Bertubi Dihantam, Mahkamah Agung Bangkit Perlahan

Mahkamah Agung tidak sedang bermain sandiwara. Lembaga ini serius, bahkan bersedia mengambil langkah-langkah drastis untuk mencabut akar kebusukan dari dalam dirinya sendiri.
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA

“Terbentur, terbentur, terbentur, kemudian terbentuk.” Kutipan Tan Malaka tokoh revolusioner dan intelektual Indonesia, meskipun lahir dari konteks perjuangan kemerdekaan, terasa begitu relevan bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia akhir-akhir ini. Ia melambangkan jatuh-bangun, kesakitan yang membentuk kesadaran, serta dorongan untuk menjadi lebih baik setelah berkali-kali diuji oleh kegagalan dan krisis.

Belum lama ini, publik kembali dikejutkan oleh berita penangkapan beberapa oknum hakim oleh Kejaksaan Agung atas dugaan keterlibatan dalam praktik suap. Hal ini menambah daftar panjang noda di tubuh lembaga peradilan.

Namun, di balik kekecewaan yang meluas, Mahkamah Agung tetap menunjukkan kesungguhan untuk memperbaiki diri. Yang terbaru, Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.Hum., dalam kunjungan kerjanya ke Sumatera Barat, menegaskan bahwa “tidak akan ada rasa iba bagi aparatur pengadilan yang melakukan layanan transaksional.”

Pernyataan keras tersebut disampaikan di sela-sela pembinaan langsung kepada para aparatur peradilan wilayah Pengadilan Tinggi Padang, pada Kamis (24/4), sebagaimana dikutip dari dandapala.com. Sebuah pesan moral yang jelas, Mahkamah Agung tidak sedang bermain sandiwara. Lembaga ini serius, bahkan bersedia mengambil langkah-langkah drastis untuk mencabut akar kebusukan dari dalam dirinya sendiri.

Tegasnya, Ketua MA mengirim sinyal bahwa kita sedang menyaksikan bukan sekadar reformasi biasa, tapi revolusi peradilan. Sebuah upaya rekonstruksi total terhadap kultur yang telah terlalu lama ditoleransi. Revolusi ini tidak selalu berbentuk gebrakan besar, tapi bergerak dengan arah dan ketegasan. Termasuk dengan menata ulang sistem rekrutmen, promosi mutasi, pengawasan, dan pembinaan secara menyeluruh.

Namun kita harus sadar, revolusi seperti ini tidak akan berhasil hanya dengan ketegasan pimpinan. Ia butuh dukungan nyata dari negara, dan kesadaran kolektif dari para insan peradilan. Integritas tidak bisa dibentuk dalam semalam.

Ia tumbuh pelan-pelan, diuji dalam situasi sulit, dan dikuatkan oleh lingkungan yang mendukung. Dalam hal ini, negara punya peran vital yakni memastikan hakim dan aparatur peradilan memiliki penghidupan yang layak, bebas dari tekanan ekonomi yang melemahkan prinsip.

Sebab bagaimana kita bisa menuntut hakim untuk hidup bersih, jika gaji dan fasilitas hidup mereka masih jauh dari sebanding dengan tanggung jawab moral yang diemban?

Kesejahteraan bukan sekadar tuntutan birokrasi. Ia adalah bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Tanpa perlindungan terhadap martabat, integritas hanya akan tinggal harapan.

Pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, pernah menyatakan, “Jika perlu, potong satu generasi,” saat menanggapi maraknya praktik suap di lingkungan peradilan.

Pernyataan ini ia sampaikan dalam wawancara di kanal YouTube Kompas.com berjudul GASPOL ft. Jimly Asshiddiqie. Sebuah kalimat yang menggugah, bahkan terdengar ekstrem. Namun dalam konteks revolusi peradilan, kalimat tersebut mencerminkan urgensi bahwa jika akar korupsi sudah terlalu dalam, maka regenerasi total menjadi pilihan yang masuk akal. Bukan hanya sekadar memperbaiki permukaan dengan pembinaan dan slogan administrasi. Melainkan dengan membangun kembali integritas sejak tahap awal, mulai dari proses rekrutmen hingga promosi mutasi, serta dengan tegas membersihkan jejaring kepentingan yang telah lama terbentuk. 

Revolusi peradilan bukan tentang menghukum sebanyak-banyaknya, tetapi tentang menciptakan ekosistem baru di mana keadilan tidak bisa dibeli, layanan tidak bisa dinegosiasikan, dan integritas tidak sekadar basa-basi saat pembinaan. Ini menuntut perubahan cara pikir, cara kerja, dan cara membina aparatur pengadilan di semua jenjang.

Mahkamah Agung hari ini sedang berada di titik kritis. Tetapi titik ini bisa menjadi awal pembentukan ulang. Setiap benturan yang terjadi, setiap aib yang terbongkar, seharusnya menjadi pendorong bagi sistem untuk berani berbenah. Dan sebagaimana batu karang yang ditempa ombak terus-menerus hingga mengeras dan kokoh, Mahkamah Agung pun harus terbentuk dari luka-luka itu menjadi lembaga yang lebih jernih, bersih, dan adil.

Pernyataan tegas Ketua MA merupakan tonggak penting bahwa kita tidak lagi berada dalam fase "memaklumi". Kita telah memasuki fase penegakan nilai secara tanpa kompromi. Tapi ini tidak bisa dilakukan sendirian. Negara, masyarakat sipil, media, dan para hakim beserta aparatur peradilannya itu sendiri semua harus berada dalam arus yang sama yaitu peradilan bukan sekadar tempat mencari keadilan, tetapi rumah suci yang tidak boleh dinodai oleh kepentingan pribadi.

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews