Kehendak dan Intensi dalam Filsafat Hukum

Dalam setiap analisis hukum mengenai kesengajaan atau ketidaksengajaan, diperlukan kepekaan mendalam untuk memahami intensi yang menyembul dari kehendak manusia.
Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com
Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com

“The innermost, the kernel of every individual thing and likewise of the whole: it appears in every blind operation of a force of nature: it also appears in deliberative human action; these differ from each other only in the grade of their appearing, not in the essence of what appears.”

Arthur Schopenhauer (The World as Will and Representation).

Dalam khasanah filsafat istilah kehendak (wille) bagi filsuf Arthur Schopenhauer bersifat universal. Entitas apapun di alam semesta ini memiliki eksistensi atas dasar kehendak, tidak terkecuali manusia. Kehendak berjalan beriringan dengan representasi (vorstellung)-yang dapat dipahami sebagai gagasan atau imaji mental. Singkatnya, bagi Schopenhauer keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama (Wikcs, 2021).

Imaji yang ada dalam otak manusia tentang realitas pada dasarnya hanya dimungkinkan karena ada kehendak yang bekerja tidak dalam relasi kausalitas (sebab-akibat). Pemikiran ini secara garis besar serupa dengan realitas alam semesta yang digagas oleh Stephen Hawking (Hertog, 2023).

Uniknya, Schopenhauer juga membaca Bhagavad Gita dan Upanishad, dua teks sakral dalam agama Hindu. Konsep wille dan vorstellung yang diangkat Schopenhauer adalah kritik terhadap Immanuel Kant dan dikoreksi oleh Friedrich Nietzsche. 

Kant, filsuf yang juga cukup berpengaruh dalam filsafat hukum, mencoba menjelaskan keterbatasan manusia dengan dua istilah, noumena dan phenomena (Kant, 1998). Sederhananya, bagi Kant, manusia tidak mungkin mengetahui dirinya sendiri, sama seperti sebuah pisau bisa memotong apapun selain pisau tersebut.

Dalam analogi ini noumena adalah pisau dan phenomena adalah bahan masakannya. Tamu restoran hanya bisa mencicipi tanpa pernah mengetahui sedikitpun tentang seperti apa alat yang dipergunakan untuk menyiapkan hidangan. Sebaliknya, Nietzsche justru mengkritik ambiguitas kehendak dari Schopenhauer. Bagi Nietzsche, gerak menuju tidak mungkin tanpa tujuan. Manifestasi kehendak dalam representasi harus mewujud dalam kekuasaan.

Eksistensi apapun dalam semesta pasti berbenturan satu dengan yang lain, dari flora, fauna, dan bahkan benda-benda selestial seperti planet dan bintang. Benturan ini adalah representasi dari kekuasaan (power) yang bekerja. Menghendaki dalam perspektif Nietzschean adalah menguasai (Anderson, 2022). 

Kehendak dan Representasinya dalam Hukum

Bagi Rudolf von Jhering, filsuf hukum Jerman, kehendak pada hakikatnya tidak dapat diletakkan sebagai fondasi dari hukum. Keberadaan hukum justru dimungkinkan karena negara mesti mengendalikan kehendak dari warga negara yang tidak terkendali.

Keberadaan kehendak akan muncul saat terjadi benturan dari individu-individu yang bertarung untuk menunjukkan kekuasaan. Tanpa hukum, benturan ini akan menjadi bola salju yang semakin besar dan mewujud dalam bentuk pertikaian atau konflik. Hukum hadir sebagai sarana pengelolaan kehendak, sebuah instrumen rekayasa sosial (social engineering) yang tidak bersifat metafisik, tetapi nyata dalam bentuk prilaku masyarakat (Seagle, 1945).

Von Jhering mengingatkan, rasionalitas berperan penting dalam pembentukan hukum. Bagi Von Jhering, “It must be admitted that the law, like language, has an unintended, unconscious development, or, to call it by the traditional expression, an organic development from within outward” (Harus diakui bahwa hukum, sebagaimana halnya bahasa, memiliki perkembangan yang tidak disengaja dan berlangsung secara tidak disadari, atau dalam istilah tradisionalnya, suatu perkembangan organik dari dalam ke luar) (Von Jhering, 1915:9). Pemikiran Von Jhering memberikan catatan penting terhadap seberapa jauh kehendak berperan dalam hukum. 

Bagi Schopenhauer, kehendak yang ada di dalam diri seseorang bersifat tetap, hanya manifestasinya yang berubah-ubah. Schopenhauer mengatakan: “The will never tires, never grows old, never learns, never improves by practice, is in infancy what it is in old age, eternally one and the same and its character in each individual is unchangeable” (Kehendak tidak pernah lelah, tidak pernah menua, tidak pernah belajar, tidak pernah menjadi lebih baik melalui latihan; pada masa kanak-kanak hingga usia tua tetap sama, selamanya tunggal dan identik, serta karakternya dalam setiap individu tidak dapat berubah) (Schopenhauer, 1907:47).  

Dari sisi kriminologi, umur berpengaruh terhadap tindak kejahatan yang dilakukan; semakin berumur, semakin “halus” perwujudannya. Perampokan bersenjata lebih sering ditemukan di pelaku usia muda, dan korupsi atau penggelapan di usia dewasa (Baptista, Tucci, dan Angeles, 2021:4).

Perbuatan melawan hukum dalam garis pemikiran Schopenhauer terjadi karena pengejawantahan kehendak dengan cara yang berbeda dengan pakem yang digariskan oleh masyarakat dan dikodifikasi oleh negara sebagai lembaga yang memiliki instrumen koersif. Bila kita membaca Von Jhering dengan perspektif Schopenhauer, ini berarti hukum bergerak di wilayah representasi.  

Intensi, Kesengajaan, dan Ketidaksengajaan

Dalam kuliahnya di Universitas Harvard, Michael Sandel (2005), memberikan sebuah contoh kasus hipotetik. Sandel meminta audiens untuk membayangkan ketika ada sebuah truk yang hilang kendali karena remnya rusak. Kendaraan ini hanya punya dua pilihan: terus melaju dan menabrak lima orang pekerja hingga tewas, atau membanting setir dan mengorbankan satu orang di ujung jalan.

Sandel kemudian menambahkan kompleksitas situasinya dengan kehadiran seorang pengamat yang tepat berada di atas jalan, bersebelahan dengan seorang pekerja yang kebetulan jika didorong akan menjatuhkan tangga baja konstruksi dan tepat menghentikan truk tersebut, sekalipun orang tersebut akan tewas.

Dari ilustrasi ini, sopir truk (kita sebut X) adalah orang yang tidak sengaja mengakibatkan tewasnya lima atau satu orang pekerja (tergantung dari opsi jalan yang diambil). Pengamat (kita sebut Y) dengan sengaja menyebabkan kematian pekerja yang jatuh, untuk menyelamatkan nyawa enam orang dari kemungkinan tertabrak truk.

Pada contoh ini, supir truk X tidak memiliki kehendak untuk membunuh, namun memiliki pilihan untuk menentukan siapa yang tidak sengaja ditabrak. Pengamat Y tidak memiliki kehendak untuk membunuh, namun memiliki pilihan untuk menyelamatkan enam pekerja dari kemungkinan tewas tertabrak.

Dalam kuliah umum ini, mayoritas mengatakan bahwa semakin kecil korban, semakin benar tindakan yang dilakukan, terutama untuk pilihan yang diambil X untuk membanting stir dan mengorbankan satu orang. Saat pilihan tersebut dikontraskan dengan pilihan Y untuk menjatuhkan pekerja demi menyelamatkan enam orang, mayoritas audiens menyatakan tindakan Y melanggar hukum.

Di skenario hipotetik tersebut, baik X dan Y tidak memiliki kehendak untuk membunuh. Kehendak yang mereka miliki adalah untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Kehendak adalah sisi dwi-tunggal dari representasi, sementara intensi adalah aspek dari representasi. Ini berarti kita tidak bisa memberi nilai (baik/buruk) pada kehendak, sesuai dengan pemikiran Schopenhauer. 

Mencari Intensi dalam Manifestasi Kehendak

Karena kehendak (will) dalam pemikiran Schopenhauer bersifat bebas nilai (value free), maka penilaian dapat diberikan pada intensi (niat-intent). Contoh yang diberikan Sandel mencoba mendemonstrasikan kapan kehendak menjelma menjadi intensi. Bagi supir X, kehendak untuk menyelamatkan menjelma menjadi ketidaksengajaan dalam mempertahankan atau membelokkan setir. Bagi pengamat Y, kehendak yang sama menjelma menjadi intensi untuk mempergunakan pekerja yang berada di tangga baja sebagai sarana untuk menyelamatkan orang lain.

Dalam kasus Cass. pen., Sez. V, sent. n. 18248/2016, untuk bertahan hidup, seorang imigran asal Ukraina Roman Ostriakov mencuri keju dan sosis di sebuah supermarket di Genoa senilai 4,07 euro pada 2011. Kasasi di pengadilan Italia pada 2 Mei 2016 menilai, tindakan yang dilakukan Ostriakov didasarkan atas tekanan untuk bertahan hidup, dan ia dibebaskan dari tuduhan (Osservatorio Costituzionale, 2 Juli 2016).

Apa yang dilakukan Ostriakov ada di koridor intensi supir truk X dalam ilustrasi Sandel. Interpretasinya akan berbeda bila Ostriakov misalnya memaksa seseorang untuk mencuri makanan yang sama.

Sebagai kesimpulan, interaksi antara kehendak dan intensi dalam hukum memperlihatkan kompleksitas sekaligus kerapuhan logika yuridis ketika berhadapan dengan realitas kehidupan manusia. Kehendak sebagai dorongan fundamental manusia memang bersifat universal dan bebas nilai, namun hukum justru beroperasi dalam domain intensi yang sarat nilai.

Inilah tantangan besar filsafat hukum: bagaimana menerjemahkan kehendak yang abstrak ke dalam tindakan-tindakan nyata yang dapat dinilai secara moral maupun legal. Pemikiran Schopenhauer dan Von Jhering memperlihatkan betapa pentingnya refleksi filosofis untuk menjaga hukum agar tetap manusiawi, lentur, dan relevan.

Oleh karena itu, dalam setiap analisis hukum mengenai kesengajaan atau ketidaksengajaan, diperlukan kepekaan mendalam untuk memahami intensi yang menyembul dari kehendak manusia.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews