim.

“Hanya dua itu yang saya tuju, yang lain saya tidak tertarik,” ujarnya.

Untuk itu, setelah lulus S1, ia langsung meneruskan ke Program Magister Kenotariatan. Namun di tengah proses belajarnya, ia mendapatkan informasi bahwa TNI Angkatan Darat membuka perekrutan perwira hukum. Tama mendaftar dan lulus. Ia merasa Tuhan memberikan banyak sekali kemudahan dalam proses itu. Lalu, di tahun 1989 itu Tama resmi masuk TNI.

Setelah dinyatakan lulus, Tama dan peserta yang lain wajib mengikuti latihan militer di Lembang. Ini menjadi ujian pertama yang nyata. Fisik ditempa, mental digerus. Makanan ditakar. Berat badan diawasi. Senjata dan sepatu laras menjadi bagian dari tubuh. Pada satu titik, ia ingin menyerah.

“Latihan militer itu keras, buat semua, baik laki-laki maupun perempuan, semua sama. Apa-apa ditakar, makan, tidur, semua ditakar, pinginnya pulang aja, makan enak di rumah,” katanya mengenang masa-masa berat latihan.

Namun, sistem militer tak memberi ruang untuk pulang. Akhirnya, selama lima bulan ia bertahan dengan dukungan dari sesama peserta.

Kemampuan, Integritas, dan Iman

Selepas latihan, kariernya dimulai sebagai Penasihat Hukum Kodam I/Bukit Barisan. Ia kemudian mengikuti kursus kepaniteraan hukum militer dan dipercaya menjadi Panitera Pengadilan Militer I-02 Medan.

Dari balik meja panitera, ia mengamati bagaimana hukum bekerja bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai keputusan yang menyentuh hidup orang lain.

Tahun 2003, Tama diangkat sebagai Hakim Militer. Saat itu, sebelum sistem satu atap diberlakukan, hakim peradilan militer direkrut dari tiga unsur: perwira hukum angkatan, panitera pengganti, serta oditur militer atau jaksa militer.

Hakim Agung Kamar Militer MA Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn. Foto : Dokumentasi Humas MA

Seleksi yang dilakukan ketat, mulai dari psikotes, rekam jejak, latar belakang pendidikan, dan tentu saja integritas. Yang terpilih adalah yang mumpuni di bidang itu semua. Tama lolos.

“Saat itu saya mendengar bahwa saya lulus menjadi hakim militer, karena saya dianggap punya kemampuan dan integritas,” ujarnya.

“Tapi yang saya yakini adalah pertolongan Tuhan kepada saya. Keimanan saya. Saya percaya sekali Tuhan tidak pernah membiarkan saya melangkah sendiri. Ia pasti membimbing, memudahkan, dan menunjukkan saya jalan terbaik,” tambahnya.

Dari situ, kemudian ia berpindah-pindah kota dan jabatan, Palembang, Medan, Jakarta. Dari wakil ketua hingga ketua pengadilan. 

Pada 2014, ia ditarik ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung sebagai Hakim Tinggi Pengawas. Di sana, ketelitian dan konsistensinya diuji. Pengawasan bukan pekerjaan populer. Tapi justru di situlah integritas diuji tanpa sorotan.

Salah satu momen yang mengesankan baginya adalah saat fit and proper test untuk jabatan pimpinan. Di hadapannya duduk Artidjo Alkostar, hakim agung yang reputasinya membuat banyak orang gentar. Hakim agung yang terkenal galak terhadap koruptor.

“Saya suka tantangan, saya senang mendengar bahwa yang akan menguji adalah Pak Artidjo, beliau itu terkenal galak kepada koruptor, kalau saya kan bukan koruptor, saya hanya mengikuti fit and proper, pasti pak Artidjo akan fair,” katanya sambil tersenyum mengingat masa-masa itu.

Seingat Tama, saat itu ada satu pertanyaan sederhana dari Pak Artidjo yang membuatnya terkesan dan berpikir keras, “apa keunggulan Anda?”

Seingat Tama, ia lancar menjawab. Ia bicara soal putusan. Tentang kebiasaannya mengunggah putusan ke Direktori Putusan Mahkamah Agung ketika digitalisasi belum menjadi arus utama.

Ia jelaskan saat itu, bahwa Pengadilan Militer Medan termasuk yang terbaik dalam hal upload putusan. Saat itu masih awal-awal MA menggalakkan digitalisasi. Tama dengan alat seadanya, mengajak kawan-kawan untuk mengupload putusan yang mereka buat. Agar ada dokumentasi.

Tentu saja. ada yang mau dan ada juga yang tidak mau. Namun hal itu tidak membuat Tama luluh, ia tetap saja mengunggah putusan tersebut.

Ternyata, apa yang dilakukan tersebut mendapat penilaian dari MA sebagai salah satu pengadilan pertama yang mengupload putusan.

“Maka itu yang menjadi unggulan yang saya sampaikan ke Pak Artidjo. Selain kode etik, integritas, semua kinerja,” terangnya.

Saat itu, baik pengadilan militer maupun pengadilan lain masih langka yang mengupload putusan tersebut. Tidak semasif sekarang.

Setelah itu ia mendapat info bahwa nilainya yang terbaik yang diberikan Pak Artidjo. Akhirnya ia bisa menduduki jabatan pimpinan di Jakarta.

“Saya tidak menyangka bahwa hasil saya mengupload putusan tersebut menjadi penentu nilai. Karena memang mahkota hakim itu kan terletak di putusannya. Bagaimana pertimbangannya, amarnya, agar orang lain bisa membacanya. Bisa mengetahui alasan hakim memutus,” kata Tama.

Itulah yang menjadi nilai tertingginya. Ia dinilai unggul. Ia ditarik ke Jakarta.

Belajar dari Kegagalan

Pada Oktober 2021, Tama Ulinta Tarigan dilantik sebagai Hakim Agung. Ia ditempatkan di Kamar Militer. Namun, perjalanan tersebut, tidak mudah. Ia pernah gagal dua kali sebelumnya.

Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn., saat dilantik menjadi hakim agung. Foto : Dokumentasi Humas MA

Ia mengaku banyak belajar dari kegagalan-kegagalan sebelumnya.

“Saat ditest oleh KY, saya bisa merasa bahwa saya kurang di bidang ini dan itu, sehingga kemudian menjadi penyemangat saya belajar lebih keras dan lebih baik lagi,” kenangnya.  

Baginya, semua orang baik laki-laki maupun Perempuan harus bisa memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Agar yang lebih bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, sedangkan yang kurang bisa diperbaiki.

“Kita harus tahu kekurangan kita, kita tidak boleh merasa jumawa bahwa kita sudah bisa, selalu ada yang belum kita ketahui,” tegasnya.

Ia juga banyak belajar dari tokoh-tokoh yang menginspirasinya, salah satunya adalah Ketua MA, Sunarto. Baginya, Sunarto adalah sosok yang rendah hati dan berintegritas,.

Tama menjelaskan bahwa Ketua MA selalu meminta para hakim dan aparatur peradilan supaya dalam memberikan pelayanan hukum agar tidak ada transaksional, gratifikasi, dan perbuatan yang merusak kode etik, karena itu mencemari nilai seorang hakim yang dikenal sebagai wakil Tuhan.

“Beliau adalah sosok yang kita tauladani, kagumi, harus kita contoh, menjadi suri tauladan kita,” katanya.

Tidak Ada DNA Jahat dalam Hakim Perempuan

Selain melaksanakan tugasnya sebagai hakim, Sejak 2022 hingga sekarang, Tama aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Pamulang. 

Selain itu, Tama juga aktif mengikuti forum-forum internasional, seperti studi peradilan militer di Bangkok, konferensi International Association of Women Judges di Maroko, hingga studi konflik kepentingan di Amerika Serikat.

Hakim Agung Kamar Militer MA Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn bersama Ketua Mahkamah Agung Prof Syarifuddin. Foto : Dokumentasi Humas MA

Baginya, menjadi apapun, baik sebagai hakim maupun sebagai ibu, atau yang lainnya, Perempuan harus bisa meletakkan diri sebagai perempuan yang memiliki nilai-nilai khas. 

Perempuan itu nilainya lembut, bersih, teliti, itulah yang harus diunggulkan. Menurutnya, kelembutan, ketelitian, dan kebersihan yang menjadi nilai khas perempuan membuat kejahatan tidak mungkin bisa hidup dalam diri perempuan.

“Meski keras, tapi hatinya lembut, bersih, makanya, tidak boleh ada hakim perempuan yang menjualbelikan perkara. Karena pada dasarnya tidak ada DNA-nya untuk itu,” tegas Tama.