Dilema Hakim dalam Sistem Peradilan Indonesia: Judicial Activism vs Judicial Restraint

Harus terus berupaya mencari keseimbangan yang terbaik dalam setiap kasus, dengan selalu mengingat bahwa tujuan akhir sistem peradilan adalah menegakkan keadilan dalam kerangka rule of law.
Ilustrasi ketuk palu hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi ketuk palu hakim. Foto freepik.com

Dalam perjalanan sistem peradilan Indonesia, khususnya di tingkat judex jurist, seringkali muncul pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana hakim boleh "berkreasi" dalam menafsirkan hukum? Pertanyaan ini bukan sekadar pertanyaan akademis, melainkan memiliki implikasi praktis yang mendalam terhadap legitimasi peradilan dan stabilitas sistem hukum.

Dikotomi antara judicial activism dan judicial restraint, yang berkembang dalam tradisi common law, kini menjadi relevan untuk dikaji dalam konteks sistem hukum Indonesia yang berkarakter civil law namun semakin terbuka terhadap perkembangan yurisprudensi.

Jika kita melihat praktik mengadili di berbagai perkara, mulai dari tingkat pertama hingga kasasi,  perspektif unik tentang kompleksitas dilema ini sering terlihat. Di satu sisi, terdapat tekanan untuk memberikan keadilan substantif yang responsif terhadap perkembangan masyarakat.

Di sisi lain, ada keharusan untuk menghormati batasan-batasan konstitusional dan prinsip pemisahan kekuasaan. Artikel ini berupaya mengeksplorasi kedua kutub tersebut dalam konteks Indonesia, dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran yudisial yang lebih matang.

Relevansi isu ini semakin menguat seiring dengan perkembangan demokrasi Indonesia dengan turning point pascareformasi. Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman (selain Mahkamah Konstitusi) sendiri, semakin sering menghadapi perkara-perkara yang memiliki dimensi politik dan sosial yang kompleks.

Putusan-putusan yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada para pihak yang berperkara, tetapi juga membentuk preseden yang akan mempengaruhi arah perkembangan hukum nasional.

Konseptualisasi Judicial Activism dan Judicial Restraint

Judicial activism, dalam pemahaman klasik, merujuk pada kecenderungan hakim untuk secara aktif menafsirkan konstitusi dan undang-undang dengan cara yang lebih luas dan progresif, seringkali dengan mempertimbangkan dampak sosial dan politik dari putusan mereka (Keenan D Kmiec, 2004).

Karakteristik utama pendekatan ini meliputi, pertama, interpretasi yang ekstensif terhadap teks hukum dan kedua, kesediaan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvinding) serta ketiga, perhatian terhadap keadilan substantif dan yang terakhi, responsivitas terhadap perubahan sosial.

Dalam konteks Indonesia, manifestasi judicial activism dapat dilihat dalam berbagai putusan yang berupaya memberikan perlindungan terhadap hak asasi individu dan hak-hak konstitusional warga negara, meskipun tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur hal tersebut. Pendekatan ini seringkali didasarkan pada prinsip-prinsip umum hukum, asas-asas keadilan, dan interpretasi teleologis terhadap tujuan hukum.

Sebaliknya, judicial restraint menekankan pada pembatasan diri hakim dalam menafsirkan hukum. Pendekatan ini berargumen bahwa hakim harus membatasi perannya pada interpretasi literal atau orisinal dari teks hukum, dan menghindari "legislasi dari bangku hakim" (judicial legislation) (Robert H Bork, 1990).

Karakteristik judicial restraint meliputi, pertama, interpretasi yang ketat dan literal. Kedua, penghormatan terhadap kehendak pembuat undang-undang. Ketiga, deferens terhadap kebijakan politik dan yang terakhir, penekanan pada stabilitas hukum.

Dalam praktik peradilan Indonesia, judicial restraint tercermin dalam pendekatan yang sangat bergantung pada bunyi pasal, penjelasan undang-undang, dan putusan-putusan sebelumnya. Hakim yang menganut pendekatan ini cenderung menghindari interpretasi yang terlalu jauh dari makna literal teks hukum, dengan argumen bahwa perubahan hukum adalah domain legislatif, bukan yudisial.

Dinamika Judicial Activism vs Judicial Restraint dalam Sistem Hukum Indonesia

Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-amandemen UUD 1945 memberikan posisi yang relatif kuat bagi kekuasaan kehakiman. Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Independensi ini, dalam praktiknya, menciptakan ruang bagi hakim untuk memilih pendekatan interpretasi yang dianggap paling tepat.

Namun, independensi yudisial ini harus dipahami dalam konteks sistem checks and balances. Mahkamah Agung, melalui fungsi kasasinya, memiliki kewenangan untuk menyatukan interpretasi hukum, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi-kewenangan ini berada di Mahkamah Konstitusi. Pembagian kewenangan ini menciptakan kompleksitas tersendiri dalam menentukan batas-batas aktivisme yudisial.

Pada praktiknya, dilema antara activism dan restraint seringkali muncul dalam kasus-kasus yang melibatkan, pertama, kekosongan hukum atau ketidakjelasan norma. Kedua, konflik antara keadilan formal dan substantif. Ketiga, perkara yang melibatkan perkembangan teknologi atau fenomena sosial baru. Dan keempat, kasus-kasus yang memiliki implikasi luas terhadap kebijakan publik.

Sebagai contoh, dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hak asasi manusia, seringkali hakim dihadapkan pada situasi di mana perlindungan HAM memerlukan interpretasi yang lebih luas dari teks undang-undang yang ada. Di sini, pendekatan judicial restraint murni mungkin menghasilkan putusan yang secara formal benar tetapi substantif tidak berkeadilan. Sebaliknya, pendekatan activism yang berlebihan berisiko melampaui batas kewenangan yudisial dan masuk ke ranah kebijakan.

Analisis Kritis: Keunggulan dan Kelemahan

Keunggulan utama judicial activism terletak pada kemampuannya untuk memberikan respon yang cepat terhadap perubahan sosial dan kebutuhan keadilan. Dalam konteks Indonesia yang mengalami transformasi sosial-politik yang cepat, pendekatan ini memungkinkan hukum untuk tetap relevan dan responsif. Activism juga dapat berfungsi sebagai katalisator untuk perubahan hukum yang diperlukan tetapi terhambat oleh kelembaman politik.

Namun, risiko judicial activism tidak dapat diabaikan. Pertama, risiko legitimasi demokratis, yakni ketika hakim "membuat" hukum, mereka berpotensi melampaui mandat demokratis mereka. Kedua, risiko inkonsistensi dan ketidakpastian hukum, dimana interpretasi yang terlalu fleksibel dapat merusak prediktabilitas hukum. Ketiga, risiko politisasi peradilan, yakni kondisi dimana activism yang berlebihan dapat membuat peradilan terlihat lebih partisan atau politis. (Stephen B Burbank, 2002).

Pada sisi lain, judicial restraint memiliki kekuatan dalam memberikan kepastian hukum dan menjaga legitimasi demokratis peradilan. Dengan membatasi diri pada interpretasi yang ketat, hakim dapat menghindari tuduhan melampaui kewenangannya dan menjaga kepercayaan publik terhadap netralitas peradilan. Pendekatan ini juga mendorong konsistensi dalam penerapan hukum.

Keterbatasan utama judicial restraint adalah potensinya untuk menghasilkan ketidakadilan substantif. Dalam situasi di mana undang-undang tidak mampu mengantisipasi perkembangan atau kompleksitas kehidupan sosial, restraint yang kaku dapat menghasilkan putusan yang secara formal benar tetapi tidak mencerminkan keadilan. Lebih lanjut, dalam sistem hukum yang tidak sempurna, restraint murni dapat melanggengkan ketidakadilan sistemik.

Mencari Keseimbangan: menuju Judicial Prudence

Berdasarkan refleksi teoretis penulis dan praktik peradilan saat ini, konsep "judicial prudence" dapat diusulkan sebagai sintesis dari kedua pendekatan ekstrem tersebut. Judicial prudence dapat didefinisikan sebagai pendekatan yudisial yang menggabungkan kehati-hatian interpretif dengan responsivitas terhadap tuntutan keadilan, dengan selalu mempertimbangkan konteks konstitusional, sosial, dan kelembagaan.

Prinsip-prinsip dasar judicial prudence meliputi pertama, primacy of constitutional text di mana interpretasi harus dimulai dari teks konstitusi dan undang-undang. Kedua, contextual sensitivity yakni dengan mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan ekonomi. Ketiga, institutional awareness, menyadari batasan dan peran institusional peradilan. Keempat, precedential consistency yakni dengan menjaga konsistensi dengan putusan-putusan sebelumnya sambil memungkinkan evolusi yurisprudensi dan kelima, democratic accountability, yakni dengan mempertimbangkan legitimasi demokratis dari interpretasi yang dilakukan.

Dalam praktik, judicial prudence dapat diimplementasikan melalui beberapa strategi, seperti dengan penggunaan metode interpretasi yang hierarkis dimulai dari interpretasi literal, kemudian sistematis, historis, dan teleologis. Penerapan prinsip proporsionalitas dalam menimbang kepentingan-kepentingan yang bertentangan juga bisa menjadi salah satu strategi yang dapat diterapkan.

Selanjutnya, perlu adanya pengembangan yurisprudensi yang incremental dan well-reasoned yang tidak hanya digunakan hakim sebagai pedoman tetapi juga di sebarluaskan sebagai paradigma kasus pada publik. Dialog yang konstruktif dengan cabang kekuasaan lain melalui putusan yang jelas reasoningnya juga mnejadi strategi khusus yang dapat diterapkan.

Pendekatan judicial prudence dalam pandangan penulis memungkinkan hakim untuk responsive terhadap kebutuhan keadilan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip fundamental rule of law. Dalam kasus-kasus sulit, judicial prudence mendorong hakim untuk secara eksplisit mengidentifikasi dan menimbang berbagai pertimbangan yang relevan, sehingga putusan yang dihasilkan memiliki transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.

Implikasi untuk Pengembangan Sistem Peradilan Indonesia

Implementasi judicial prudence memerlukan dukungan reformasi kelembagaan yang komprehensif. Di mana, perlu pengembangan mekanisme internal untuk memastikan konsistensi yurisprudensi di berbagai tingkatan peradilan. Selain itu diperlukan peningkatan kapasitas hakim melalui pendidikan dan pelatihan yang mencakup tidak hanya aspek teknis hukum, tetapi juga filosofi yudisial dan etika. Hal lain yang tidak bisa tidak dilakukan yaitu pengembangan sistem dokumentasi dan publikasi putusan yang memungkinkan akumulasi dan aksesibilitas yurisprudensi.

Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan sendiri jelas memiliki peran strategis dalam mengembangkan doktrin-doktrin yang dapat memberikan panduan bagi hakim di tingkat bawah. Pengembangan ini harus dilakukan secara systematic dan well-reasoned, dengan mempertimbangkan karakteristik sistem hukum Indonesia dan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, perlu dikembangkan mekanisme untuk memfasilitasi dialog antarlembaga peradilan dan antara peradilan dengan akademisi serta praktisi. Dialog ini penting untuk memastikan bahwa perkembangan yurisprudensi sejalan dengan perkembangan pemikiran hukum dan kebutuhan masyarakat.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dilema antara judicial activism dan judicial restraint merupakan refleksi dari tantangan fundamental dalam sistem demokrasi konstitusional yang sering memunculkan pertanyaan tetangn bagaimana menyeimbangkan rule of law dengan responsivitas terhadap kebutuhan keadilan. Dalam konteks Indonesia, dilema ini memiliki kompleksitas tambahan karena karakteristik sistem hukum yang hybrid dan dinamika sosial-politik yang selalu dalam proses konsolidasi.

Judicial prudence, sebagaimana diusulkan dalam tulisan ini, menawarkan jalan tengah yang memungkinkan hakim untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam menegakkan keadilan tanpa melampaui batasan konstitusional dan kelembagaan. Pendekatan ini memerlukan tidak hanya perubahan mindset individual hakim, tetapi juga reformasi kelembagaan yang komprehensif.

Rekomendasi konkret yang dapat diimplementasikan meliputi, yang pertama pengembangan guidelines interpretasi yang dapat dijadikan acuan bagi hakim di berbagai tingkatan. Selain itu peningkatan kualitas legal reasoning dalam putusan-putusan pengadilan. Selanjutnya ketiga, penguatan mekanisme konsultasi dan koordinasi antar tingkatan peradilan. Adapun yang keempat, peningkatan transparansi dan akuntabilitas melalui publikasi putusan yang berkualitas dan kelima, pengembangan program pendidikan berkelanjutan bagi hakim yang mencakup aspek filosofis dan etis profesi yudisial.

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa tidak ada formula yang sempurna dalam menyelesaikan dilema ini. Yang dapat kita lakukan adalah terus berupaya mencari keseimbangan yang terbaik dalam setiap kasus, dengan selalu mengingat bahwa tujuan akhir sistem peradilan adalah menegakkan keadilan dalam kerangka rule of law. Sebagai hakim, kita memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada para pihak yang berperkara, tetapi juga kepada masyarakat dan generasi mendatang untuk memastikan bahwa sistem peradilan Indonesia terus berkembang menuju arah yang lebih baik.

Copy