MARINews, Malinau – Pengadilan Negeri (PN) Malinau berhasil mengupayakan perdamaian dalam perkara perdata Nomor 23/Pdt.G/2025/PN Mln pada Selasa (9/12).
Perkara tentang perbuatan melawan hukum terkait tanah tersebut resmi diselesaikan melalui Kesepakatan Perdamaian yang kemudian dikuatkan dengan Akta Perdamaian.
Para pihak, yaitu Penggugat bersama Tergugat I dan Tergugat II, sepakat mengakhiri perselisihan setelah melalui proses yang cukup panjang.
Upaya Majelis Hakim yang terdiri dari Iwan Gunadi, S.H., selaku Ketua Majelis serta Tony Hendrico Sianipar, S.H., dan Lampos Rivaldo Lumban Toruan, S.H., selaku Hakim Anggota, yang secara konsisten dan persuasif mengajak para pihak untuk memilih jalan damai telah membuahkan hasil, sehingga penyelesaian sengketa dapat tercapai tanpa melanjutkan proses pemeriksaan lebih jauh.
Semangat Intimung dalam Penyelesaian Sengketa
Intimung sebagai semboyan Kabupaten Malinau yang bermakna kebersamaan, gotong royong, dan persatuan, mencerminkan nilai hidup masyarakat yang menjunjung harmoni sosial.
Falsafah ini menegaskan setiap persoalan seyogyanya diselesaikan melalui musyawarah mufakat, karena cara inilah yang menjaga hubungan baik dan mencegah retaknya ikatan sosial.
Dalam budaya Malinau, duduk bersama untuk mencari titik temu bukan hanya tradisi, tetapi wujud penghormatan terhadap nilai persaudaraan dan kebersamaan.
Filosofi Intimung juga sejalan dengan prinsip penyelesaian sengketa modern yang menekankan pemulihan hubungan dan keadilan yang berkelanjutan.
Dengan semangat tersebut, perdamaian bukan sekadar alternatif, tetapi pilihan utama untuk mengakhiri konflik tanpa harus saling mengalahkan.
Itulah sebabnya upaya perdamaian di PN Malinau selaras dengan karakter masyarakatnya: menyelesaikan masalah secara damai, menjaga silaturahmi, dan memperkuat solidaritas antar warga.
Dasar Hukum dan Peran Aktif Hakim dalam Mendorong Perdamaian
Dalam hukum perdata, prinsip penyelesaian sengketa dengan musyawarah mufakat memiliki dasar yang kuat. Perdamaian diatur dalam Pasal 1851–1864 KUHPerdata tentang Perdamaian, Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi yang diperbarui dengan Perma Nomor 3 Tahun 2022 mengenai mediasi elektronik (e-mediation). Pasal 33 Perma 1 Tahun 2016 dengan tegas mewajibkan Hakim Pemeriksa Perkara untuk berperan aktif mengupayakan perdamaian dalam setiap tahapan persidangan sebelum perkara diputus.
Selain menguasai substansi hukum, hakim juga dituntut memiliki kemampuan komunikasi yang baik agar dapat meyakinkan para pihak bahwa perdamaian merupakan pilihan terbaik.
Hal ini penting mengingat tidak jarang hambatan terbesar dalam mencapai perdamaian justru berasal dari ego para pihak, apalagi pada perkara yang melibatkan hubungan keluarga atau masyarakat adat dengan ikatan kekerabatan yang kuat.
Batasan Peran Hakim dan Nilai Perdamaian yang Ingin Dicapai
Meskipun dalam hukum perdata hakim dikenal bersifat pasif, namun sikap aktif tetap diperkenankan sepanjang berada dalam batas yang wajar, seperti menjelaskan pentingnya perdamaian, memberikan pemahaman mengenai konsekuensi hukum atas pilihan para pihak, dan memastikan kesepakatan dicapai tanpa paksaan, penipuan, atau kekhilafan sebagaimana diatur dalam Pasal 1859 KUHPerdata.
Bahkan ketika kesepakatan perdamaian mengikat para pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, hakim tetap berkewajiban memastikan prosesnya berlangsung jujur dan sukarela.
Pada akhirnya, meskipun perdamaian tidak selalu mudah dicapai, perdamaian menawarkan nilai yang jauh lebih tinggi: bukan soal menang atau kalah, tetapi bagaimana mengakhiri sengketa tanpa memutus tali silaturahmi dan menciptakan solusi yang berkeadilan serta berkelanjutan bagi semua pihak.
Penutup
Pada akhirnya, keberhasilan penyelesaian sengketa melalui perdamaian bukan hanya menunjukkan efektivitas mekanisme hukum, tetapi juga mencerminkan kedewasaan para pihak dalam memilih jalan yang lebih menenangkan, lebih manusiawi, dan lebih menjaga hubungan sosial.
Perdamaian selalu menghadirkan ruang untuk memulihkan, bukan melukai, menyatukan, bukan memisahkan. Nilai inilah yang menjadi inti dari setiap proses musyawarah yang dijunjung dalam hukum maupun budaya.
Sebagaimana sebuah nasihat bijak mengingatkan kita, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.”
Kutipan tersebut menggambarkan dengan tepat bahwa kelembutan, kebijaksanaan, dan kesediaan mengalah demi terciptanya harmoni justru menjadi kekuatan utama dalam mencapai perdamaian yang sejati.
Dengan semangat itu, penyelesaian sengketa tidak lagi semata-mata persoalan hukum, tetapi juga wujud dari ikhtiar bersama untuk menjaga kedamaian dan persaudaraan.
