MARINews, Jakarta – Mahkamah Agung menggelar Rapat Audiensi tentang Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak pasca Perceraian serta Perkara Dispensasi Kawin, pada Selasa (25/11).
Pertemuan yang dihadiri oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) itu, dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung (WKMA) Bidang Yudisial, H. Suharto, S.H., M.Hum.
Dengan didampingi oleh Ketua Kamar Perdata, I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., Ketua Kamar Agama, Dr. H. Yasardin, S.H., M.Hum., dan Ketua Kamar Pidana, Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., rapat dimulai pada pukul 13.30 WIB di Ruang Rapat Panitera Mahkamah Agung.
Turut hadir di antaranya, yaitu Para Hakim Agung, Kepala Badan Urusan Administrasi (BUA) Mahkamah Agung, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umun, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama dan jajaran serta Panitera Muda Pidana Khusus.
WKMA Bidang Yudisial Pimpin Rapat Audiensi dengan KemenPPPA
WKMA Bidang Yudisial, H. Suharto, S.H., M.Hum., menyambut baik kehadiran KemenPPPA. Selanjutnya, ia menekankan perlunya keseimbangan regulasi hukum yang ketat (seperti batas usia perkawinan), dengan realitas budaya, adat dan perkembangan teknologi.
WKMA Bidang Yudisial menyoroti kompleksitas eksekusi hak asuh anak dan nafkah pasca perceraian dan mendorong inovasi serta sinergi antar lembaga.
Untuk itu, tambah Suharto, peran mediator di pengadilan sangat krusial. Tak hanya untuk mendamaikan sebelum perceraian. Tetapi, juga untuk menyelesaikan sengketa turunan pasca perceraian, seperti hak asuh dan harta bersama, bahkan ketika perceraian tidak dapat dihindari.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Dr. Ir. Pribudiarta Nur Sitepu, M.M. mengungkapkan, pertemuan yang berlangsung merupakan momentum strategis yang menegaskan, arahan Mahkamah Agung sejalan dengan kajian KemenPPPA.
Ia turut menekankan pentingnya pedoman asesmen risiko dalam kasus perceraian, dan peran lintas kementerian, serta urgensi perlindungan data pribadi korban kekerasan untuk mencegah eksploitasi.
Praktik di Pengadilan
Diskusi berlangsung interaktif, dengan disampaikannya beberapa putusan progresif Pengadilan Agama, seperti penundaan pembagian harta bersama (rumah) hingga anak dewasa. Selain itu, pemberian hak asuh yang harus disertai kewajiban memberi akses, dan kegagalan melakukannya dapat menjadi dasar pencabutan hak asuh.
Di sisi lain, dijelaskan Pengadilan Negeri cenderung tidak memutuskan hak asuh jika tidak dipersengketakan oleh para pihak, karena asas dalam hukum acara perdata yaitu, ultra petita.
Dalam pertemuan, turut dipaparkan alasan pengajuan dispensasi kawin di pengadilan yang didominasi oleh faktor sosial, yaitu kekhawatiran orang tua akan perzinahan dan kehamilan di luar nikah.
Selanjutnya, pengadilan telah membentuk sinergi lintas instasi. Kolaborasi antara Pengadilan Agama Cilegon dengan PT Krakatau Steel, menjadi salah satu contoh konkret kerja sama (MoU) yang telah terjalin perihal eksekusi nafkah anak.
Sedangkan pada peradilan pidana, dalam pertemuan itu turut diungkapkan. adanya kendala serius dalam penanganan pidana anak, yaitu minimnya fasilitas LPKA/LPKS dalam hal penempatan Anak, kurangnya fasilitas pendidikan pasca putusan, dan ruang tahanan anak yang tidak memadai, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat putusan yang berorientasi pada kepentingan terbaik anak.
Beberapa Masukan dan Saran Penting
Sejumlah saran dan masukan berharga telah diperoleh dalam pertemuan antara Mahkamah Agung dengan KemenPPPA tersebut, antara lain:
- Harapannya, pengadilan dapat memerintahkan pelaku kekerasan (KDRT) untuk menjalani rehabilitasi psikologis guna memutus siklus kekerasan. Hal itu, adanya kecenderungan korban yang mencabut laporan, karena stigma dan ketergantungan ekonomi.
- Diperlukan sinergi kuat antara Mahkamah Agung, KemenPPPA, Pemda, BUMN, OJK, dan perusahaan swasta untuk menyusun regulasi bersama dan menciptakan mekanisme eksekusi nafkah anak yang efektif, seperti pemotongan gaji otomatis atau sanksi administratif (penundaan layanan publik).
- Perlunya regulasi yang mengantisipasi tantangan eksekusi nafkah jangka panjang yang rentan mengalami kegagalan, karena perubahan kondisi, antara lain PHK, itikad buruk suami/isteri dan mekanisme eksekusi nafkah yang belum adaptif dengan sistem pembayaran modern (payroll).
Ke depannya, Mahkamah Agung melalui Biro Hukum dan Humas bersama dengan Pokja Perempuan dan Anak, KemenPPPA serta Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dapat menindaklanjuti beberapa hal yang telah dibahas, melalui rapat atau Forum Group Discussion (FGD) lanjutan.
Pertemuan antara Mahkamah Agung dengan KemenPPPA tersebut, menunjukkan komitmen kuat dari lembaga untuk meningkatkan koordinasi dan sinergi, khususnya dalam hal pemenuhan hak perempuan dan anak pasca perceraian, penguatan regulasi dan penyusunan roadmap perlindungan perempuan dan anak pasca perceraian.