Sentencing Guidelines Solusi Disparitas Putusan Perkara Pidana

Sentencing guidelines akan menjadi instrumen efektif guna mereduksi disparitas putusan perkara pidana dan tantangan mengimplementasikan, akan muncul dari dalam korps hakim sendiri.
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com

Pendahuluan

Putusan merupakan produk akhir pemeriksaan perkara di pengadilan. Teks putusan, berisi kebijaksanaan hakim mengadili suatu perkara, yang setidak-tidaknya memuat fakta, aturan hukum, tafsir hukum, dan penilaian hakim itu sendiri. Putusan pengadilan senantiasa bersifat kontekstual dan kasuistis. 

Kekhasan tersebut, menimbulkan kesan antara putusan satu, dengan yang lain, tidak sama, bahkan dapat menimbulkan persepsi inkonsistensi. Disparitas putusan pengadilan, telah menjadi isu klasik yang berkembang di tengah masyarakat. Kesan ini, menyeruak kembali, ketika ada peristiwa penting yang sedang terjadi di masyarakat.

Dalam ranah pidana, masyarakat masih sering menganggap perbedaan penjatuhan hukuman pada perkara sejenis, manifestasi disparitas putusan pengadilan. Ada banyak faktor, yang mempengaruhi tidak seragamnya putusan pengadilan. Salah satunya perbedaan kasus perkaranya, biasanya ada pola-pola perbuatan yang tidak sama, keunikan tersendiri, dan bahkan ada keadaan khusus, yang jadi pembedanya. 

Kemudian, ada yang disebabkan perkembangan aturan hukum, seperti aturan baru menggantikan aturan lama (lex posterior derogat legi priori). Selanjutnya, perbedaan paradigma antar hakim, pada saat mengadili suatu perkara. Hal ini yang menyebabkan munculnya perbedaan perspektif, di antara hakim dalam menyusun pertimbangan hukum. 

Variabel lainnya yang mempengaruhi, pola susunan majelis hakim pemeriksa perkara. Hal dimaksud, berkaitan dengan unsur subjektif antar hakim, yang akan mempengaruhi hasil akhir putusan pengadilan. Bahkan, cara pandang hakim di suatu wilayah tertentu, dengan wilayah lain, dapat berbeda mengingat adanya faktor pengaruh eksternal, seperti pengaruh adat budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, dimana hakim itu bertugas. 

Akibatnya pola pikir antar hakim, cenderung tidak sama. Adanya fenomena tersebut, diperlukan sebuah instrumen/pedoma,n yang dapat digunakan hakim sebagai tolak ukur bersama, guna mempertimbangkan pemidanaan yang ideal.

Pedoman Pemidanaan

Pedoman pemidanaan (sentencing guidelines), bukan hal baru dalam perkembangan hukum pidana modern. Konsep tersebut, pertama kali diperkenalkan di Amerika dan Inggris. 

Pedoman pemidanaan, panduan atau kerangka acuan, yang digunakan hakim dalam menentukan hukuman yang akan diberikan kepada Terdakwa, yang telah terbukti bersalah dalam suatu perkara pidana. Tujuan pedoman pemidanaan,  guna ciptakan konsistensi penjatuhan hukuman, di berbagai perkara pidana. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang rinci, diharapkan penjatuhan pidana bersifat proporsional dan dapat dipahami, baik masyarakat maupun terpidana.

Sentencing guidelines sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional, mengatur bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: 

- bentuk kesalahan pelaku tindak pidana; 

- motif dan tujuan melakukan tindak pidana; 

- sikap batin pelaku tindak pidana; 

- tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;

- cara melakukan tindak pidana; 

- sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;

- riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana; 

- pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;

- pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

- pemaafan dari korban dan/atau keluarga Korban; dan/atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

KUHP Nasional, meletakkan pondasi kuat, agar kedepannya hakim wajib mempertimbangkan segi keadilan dan segi kemanusiaan, dalam proses peradilan pidana. Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, mengatur ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana, serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan pertimbangan, untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakkan tindakkan, didasarkan keadilan dan kemanusian. 

Ketentuan ayat ini dikenal dengan asas rechterlijk pardon atau judicial pardon, yang memberikan kewenangan hakim untuk memberi maaf, kepada seorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan kualifikasi ringan. Meskipun asas ini, bentuk pijakan memperbaiki kesalahan dan meraih kesempatan kedua, namun perlu digaris bawahi, tidak semua kasus pidana, akan mudah mendapatkan pengampunan tersebut.

Sebelumnya, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perma tersebut, dilahirkan dari kondisi disparitas putusan tipikor. Pembentukan Perma dimaksud, bertujuan agar penjatuhan pidana tipikor, didasari kepastian dan proporsionalitas, serta menghindari disparitas perkara, yang memiliki karakter serupa. Adanya perma ini, jadi sinyal kuat, pedoman pemidanaan dibutuhkan, untuk wujudkan putusan pengadilan yang ideal.

Kedudukan Sentencing Guidelines dalam Merumuskan Pemidanaan

Pemberlakuan KUHP Nasional secara fundamental, berikan perubahan signifikan penegakkan hukum pidana Indonesia. KUHP Nasional, menggeser paradigma hukum pidana beraliran klasik, menjadi bernuansakan hukum pidana modern. 

Hal tersebut, ditandai adanya pengaturan khusus, mengenai bab pemidanaan, pidana, dan tindakan. Selain bagian tujuan pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana, KUHP Nasional juga memuat bagian khusus mengenai pedoman pemidanaan (sentencing guidelines). 

KUHP Nasional memposisikan sentencing guidelines sebagai elemen penting, dalam merumuskan pemidanaan ideal, bagi pelaku pidana. Singkatnya, sentencing guidelines, elemen yang wajib dimuat dalam putusan. Dengan adanya pedoman pemidanaan, rumusan pemidanaan berubah menjadi kumulasi tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.

Sentencing Guidelines sebuah Keniscayaan

Sentencing guidelines berperan penting, sebagai katalis ideal, guna mereduksi disparitas penjatuhan pidana. Artinya pencantuman pertimbangan sentencing guidelines dalam putusan, wajib dan harus dalam rangka memenuhi harapan masyarakat, akan putusan yang berkeadilan, proposional, dan ideal.

Keniscayaan tersebut, perlu mendapat dukungan dari hakim dan masyarakat sendiri. Hakim harus mampu benar-benar menggali dan mempertimbangkan sentencing guidelines, dalam setiap putusannya. Hakim perkara pidana, secara nurani memiliki kewajiban menjelaskan secara benar dan wajar, tentang apa yang diputuskan kepada terpidana dan masyarakat. 

Selain itu, masyarakat diharapkan bersikap objektif, ketika menilai sebuah putusan. Guna mengetahui adanya disparitas putusan tersebut, wajib ada narasi komprehensif atau setidaknya kerelaan diri, untuk sungguh-sungguh memahami keseluruhan pertimbangan hakim. Memahami bagaimana hukuman diputuskan, penting guna menentukan pemidanaan sudah adil dan proporsional atau tidak. 

Kesimpulan

Disparitas penjatuhan hukuman, tidak dapat dipandang secara generalisir, melainkan dipahami, bahwa setiap kasus bersifat khusus dan unik. Penulis berpendapat, yang harus disamakan  cara berpikirnya dan cara hakim membuat pertimbangan putusan. 

Sentencing guidelines akan menjadi instrumen efektif guna mereduksi disparitas putusan perkara pidana dan tantangan mengimplementasikan, akan muncul dari dalam korps hakim sendiri. Bahkan yang terberat, dari masyarakat yang belum mengetahui adanya pergeseran paradigna, menuju hukum pidana modern.

Penulis: Wienda Kresnantyo
Editor: Tim MariNews