Hakim Berdikari: Membangun Kesejahteraan dari Koperasi, Bukan dari Ketergantungan Para Pihak Berperkara

Ketika para hakim bersatu menciptakan sistem kesejahteraan sendiri, kita sedang menyusun ulang paradigma dari sekadar “abdi negara” menjadi insan peradilan yang berdaulat secara ekonomi, bermartabat dalam tugas, dan sejahtera dalam kehidupan.
Ilustrasi koperasi merah putih. Foto rri.co.id/ Disprindagkop Bengkulu Selatan.
Ilustrasi koperasi merah putih. Foto rri.co.id/ Disprindagkop Bengkulu Selatan.

Pembangunan Semesta Berencana: Warisan Paradigmatik Bung Karno

Konsep pembangunan semesta berencana yang digagas Bung Karno bukan sekadar perencanaan ekonomi lima tahunan. Ia adalah paradigma menyeluruh tentang bagaimana sebuah bangsa beserta seluruh komponennya menata kehidupan secara adil, berdikari, dan berkepribadian nasional.

Dalam semangat itu, pembangunan bukan hanya proyek pembangunan fisik, tetapi rekayasa sosial dan ekonomi untuk menciptakan tatanan yang membuat rakyat termasuk profesi strategis seperti hakim tidak lagi menggantungkan hidup pada belas kasihan sistem maupun ketergantungan terhadap pihak berperkara, melainkan mampu menopang dirinya sendiri secara mandiri dan bermartabat.

Bung Karno memahami, kemerdekaan politik harus ditopang oleh kemandirian ekonomi. Itulah mengapa, koperasi, gotong royong, dan semangat berdikari menjadi instrumen utama dalam membangun Indonesia yang berdaulat secara utuh. Dalam konteks sekarang, ketika negara menghadapi tekanan fiskal dan dinamika sosial yang semakin kompleks, kita melihat sinyal kebangkitan semangat yang sama yakni kemandirian ekonomi dari bawah. 

Sebagaimana dikutip dari Detik.com, salah satu bentuk konkretnya adalah pemerintah menggagas Koperasi Merah Putih yang direncanakan launching pada 12 Juli 2025 mendatang, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, pemerintah menargetkan pembentukan 80 ribu Koperasi Merah Putih. 
Lalu, mengapa dunia peradilan tidak bisa mengambil langkah serupa?

Hakim dan Kemandirian Ekonomi

Seringkali kita membicarakan kemuliaan hakim dalam aspek etik dan hukum. Namun kita luput pada satu hal mendasar yaitu kemandirian ekonomi sebagai fondasi kehormatan profesi. Hakim, sebagaimana manusia pada umumnya, memiliki kebutuhan hidup yang konkret. Ketika kebutuhan dasar itu tidak terpenuhi, maka idealisme pun bisa terguncang.

Sebagaimana Bung Karno mewariskan prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), maka hakim pun seyogianya berdikari di bidang ekonomi. Kesejahteraan tidak boleh sepenuhnya bergantung pada negara atau regulasi semata apalagi pihak berperkara, tetapi perlu dibangun melalui sistem internal yang saling menguatkan antar sesama insan peradilan. Di sinilah koperasi berperan strategis.

Koperasi Hakim: Dari Simpan-Pinjam ke Pilar Kesejahteraan

Koperasi bukan sekadar tempat menabung atau meminjam uang. Dalam makna sejatinya, koperasi adalah alat perjuangan ekonomi kolektif. Bila Mahkamah Agung bersama IKAHI berani melangkah membentuk koperasi nasional khusus untuk para hakim, maka ini bukan hanya soal peningkatan kesejahteraan, tetapi juga pembentukan benteng kemandirian profesi.

Koperasi ini bisa memiliki berbagai fungsi strategis bagi kesejahteraan dan kemandirian hakim, antara lain:

Pertama, Pinjaman Darurat Berbunga Ringan untuk Menjaga Hakim dari Jebakan Finansial.

Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks, kebutuhan mendadak seperti biaya kesehatan, biaya mudik, atau musibah sering kali tidak bisa ditunda. Sayangnya, banyak aparatur termasuk hakim terpaksa mencari solusi cepat melalui pinjaman konsumtif dari luar sistem seperti pinjol, atau lembaga pembiayaan berbunga tinggi.

Koperasi internal yang sehat dan terkelola secara profesional bisa menjadi benteng pertama bagi para hakim dari ancaman jebakan utang semacam itu. Dengan mekanisme pinjaman darurat berbunga ringan dan berbasis solidaritas, koperasi memberi ruang bagi hakim untuk mendapatkan bantuan keuangan secara cepat, aman, dan bermartabat, tanpa harus menggadaikan integritas atau harga dirinya.

Kedua, Bantuan Pendidikan dan Perumahan untuk Menjamin Martabat Keluarga Hakim.

Hakim tidak hanya individu profesional, tetapi juga kepala keluarga yang memikul tanggung jawab sosial. Tantangan terbesar seringkali justru datang dari kebutuhan keluarga, terutama terkait biaya pendidikan anak dan kepemilikan rumah layak huni.

Melalui koperasi, dapat dibentuk skema bantuan atau pembiayaan pendidikan berbunga rendah, tabungan pendidikan jangka panjang, serta program cicilan rumah berbasis koperasi yang terintegrasi dengan pengembang terpercaya.

Fasilitas ini tidak hanya meringankan beban finansial, tetapi juga menciptakan rasa aman dan tenang dalam menjalankan tugas yudisial, karena urusan domestik yang sering menjadi sumber tekanan batin sudah memiliki sistem penunjang yang kolektif.

Ketiga, Dana Investasi Internal untuk Membangun Ekosistem Ekonomi yang Mandiri.

Koperasi yang sehat tidak berhenti pada pelayanan finansial dasar. Ia bisa menjadi kendaraan investasi bersama yang membuka peluang peningkatan nilai ekonomi. Dana investasi internal, yang dikelola secara transparan dan profesional, dapat disalurkan ke unit-unit usaha yang relevan dengan kebutuhan warga peradilan.

Misalnya untuk kebutuhan operasional peradilan, koperasi dapat berperan strategis dalam pengadaan kebutuhan rutin seperti alat tulis kantor (ATK), perlengkapan sidang, seragam, hingga kebutuhan harian lainnya di lingkungan pengadilan secara kolektif. Dengan demikian, alih-alih bergantung pada vendor luar yang seringkali tidak efisien dan mahal, koperasi mampu menyediakan logistik ini secara langsung atau melalui kerja sama yang transparan, sehingga harga lebih terjangkau dan kualitas terjamin.

Sementara itu, untuk kebutuhan personal para hakim dan aparatur peradilan, koperasi dapat mengembangkan unit ritel yang menyediakan layanan distribusi sembako, kebutuhan rumah tangga, bahkan barang elektronik secara berkala. Melalui sistem pre-order atau toko daring internal, koperasi dapat membuka platform khusus bagi aparatur pengadilan di seluruh Indonesia untuk memesan kebutuhan pokok dengan pengiriman langsung ke kantor atau pengadilan masing-masing. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan efisiensi dan kemudahan, tetapi juga memperkuat solidaritas dan kemandirian insan peradilan.

Lebih jauh lagi, dukungan pada sektor teknologi melalui pengembangan aplikasi atau platform digital koperasi dapat meningkatkan efisiensi kerja dengan mengelola administrasi keuangan, aset, hingga layanan logistik internal yang terintegrasi. Inisiatif ini merupakan langkah nyata dalam mendukung sistem peradilan terpadu yang modern dan responsif terhadap kebutuhan anggotanya.

Dengan skema syariah maupun konvensional yang sesuai prinsip kehati-hatian dan regulasi OJK/Kemenkop, investasi ini tidak hanya memberi dividen atau keuntungan tahunan, tetapi membangun ekosistem ekonomi internal yang menciptakan sirkulasi uang dalam keluarga besar hakim itu sendiri. Inilah bentuk konkret dari berdikari secara kolektif.

Dengan koperasi yang dirancang sebagai sistem ekonomi alternatif dan penopang kolektif, para hakim tak lagi menjadi pekerja tunggal yang menanggung beban kesejahteraan secara individual. Mereka menjadi bagian dari insan profesional yang saling menguatkan, membentuk jejaring ekonomi yang bersih, mandiri, dan bermartabat.

Di sanalah koperasi menemukan maknanya bukan sekadar tempat meminjam uang, tetapi fondasi ekonomi etik dan kolektif bagi para penjaga keadilan.

Namun tentu, semua ini mensyaratkan pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan profesional, serta tidak mencampuri atau menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas yudisial.

Potensi Konflik Kepentingan

Sebagai profesi yang dituntut netral dan tak berpihak, para hakim harus menjaga jarak dari segala potensi konflik kepentingan. Oleh karena itu, koperasi yang dibentuk perlu memiliki mekanisme pengawasan internal yang independen dan tidak berada di bawah pengaruh struktur yudisial langsung.

Dewan pengawas koperasi sebaiknya terdiri dari pihak-pihak terpilih yang memiliki integritas tinggi dan tidak sedang menjalankan fungsi yudisial aktif, guna memastikan bahwa koperasi tidak menjadi alat politisasi internal atau saluran pengaruh eksternal. Transparansi, audit berkala, dan pelaporan terbuka kepada seluruh anggota harus menjadi prinsip utama agar koperasi benar-benar menjadi alat pemberdayaan tanpa menimbulkan celah pelanggaran etik.

Ruang Implementasi

Agar tidak berhenti pada gagasan, langkah awal dapat dimulai dari proyek percontohan (pilot project) koperasi hakim di lima wilayah peradilan strategis yang mewakili karakteristik geografis dan sosial yang berbeda misalnya: Jakarta, Makassar, Medan, Denpasar, dan Jayapura.

Dari skema percontohan ini, Pengurus IKAHI Daerah dan Cabang dapat dilibatkan sebagai penggerak operasional awal bersama satuan kerja pengadilan masing-masing. Evaluasi berkala dari pilot project ini akan memberikan masukan penting bagi penyusunan regulasi koperasi nasional yang lebih luas. Pendekatan bertahap ini membuat gagasan koperasi tidak hanya mengawang, tetapi nyata bisa dimulai dari sekarang oleh kita sendiri, dan untuk kita sendiri.

Sejalan dengan Gagasan Dana Tabungan Pensiun Hakim (DPTH)

Gagasan ini sejalan dengan tulisan Andi Aulia Rahman dalam opini yang diterbitkan Dandapala, 27 Mei 2025, berjudul Dana Tabungan Pensiun Hakim, Kenapa Tidak?. Dalam tulisannya, Andi menyerukan pentingnya membangun sistem tabungan pensiun khusus bagi hakim yang lebih fleksibel dan menjawab kebutuhan jangka panjang. Ini bukan semata usulan teknis, tetapi cermin kegelisahan kolektif atas sistem kesejahteraan yang stagnan.

Koperasi hakim dan DTPH bisa menjadi dua pilar sistem dukungan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang yang saling melengkapi. Yang satu menjawab kebutuhan harian dan insidental, yang lain memberi jaminan masa depan. Keduanya tumbuh dari semangat yang sama yakni berdikari secara kolektif.

Dari Gotong Royong ke Kedaulatan Profesi

Bung Karno mengajarkan bahwa berdikari bukanlah individualisme. Ia dibangun di atas gotong royong, solidaritas, dan organisasi rakyat. Maka, ketika para hakim bersatu untuk menciptakan sistem kesejahteraan sendiri, kita sedang menyusun ulang paradigma dari sekadar “abdi negara” menjadi insan peradilan yang berdaulat secara ekonomi, bermartabat dalam tugas, dan sejahtera dalam kehidupan.

Jika Mahkamah Agung bersedia memberi dukungan kebijakan dan legalitas, dan IKAHI mengambil peran sebagai penggerak utama, maka koperasi hakim nasional dapat menjadi legacy nyata dalam sejarah modernisasi peradilan Indonesia.

Penutup: Dari Kesadaran Menuju Gerakan

Sudah saatnya Mahkamah Agung dan IKAHI tidak hanya berbicara tentang integritas dalam dimensi etik, tetapi juga integritas yang ditopang oleh kemandirian ekonomi. Karena hanya hakim yang sejahtera-lah yang mampu menolak intervensi, menjaga marwah peradilan, dan berdiri tegak tanpa gentar.

Dengan koperasi, hakim bukan hendak menjadi orang kaya, tetapi menolak menjadi orang yang gelisah karena ketidakpastian ekonomi. Di sanalah integritas mendapatkan ruang untuk bertumbuh. Dan di sanalah warisan Bung Karno menemukan makna barunya di tangan para penjaga keadilan yang tidak hanya cerdas secara hukum, tapi juga cerdas mengelola martabat profesinya.

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews
Copy