Loh, kenapa Hakim PTUN harus jago Matematika? Apa kaitan Matematika dengan PTUN? Apakah di PTUN ada perhitungan angka-angka seperti di Pengadilan Pajak? iya, Di PTUN memang sekarang dimungkinkan adanya perkara-perkara yang terkait dengan hitungan-hitungan seperti dalam pelajaran matematika, misalnya perkara ganti rugi tanah partikulir dan penetapan kembali uang kompensasi dalam sengketa kepegawaian yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung.
Untuk besaran ganti rugi, sejak 2019 sudah disepakati dan dirumuskan di dalam Rapat Pleno Kamar TUN yang dituangkan didalam SEMA Nomor 2 Tahun 2019, dalam mengadili sengketa tindakan pemerintahan/perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, jumlah tuntutan maksimal ganti rugi tidak dibatasi sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Contoh kasus yang telah berkekuatan hukum tetap sudah ada yaitu kasus ganti rugi tanah partikulir. Dalam kasus tersebut tindakan tergugat Menteri ATR/Kepala BPN tidak melakukan perbuatan konkret berupa tidak melaksanakan pembayaran ganti rugi berupa uang kepada pihak penggugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bertentangan dengan kewajiban hukum (proximate omission) tergugat sendiri dan melanggar hak subjektif penggugat, maka perbuatan tidak bertindak (omission) oleh tergugat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Dengan demikian petitum gugatan “Mewajibkan Tergugat melakukan Tindakan Pemerintahan berupa melaksanakan pembayaran ganti rugi berupa uang sebesar Rp570.000,- (lima ratus tujuh puluh ribu rupiah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria RI No. SK/19/Depag/64 tertanggal 26 Agustus 1964 yang saat itu setara dengan 316,666667 gram emas, jika dikonversi ke harga emas pada 31 Desember 2021 yang setara dengan Rp942.000 per gram maka dikali 316,666667 gram emas diperoleh hasil Rp298.300.000,- (dua ratus sembilan puluh delapan juta tiga ratus ribu rupiah) dikabulkan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta.
Kemudian Majelis Hakim PTTUN Jakarta menambahkan lagi dengan mendasarkan pada Penjelasan Umum BAB III Nomor 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikulir yang dikutip sebagai berikut:
Mengacu pada penjelasan resmi dalam undang-undang, pembayaran ganti kerugian oleh negara dalam jumlah besar tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu singkat. Oleh karena itu, Pasal 8 ayat (3) memberikan ruang bagi pembayaran secara berangsur, dengan ketentuan bahwa jangka waktunya tidak boleh melebihi lima tahun.
Selama masa angsuran tersebut, para pemilik yang belum menerima seluruh ganti kerugian berhak atas bunga dari sisa pembayaran yang belum diterima. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak pemilik, agar tetap mendapatkan jaminan yang adil dan wajar, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (1) UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara).
Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal demi pasal, dijelaskan bahwa: “Bunga menurut undang-undang yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah sebesar 6%, sebagaimana ditetapkan dalam Staatsblad 1848 No. 22 (wettelijk interest).”
Dengan ketentuan ini, undang-undang memberikan kepastian hukum dan perlindungan finansial kepada pihak yang berhak menerima ganti rugi, terutama dalam konteks pengadaan tanah atau pengambilalihan hak atas properti oleh negara.
Dengan mencermati ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikulir, serta memperhatikan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terdapat fakta hukum penting yang menjadi dasar putusan pengadilan.
Sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Agraria RI Nomor: SK/19/Depag/64 tanggal 26 Agustus 1964, hingga pendaftaran gugatan Penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 3 Februari 2022-rentang waktu selama 58 tahun-tidak ditemukan bukti apa pun bahwa tergugat telah membayar ganti kerugian kepada pemilik tanah partikulir maupun ahli warisnya.
Berdasarkan fakta tersebut, Majelis Hakim Banding menilai, posita dan petitum gugatan penggugat, yang meminta agar tergugat dihukum membayar bunga sebesar Rp1.038.084.000,- (satu miliar tiga puluh delapan juta delapan puluh empat ribu rupiah), adalah beralasan hukum dan patut untuk dikabulkan karena memenuhi asas kewajaran dan keadilan.
Atas pertimbangan tersebut, gugatan penggugat dikabulkan untuk seluruhnya. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023, sehingga saat ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dalam kasus pembayaran ganti rugi tanah partikulir, terlihat Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki peran penting dalam memastikan kalau nilai ganti rugi yang diberikan benar-benar mencerminkan rasa keadilan.
Hakim PTUN tidak cukup hanya melihat angka nominal yang tercantum dalam keputusan pemerintah. Ia perlu mengkonversi nilai ganti rugi tersebut ke dalam satuan gram emas berdasarkan harga emas saat keputusan itu ditetapkan. Setelah nilai dalam gram emas diperoleh, hakim kemudian mengalikan nilai tersebut dengan harga emas saat ini, guna mendapatkan nilai ganti rugi yang adil dan relevan dengan kondisi ekonomi terkini.
Tugas hakim tidak berhenti pada penyesuaian nilai semata. Hakim juga harus menghitung besaran bunga yang layak diterapkan terhadap ganti rugi yang belum dibayarkan oleh Tergugat. Rumus yang digunakan umumnya adalah: Sisa ganti rugi x 6% x lamanya keterlambatan (bulan/tahun)
Dengan rumus ini, nilai bunga yang dituntut akan mencerminkan kerugian finansial yang ditanggung oleh Penggugat akibat penundaan pembayaran.
Berdasarkan Pasal 117 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun), Ketua PTUN maupun Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) diberi kewenangan untuk menetapkan besaran kompensasi dalam sengketa kepegawaian, khususnya jika rehabilitasi tidak dilaksanakan atau dilakukan secara tidak sempurna oleh instansi terkait.
Dalam praktiknya, beberapa pihak dalam sengketa biasanya menghadirkan appraiser (penilai profesional) untuk menghitung nilai kompensasi. Namun, kerap kali ditemukan appraiser yang dihadirkan tidak sepenuhnya netral, karena berpihak pada pihak yang menunjuknya.
Di sisi lain, bila Ketua PTUN/PTTUN ingin menghadirkan appraiser independen, sering kali terkendala oleh tidak tersedianya anggaran pengadilan untuk menunjuk penilai profesional.
Situasi inilah yang menuntut kompetensi dan keahlian Ketua PTUN atau Ketua PTTUN untuk melakukan perhitungan sendiri atas besaran kompensasi yang adil dan objektif. Kemampuan analisis hukum dan keuangan menjadi krusial agar putusan yang diambil tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memenuhi asas keadilan substantif bagi pihak yang dirugikan.
Empat perkara kompensasi kepegawaian dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, Surabaya, Mataram, dan Palangkaraya yang telah masuk ke Mahkamah Agung seluruhnya dibatalkan oleh MA. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menetapkan kembali besaran kompensasi dengan berbagai alasan korektif, terutama menyangkut ketidaktepatan dalam perhitungan komponen uang kompensasi.
Beberapa faktor yang menyebabkan pembatalan oleh Mahkamah Agung antara lain: Ketidaktepatan dalam menentukan komponen kompensasi. Misalnya, dalam penghitungan apakah kompensasi mencakup seluruh elemen seperti gaji pokok, tunjangan kinerja, tunjangan jabatan, gaji ke-13 dan ke-14, atau hanya selisih dari yang seharusnya diterima?
Pertanyaan lainnya, apakah perhitungan kompensasi dimulai sejak tanggal pemberhentian Penggugat, atau sejak putusan berkekuatan hukum tetap (BHT)? Lantas Apakah kompensasi dihitung hingga putusan inkracht, atau hingga masa jabatan atau pensiun penggugat berakhir?
Situasi tersebut menegaskan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) kini tidak hanya dituntut memahami hukum materil dan formil, tetapi juga harus memiliki kemampuan analisis kuantitatif, terutama dalam menghitung kompensasi yang kompleks dan variatif.
Hal ini menjadi semakin menantang ketika objek sengketa melibatkan penggugat dengan penghasilan tidak tetap, seperti Perangkat Desa yang memperoleh pendapatan dari tanah kas desa (bengkok). Dalam kasus seperti itu, variabel penghasilan menjadi tidak pasti, sehingga perhitungan kompensasi menuntut ketelitian dan keahlian khusus dari hakim.
Kasus-kasus ini memberikan pelajaran penting bagi seluruh aparatur peradilan TUN bahwa perhitungan kompensasi tidak hanya soal keadilan, tetapi juga presisi. Ke depan, dibutuhkan pendekatan yang lebih sistematis, termasuk kemungkinan penguatan kapasitas hakim dalam aspek teknis perhitungan keuangan.
Wallahu a'lam bish-shawab.