Hukum Acara Perdata di Indonesia dapat dikatakan hukum yang tertinggal, karena hingga saat ini Indonesia masih menggunakan hukum kolonial dalam menyelesaikan sengketa perdata di Indonesia. Ini dikarenakan Indonesia masih belum membuat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, berbeda dengan hukum pidana dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketertinggalan Hukum Acara Perdata di Indonesia membuat kurangnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Ini dikarenakan banyaknya tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan aturan yang digunakan. Salah satunya adalah, mengenai intervensi. Intervensi atau masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara perdata yang sedang berjalan atau berlangsung antara pihak-pihak yang berperkara, tidak dikenal dan tidak diatur dalam Herzien Inlandsch Reglement (Reglemen Indonesia yang Diperbaharui/HIR) maupun Rechtreglement voor de Buitengewesten (Reglemen Hukum Daerah Seberang/RBG).
Padahal, secara nyata dan objektif, lembaga hukum yang biasa disebut "intervensi" (interventie) atau "interovnieren" (ropjntervene a third party), sangat dibutuhkan dalam rangka mencapai dan mewujudkan penyelesaian pemeriksaan perkara yang objektif dan efesien sesuai tuntutan yang diamanatkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. [Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan Edisi Kedua, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 136.]
Pada masa dewasa ini, dikarenakan belum adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata di Indonesia, Mahkamah Agung selaku penyelenggara kekuasaan kehakiman dapat mengisi berbagai aturan baru untuk mengisi kekosongan hukum dalam ketentuan-ketentuan hukum acara perdata, antara lain hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung, yang dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung, hasil rapat kamar ini dijadikan sebagai pedoman yang memuat ketentuan-ketentuan baru dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam menegakan hukum, kemudian berbagai Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Dalam menyelesaikan sengketa perkara perdata di Indonesia, masih menggunakan HIR dan RBG, tetapi pengaturan terkait intervensi di Indonesia masih menggunakan Reglement Rechtsvordering (Rv), maka untuk mengatasi kekosongan hukum ini, praktik peradilan selalu berpaling mencari landasan pada ketentuan Pasal 393 HIR, Pasal 721 RBG. Ketentuan pasal ini selalu ditafsirkan memiliki dua sisi.
Satu segi sedapat mungkin harus tunduk mematuhi apa yang diperintahkan dalam rumusan pasal tersebut yang menegaskan proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara perdata hanya didasarkan sepanjang yang diatur dan ditentukan dalam HIR dan RBG saja.
Namun pada sisi lain, bagaimana apabila terdapat kekosongan hukum karena tidak ada diatur dalam HIR dan RBG, akan tetapi ditemukan aturan dan ketentuannya dalam undang-undang lain. Maka demi tuntutan kebutuhan beracara, ketentuan tersebut boleh diambil dan diterapkan sebagai "pedoman" Yang paling dekat atau paling sering diambil sebagai pedoman menghadapi kekosongan beracara yang tidak diatur dalam HIR dan RBG yaitu dari Reglement Rechtsvordering (Rv) yang dulu berlaku sebagai hukum acara perdata pada Raad van Justitie bagi golongan Eropa. [Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan Edisi Kedua, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 136.]
Pengaturan terkait intervensi selain diatur dalam Rv, intervensi juga diatur dalam Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, pada angka 1 halaman 60 antara lain dikatakan. Ikutnya pihak ketiga dalam proses perkara dalam bentuk voegnig, intervensi/tussankomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR dan RBG.
Akan tetapi, dalam praktik peradilan ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Pasal 279 - Pasal 281 Rv. Hal itu sesuai dengan prinsip "hakim wajib mengisi kekosongan hukum", baik dalam hukum materiil maupun hukum formil.
Bahwa, dalam Pasal 282 Rv memberi isyarat dan arahan agar permohonan/gugatan intervensi diperiksa terlebih dahulu dalam proses sidang insidentil. Dalam sidang insidentil tersebut, Majelis Hakim memeriksa, menilai dan mempertimbangkan apakah permohonan/gugatan intervensi itu memenuhi syarat formil dan materil.
Berdasar hasil pemeriksaan sidang insidentil, majelis hakim mengambil putusan vang dituangkan dalam bentuk "Putusan Sela" atau "Interlocutoir Beschikking" atau "Tussen Uitspraak" (Interlucaotury Decree).[Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan Edisi Kedua, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 136.]
Pada 20 Desember 2022, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363 /KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara Di Pengadilan Secara Elektronik.
Surat keputusan ini, memuat kaidah hukum baru, di mana pada poin III Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perkara Perdata Agama, Perkara Tata Usaha Negara, dan Biaya Perkara secara Elektronik, huruf C tentang Persidangan pada poin 6 tentang intervensi huruf g menjelaskan, Hakim/Majelis Hakim mengeluarkan penetapan untuk menerima atau menolak penggugat intervensi sebagai pihak dalam perkara tersebut.
Kaidah hukum tersebut merupakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 282 Rv yang memuat putusan sela untuk menerima atau menolak penggugat intervensi sebagai pihak dalam perkara tersebut.
Sedangkan pada aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) hingga 2025 ini, fitur kolom intervensi pada SIPP masih menggunakan putusan sela sebagai instrumen untuk menerima atau menolak penggugat intervensi sebagai pihak dalam perkara tersebut, sedangkan penetapan dan putusan sela keduanya merupakan produk hukum yang berbeda.
Maka, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363 /KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara Di Pengadilan Secara Elektronik, maka dari itu perlunya sosialisasi mengenai ketentuan beracara yang baru, dikhawatirkan adanya perbedaan beracara dalam gugatan intervensi pengadilan satu dengan pengadilan lainnya, hal ini dimungkinkan ada pengadilan yang menggunakan putusan sela dan ada pengadilan yang menggunakan penetapan.
Sedangkan template putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung masih menggunakan putusan sela untuk menerima atau menolak adanya intervensi.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung dikeluarkan pada 16 Desember 2022 sedangkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363 /KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara Di Pengadilan Secara Elektronik dikeluarkan pada 20 Desember 2022, adanya selisih 4 hari sejak dikeluarkan 2 surat keputusan.
Penulis sendiri berpendapat, konsep penetapan pada permohonan intervensi sudah tepat, pertama dari segi peraturan, peraturan tersebut merupakan peraturan yang lebih baru dan lebih relevan diterapkan, karena pada dasarnya intervensi itu diajukan dalam bentuk surat permohonan, sehingga untuk mengabulkannya cukup dikeluarkan penetapan dengan amar menolak atau menetapkan pemohon menjadi pihak intervensi baik itu voeging, tussenkomst maupun vrijwaring.
Sehingga. penetapan ini tidak termasuk dalam bagian dari putusan akhir berbeda dengan putusan sela, konsekuensi yuridisnya putusan sela tersebut dapat diajukan banding bersama dengan putusan akhir, sedangkan konsep dalam SK KMA sebagaimana tersebut di atas permohonan intervensi dan atas penetapan tersebut tidak ada upaya hukum.
Daftar Pustaka
- Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan Edisi Kedua, Jakarta:Sinar Grafika.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv).
Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan.
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363 /KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara Di Pengadilan Secara Elektronik