Kisah “Kunto Hadi Purnomo,” Hakim Muda yang Hilang di Aceh pada 2000

Kisah Hakim Kunto adalah satu dari sekian banyak kisah perjuangan hakim di Indonesia. Setiap hakim memiliki kisah perjuangannya masing-masing.
Kunto Hadi Purnomo, Calon Hakim Muda yang hilang di Aceh. Foto dokumentasi penulis
Kunto Hadi Purnomo, Calon Hakim Muda yang hilang di Aceh. Foto dokumentasi penulis

25 tahun berlalu, namun kesedihan masih sangat dirasakan Lusiana (istri Kunto), saat dihubungi oleh Angghara, kontributor MARINews, beberapa waktu lalu. Lusi ditinggalkan oleh suaminya saat sedang hamil tiga bulan, sampai sekarang Lusi masih memilih hidup sendiri dan fokus membesarkan serta mendidik putranya.

“Sebuah Firasat”- Merasa Sangat Berat Saat Ditinggal.

Dengan wajah cerah penuh semangat dan kebanggaan, seorang Calon Hakim Muda memulai perjalanannya dari Jakarta menuju Aceh. Penugasan kali ini, membawanya ke Pengadilan Negeri Tapaktuan. Bagi seorang hakim, surat keputusan (SK) penempatan bukan sekadar dokumen administratif—melainkan panggilan tugas mulia yang harus dijalankan, sekalipun di daerah rawan sekalipun.

Namun, ada firasat berbeda yang dirasakan Lusiana, sang istri. Dengan kondisi tengah hamil muda, ia merasa berat melepas kepergian suaminya. Perasaan cemas menyelimuti, seolah memberi isyarat akan sesuatu yang tidak biasa.

Pagi itu, Kunto berpamitan dengan Lusi, istrinya tercinta. Pada 2000, Aceh masih menyimpan ketegangan. Meski status Daerah Operasi Militer (DOM) telah dicabut, catatan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengungkapkan, masih banyak kasus orang hilang yang belum terpecahkan. Situasi keamanan masih jauh dari kondusif.

Namun di balik semua itu, Lusi masih mengingat jelas wajah suaminya yang penuh semangat ketika meninggalkan rumah mereka di kawasan Jalan Kalibata Raya, Jakarta Selatan. Kunto pergi untuk mengemban tugas negara-dilantik sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Tapaktuan melalui Pengadilan Tinggi Aceh.

Sabtu (24/6/2000), menjadi hari bersejarah bagi Kunto. Ia resmi dilantik sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Banda Aceh, bersama rekan-rekannya satu angkatan yang kemudian dikenal sebagai Hakim Angkatan X. Pelantikan ini menandai dimulainya tugas mereka di berbagai satuan kerja (satker) dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Banda Aceh, yang kala itu masih bernama Nanggroe Aceh Darussalam.

Sehari setelah pelantikan, pada Minggu (25/6/2000) pagi, Kunto berangkat menuju tempat tugas barunya: Pengadilan Negeri Tapaktuan, Aceh Selatan. Perjalanan darat sejauh 434 kilometer dari Banda Aceh ke Tapaktuan ia tempuh dengan menggunakan minibus “Widuri,” yang memakan waktu sekitar 8 hingga 10 jam. Malam harinya, minibus tersebut tiba di Tapaktuan, dan menurut keterangan, Kunto turun tepat di depan Losmen Rahmat.

Namun, keesokan paginya, ketika salah satu staf pengadilan mencoba mengecek keberadaan Kunto, ia terkejut karena hakim muda asal Jakarta tersebut tidak ditemukan di losmen yang dimaksud. Seolah hilang tanpa jejak, peristiwa ini seketika tertutup oleh situasi keamanan Aceh yang kala itu masih penuh gejolak.

Sepuluh hari kemudian, Lusi-istri Kunto-yang mulai diliputi rasa cemas, akhirnya menghubungi H. Kardjono Darmoatmojo, S.H., Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh (periode 1999–2001). Saat itu, kabar hilangnya Hakim Angkatan X pun mulai menyebar dan menggemparkan lingkungan peradilan di Aceh.

Seorang penumpang minibus “Widuri” kemudian memberikan kesaksian mengejutkan: orang yang turun di depan Losmen Rahmat ternyata bukan Kunto. Fakta ini baru terungkap setelah Lusi mengirimkan foto suaminya ke pihak di Tapaktuan, untuk memastikan identitas orang yang dimaksud.

Merespons kejadian tersebut, Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh segera mengirim surat resmi kepada Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, dan Kapolri, meminta agar kasus hilangnya Hakim Kunto segera ditindaklanjuti. Lusi juga mengirim surat kepada Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Tapaktuan, namun tak satu pun mendapat balasan. Satu-satunya respons datang dari Kapolda Aceh, itupun hanya berupa imbauan singkat: “Mohon bersabar.”

Teman Satu Angkatan Kunto Sempat Digiring ke Rumah Panglima GAM

Saat Pengadilan Tinggi Aceh gempar dengan kasus hilangnya Hakim Kunto, ternyata peristiwa lain sempat menimpa rekan satu angkatan Hakim Kunto, saat itu Sobandi,S.H. Calon Hakim muda asal Karawang Jawa Barat yang juga ditugaskan di Aceh, sempat dibawa ke rumah Panglima GAM (Gerakan Aceh Merdeka), peristiwa tersebut mungkin tidak akan pernah ia lupakan sepanjang karirnya. 

Sobandi muda berangkat menuju tempat bertugas di Pengadilan Negeri Blangkejeren dengan menggunakan kapal Gunung Kelud dari Jakarta tujuan Medan selama tiga hari dua malam, selama di dalam kapal Sobandi selalu ikut salat berjamaah, yang dilanjutkan dengan pengajian bersama rombongan asal Aceh.

Suatu pagi selepas salat Subuh, dalam perjalanan menuju penugasan, Sobandi ditanya oleh salah satu anggota rombongan tentang nama dan tujuan perjalanannya. Dengan jujur, Sobandi menjawab sedang dalam perjalanan menuju Blangkejeren untuk dilantik sebagai hakim.

Mendengar hal itu, anggota rombongan tersebut mengajaknya untuk singgah dan menginap sementara di rumahnya di kawasan Belawan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Blangkejeren. Mereka pun sepakat untuk bertemu kembali di masjid setelah salat Zuhur.

Di masjid itulah, Sobandi terlibat dalam perbincangan dengan sang imam. Sang imam menceritakan banyak hal, termasuk tentang organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Betapa terkejutnya Sobandi saat mengetahui bahwa imam yang selama ini memimpin salat di masjid tersebut ternyata adalah Panglima GAM Wilayah Aceh Timur, yang baru saja kembali dari pelatihan militer di Libya bersama para anggotanya.

Rasa panik dan ketakutan langsung menyelimuti Sobandi. Namun, karena ia sudah terlanjur berjanji untuk bertemu di masjid selepas salat Zuhur, ia memutuskan tetap datang-meskipun dengan perasaan was-was. Dalam hati, Sobandi hanya bisa berserah dan yakin bahwa perlindungan Allah SWT akan selalu menyertainya.

Sobandi sempat berpikir akan diculik kemudian dibunuh, mengingat kondisi Aceh sedang dalam suasana referendum dan banyak penculikan terhadap aparat negara dan orang Jawa. Saat itu, Tengku Abdullah mengungkapkan kekagumannya kepada hakim yang bernama Bismar Siregar. Ia berpesan kepada Sobandi agar menjadi hakim yang benar-benar menegakkan hukum dan keadilan sesuai hukum Islam, sebagaimana Bismar Siregar

Nasib baik datang pada Sobandi muda, ia diperbolehkan keluar dari rumahnya selepas salat Isya guna melanjutkan perjalanan untuk di lantik sebagai Hakim PN Blangkejeren. Bukan hanya itu, bahkan mereka turut mencarikan dan membayarkan ongkos travel yang membawa Sobandi ke Blangkejeren. 

Calon Hakim angkatan X (sepuluh) tersebut kini dikenal sebagai Dr. H. Sobandi, S.H., M.H. yang kini menjabat sebagai Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI yang juga pernah menduduki beberapa jabatan penting, seperti Ketua PN Depok, Ketua PN Denpasar, dan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Kasus Hilangnya Hakim Kunto Menjadi Perhatian Berbagai Pihak.

Alm. Munir, S.H.-aktivis hak asasi manusia dan Ketua Dewan Pengurus Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)-sempat menilai, hilangnya Hakim Kunto tidak dapat dilepaskan dari konteks Jeda Kemanusiaan di Aceh pada 2000. Masa itu memang menciptakan suasana yang relatif lebih tenang, namun tidak sepenuhnya bebas dari kekerasan.

“Dulu pelanggaran dilakukan secara terang-terangan—main tembak. Tetapi berubah menjadi lebih senyap. Metode penghilangan orang adalah yang paling cocok untuk situasi seperti itu,” ujar Alm Munir dalam sebuah kesempatan.

Menurut catatan Kontras, sepanjang Oktober 1999 hingga Agustus 2000 tercatat 53 kasus penghilangan paksa di Aceh. Jumlah ini, belum termasuk catatan kelam selama masa Daerah Operasi Militer (DOM), di mana tercatat 442 kasus penghilangan orang. Munir menyebut, jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar, namun tim investigasi Kontras menghadapi banyak kendala di lapangan.

“Saat itu, kondisi keamanan benar-benar tidak kondusif untuk melakukan penyelidikan mendalam,” tambahnya.

Kasus orang hilang di Aceh bahkan menjadi perhatian internasional dan dibahas dalam Kongres Internasional tentang Penghilangan Paksa, yang diselenggarakan di Jakarta pada saat itu.

Beberapa peristiwa tragis lainnya turut memperkuat urgensi isu ini. Di antaranya adalah hilangnya Tengku Nashiruddin Daud, anggota DPR/MPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) asal Aceh, yang kemudian ditemukan tewas di pinggiran kota Medan. Hilangnya Tengku Ismail Syahputra, juru bicara GAM, juga terjadi di Medan. Begitu pula dengan Jafar Siddiq Hamzah, aktivis HAM dan Ketua Forum for Aceh (IFA), yang turut menjadi korban penghilangan paksa.

Nama “Kunto Hadi Purnomo” layak dijadikan nama pada salah satu ruangan di PN Tapaktuan

Entah apa yang sebenarnya terjadi, namun yang jelas kasus itu masih gelap dan tak berjejak. Kepada Angghara-kontributor MARINews, Lusi mengatakan masih sendiri, anaknya merupakan anak pertama dan satu-satunya yang ia miliki.

Sampai saat ini, Lusi hanya meratapi suaminya tanpa kepastian, Hakim Kunto Hadi Purnomo, hilang begitu saja sebelum sempat melaksanakan tugas sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Tapaktuan, Aceh Selatan. “Apakah dia masih hidup atau tidak” Lusi tidak tahu, namun Lusi akan terus menunggu sekalipun kabar pahit yang akan ia terima.

Kisah Hakim Kunto adalah satu dari sekian banyak kisah perjuangan hakim di Indonesia. Setiap hakim memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Namun nama “Kunto Hadi Purnomo” layak untuk di jadikan nama pada salah satu ruangan di PN Tapaktuan sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanannya dalam memenuhi panggilan tugas.
 

Penulis: Angghara Pramudya
Editor: Tim MariNews