Prosesi Adat Pesijeuk di Sidang Pengadilan

Pesijeuk ini diselenggarakan sebagai pengukuhan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan korban.
Majelis Hakim PN Bireuen menggelar prosesi adat Pesijeuk dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana penghinaan, yang digelar pada Rabu, 27 Februari 2025 . Foto dokumentasi PN Bireuen.
Majelis Hakim PN Bireuen menggelar prosesi adat Pesijeuk dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana penghinaan, yang digelar pada Rabu, 27 Februari 2025 . Foto dokumentasi PN Bireuen.

MARINews, Bireuen-Majelis Hakim PN Bireuen yang terdiri dari Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H., Fuady Primaharsa, S.H., M.H., dan M. Muchsin Alfahrasi Nur, menggelar prosesi adat Pesijeuk dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana penghinaan, yang digelar pada Rabu, tanggal 7 Februari 2025 di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Bireuen. Pesijeuk dipimpin seorang Tengku (ulama) dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. 

Pesijeuk ini diselenggarakan sebagai pengukuhan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan korban. Terdakwa yang merupakan seorang sekretaris desa memohon maaf kepada korban atas kesalahannya, dan berjanji akan melindungi korban seperti orang tuanya sendiri. Sebaliknya, korban yang merupakan pendamping desa dari kecamatan juga akan membimbing Terdakwa seperti anaknya sendiri.

Majelis Hakim PN Bireuen yang terdiri dari Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H., Fuady Primaharsa, S.H., M.H., dan M. Muchsin Alfahrasi Nur menggelar prosesi adat Pesijeuk. Foto dokumentasi PN Bireuen

Melalui Pesijeuk ini, dendam antara kedua belah pihak menjadi sirna, jalinan persaudaraan yang sudah terputus tersambung kembali, dan memulihkan kerugian yang diderita korban dan masyarakat.

Perdamaian ini dapat tercapai berkat pertolongan Allah SWT yang melembutkan hati kedua belah pihak. Majelis Hakim dengan dibantu oleh penuntut umum dan penasihat hukum Terdakwa hanya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak agar ke depannya dapat hidup dengan harmonis. Apalagi Terdakwa dan korban merupakan unsur pemerintahan Gampong yang harus bahu membahu dalam melayani masyarakat setempat.

Pada persidangan sebelumnya Majelis Hakim meminta Terdakwa dan korban, untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginannya masing-masing, supaya permasalahan antara Terdakwa dengan korban dapat selesai dengan tuntas tanpa menyisahkan dendam.

Terdakwa menyatakan, sangat ingin berdamai dengan korban. Hanya saja, persyaratan sangat berat. Korban meminta Terdakwa untuk memuat permintaan maaf dan pengakuan bersalahnya di dalam media masa berskala nasional. 

Menanggapi hal itu, korban menyatakan bahwa syarat tersebut diajukan karena Terdakwa sesumbar dapat memenuhi apa saja yang dimintakan korban. Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa permasalahan antara korban dengan Terdakwa ini bukanlah permasalahan berskala nasional, melainkan hanya berskala lokal tepatnya di Desa Keude Alue Rheung, Kecamatan Peudada. Sehingga, apabila korban tetap menginginkan permintaan maaf Terdakwa dimuat di media massa, maka yang lebih pas adalah media massa lokal, bukan media massa nasional. 

Korban lalu mengganti persyaratannya dengan meminta seekor lembu, sesuai dengan apa yang diucapkan Terdakwa di kantor polisi sebelumnya. Terhadap hal itu Terdakwa menyatakan tidak dapat menyanggupinya sembari menjelaskan bahwa ucapannya di kantor kepolisian tersebut hanyalah sesumbar belaka.

Terdakwa kemudian menyatakan hanya sanggup untuk menebus kesalahannya dengan seekor Kambing atau uang sejumlah Rp2 juta. Namun, tawaran Terdakwa tersebut ditolak oleh korban.   

Majelis Hakim kemudian menanyakan kepada korban mengenai hal apa saja selain permintaanya tersebut yang dapat memulihkan rasa sakit hati dan kerugian yang dideritanya. Korban lalu menjawab, sebenarnya tidak menginginkan uang dari Terdakwa, melainkan hanya menginginkan permintaan maaf dengan tulus dan mengumumkannya di Facebook, sebab Terdakwa pernah memfitnah korban di Facebook.

Selain itu, korban meminta Terdakwa memberikan uang yang disanggupinya untuk diberikan sejumlah Rp2 juta tersebut untuk diberikan ke masjid di Gampong setempat. 

Terhadap syarat yang dikemukan Terdakwa tersebut Majelis Hakim menanyakan kesediaan Terdakwa untuk melakukannya. Terdakwa bersedia untuk melakukannya.

Pesijeuk ini diselenggarakan sebagai pengukuhan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan korban. Foto dokumentasi PN Bireun.

Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan tentang kesediaan Terdakwa untuk mengumumkan permintaan maafnya di hadapan jemaah salat, memajang permintaan maafnya secara tertulis kantor keuchik dan kantor camat, serta memberi makan anak yatim dengan alasan perbuatan Terdakwa bukan hanya merugikan korban, tetapi juga telah merusak keharmonisan di masyarakat.

Atas pertanyaan Majelis Hakim tersebut, Terdakwa mengatakan, sanggup melakukannya. Terdakwa kemudian menunaikan apa yang telah disepakatinya dan memberikan bukti-buktinya kepada hakim. Sehingga, prosesi adat pesijeuk ini dapat dilakukan.

Sebelum menutup persidangan, Majelis Hakim menyampaikan bahwa perdamaian antara Terdakwa dengan korban ini, merupakan perwujudan dari restorative justice (keadilan restorasi) yang mengedepankan pemulihan dan keharmonisan di masyarakat ketimbang pembalasan sebagaimana tercantum pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. 

Oleh sebab itu, Majelis Hakim akan menjadikan perdamaian ini sebagai faktor yang sangat menentukan dalam menjatuhkan putusan.

Penulis: M. Muchsin Alfahrasi Nur

Penulis: Kontributor
Editor: Tim MariNews