Menilai Kinerja Hakim Melalui e-Kinerja: Tepat atau Perlu Dikaji Ulang?

Sayangnya, sistem e-Kinerja yang diterapkan saat ini belum sepenuhnya memahami karakter khas pekerjaan yudisial. Sistem ini justru menitikberatkan pada kepatuhan terhadap laporan administratif.
Penerapan sistem e-Kinerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) didasarkan pada Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2023. Foto istimewa
Penerapan sistem e-Kinerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) didasarkan pada Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2023. Foto istimewa

Penerapan sistem e-Kinerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) didasarkan pada Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2023 sebagai bagian dari implementasi Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

Tujuannya adalah, mendukung pengelolaan kinerja ASN secara lebih efisien dan terintegrasi melalui sistem informasi yang terkoneksi dengan Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara (SIASN). Sistem ini dirancang untuk mempermudah proses pemantauan dan evaluasi kinerja ASN di setiap instansi pemerintah.

Meskipun peraturan ini ditujukan bagi ASN secara umum, dalam praktiknya hakim sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman turut diwajibkan untuk mengisi e-Kinerja.

Meskipun sistem yang digunakan lebih fokus pada hal-hal administratif seperti pengisian laporan, pemenuhan indikator, atau ketepatan waktu, niat atau tujuan di balik penerapan sistem tersebut tetap layak dihargai, yaitu demi menciptakan transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan kinerja yang lebih baik, namun muncul pertanyaan krusial yakni apakah e-Kinerja relevan dalam menilai kinerja seorang hakim yang pekerjaannya sarat dengan penalaran hukum dan tanggung jawab moral tinggi?

Berbeda dari ASN administratif pada umumnya, hakim tidak bekerja semata-mata berdasarkan output kuantitatif. Tugas yudisial menuntut ketajaman analisis, integritas pribadi, dan keberanian moral dalam memutus perkara.

Kompleksitas perkara, kebutuhan untuk mendalami peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tanggung jawab sosial terhadap rasa keadilan menjadikan profesi hakim tidak dapat diukur hanya dengan pendekatan prosedural dan administratif.

Tugas hakim menempatkan profesi ini di luar ukuran yang mengandalkan indikator formal seperti laporan triwulanan atau tahunan, karena pekerjaan yudisial menyangkut penalaran hukum yang mendalam serta pertanggungjawaban moral di hadapan hukum dan masyarakat.

Sayangnya, sistem e-Kinerja yang diterapkan saat ini belum sepenuhnya memahami karakter khas pekerjaan yudisial tersebut. Sistem ini justru menitikberatkan pada kepatuhan terhadap laporan administratif. Hakim dituntut mengisi indikator kegiatan yang kerap tidak menggambarkan esensi kerja mereka. Ironisnya, setelah bersusah payah menyusun laporan panjang dan mendetail, hasil akhirnya sering kali hanya berupa sebuah ikon “jempol”.

Simbol sederhana ini, seolah dianggap cukup mewakili seluruh kerja keras dan tanggung jawab besar dalam menegakkan keadilan. Seakan-akan kompleksitas tugas yudisial dapat diringkas hanya dalam satu gestur digital. Akibatnya, waktu yang semestinya digunakan untuk membaca berkas, mendalami hukum, dan menyusun putusan berkualitas, tersita oleh kewajiban administratif yang tidak proporsional.

Dengan demikian diperlukan reformulasi pendekatan evaluasi kinerja hakim agar lebih relevan dan mendalam. Beberapa usulan berikut layak dipertimbangkan:

1. Fokus pada Kualitas Putusan

Evaluasi kinerja hakim seharusnya berfokus pada kualitas argumentasi hukum yang tercermin dalam putusan. Indikator utama dalam penilaian kinerja hakim adalah konsistensi putusan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta ketepatan dalam penerapan asas-asas hukum.

Putusan yang baik, tidak hanya mengandalkan rujukan peraturan, tetapi juga mampu menafsirkan dan mengimplementasikan hukum dengan bijaksana, mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap substansi perkara dan prinsip keadilan.

Selain itu, kualitas putusan dapat diukur dari sejauh mana hakim menyusun argumentasi hukum yang jelas, terstruktur, dan logis. Sebuah putusan yang baik harus menunjukkan proses penalaran hukum yang berangkat dari fakta yang terbukti secara meyakinkan, kemudian dikaitkan secara cermat dengan norma hukum yang relevan, dan pada akhirnya bermuara pada kesimpulan yang adil. Logika hukum harus dibangun utuh, bukan loncat-loncat atau bergantung pada asumsi yang tidak dibuktikan.

2. Penilaian Kinerja Hakim oleh Lingkungan Internal

Penilaian terhadap kinerja hakim tidak hanya dapat dilakukan melalui instrumen formal seperti e-Kinerja, tetapi juga melalui pengamatan dan evaluasi dari lingkungan kerja internal yang lebih memahami dinamika peradilan secara nyata. 

Pertama, Ketua atau Wakil Ketua pengadilan sebagai pimpinan memiliki posisi strategis untuk menilai kedisiplinan, integritas, dan kualitas kerja para hakim berdasarkan pengamatan langsung, termasuk kesungguhan dalam mengikuti sidang, menyusun putusan, serta etika dalam menjalankan tugas.

Kedua, rekan sejawat sesama hakim juga dapat memberikan penilaian yang objektif melalui interaksi kerja sehari-hari, terutama dalam forum musyawarah majelis. Dalam forum tersebut, terlihat jelas bagaimana kualitas pemikiran hukumnya, gaya penulisan putusannya, serta ketepatan penerapan norma hukum oleh masing-masing hakimnya.

Selain itu, dalam forum-forum internal seperti rapat teknis atau kegiatan pembinaan di lingkungan pengadilan, pertukaran pendapat antarhakim dapat menjadi sarana evaluasi informal yang mencerminkan profesionalisme, etika, dan keterbukaan terhadap masukan. Dengan mekanisme seperti ini membuka ruang evaluasi horizontal yang sehat, tanpa mengganggu independensi hakimnya.

Ketiga, pegawai pengadilan, khususnya panitera, sekretaris, staf, dan aparatur pendukung lainnya, dapat memberikan gambaran tentang sikap profesionalisme dan tanggung jawab sehari-hari seorang hakim. Meskipun mereka tidak menilai substansi yuridis, pengamatan mereka terhadap perilaku kerja dan relasi profesional tetap relevan sebagai bagian dari evaluasi integritas dan etika hakim dalam lingkungan kerja.

Dengan kombinasi penilaian dari pimpinan, rekan sejawat, dan pegawai, sistem evaluasi kinerja hakim akan lebih menyeluruh, adil, dan mencerminkan kondisi nyata di lapangan bukan hanya berdasar laporan administratif semata.

3. Penilaian Kinerja Hakim Berdasar Pada Tes Kompetensi Berkala

Penilaian kinerja hakim juga dapat dilengkapi dengan mekanisme tes pengetahuan hukum atau tes kompetensi secara berkala. Evaluasi semacam ini penting untuk memastikan bahwa setiap hakim tetap mengikuti perkembangan hukum dan mampu menyesuaikan diri dengan dinamika regulasi maupun pemikiran hukum yang terus berubah sesuai tuntutan zaman.

Penilaian ini sekaligus menegaskan bahwa profesionalisme seorang hakim tidak hanya tercermin dari hasil akhir dalam bentuk putusan, tetapi juga dari kesungguhannya dalam terus belajar, memperbarui pengetahuan, dan mendalami aspek-aspek baru dalam hukum. Dengan demikian, kompetensi substantif seorang hakim tidak stagnan, melainkan tumbuh seiring waktu sejalan dengan tuntutan keadilan yang semakin kompleks.

4. Penilaian Kinerja Hakim Berdasar Pada Analisis Beban Kerja yang Realistis

Penilaian kinerja hakim perlu juga di dasari oleh data perkara yang ditangani, jenis perkara, serta durasi penyelesaian juga dapat dijadikan sebagai indikator penting dalam menilai kinerja hakim secara lebih adil. Hakim yang menghadapi beban kerja tinggi baik dari segi jumlah maupun kompleksitas perkara berpotensi mengalami penurunan kualitas putusan.

Dalam konteks ini, penurunan bukan semata kesalahan individu, melainkan sinyal bahwa institusi perlu memperhatikan distribusi beban kerja secara proporsional demi menjaga mutu peradilan.

5. Penilaian Tambahan: Dimensi Non-Yudisial yang Mencerminkan Profesionalisme

Selain kualitas putusan dan etika dalam persidangan, terdapat sejumlah aspek non-yudisial yang juga layak dijadikan indikator kinerja seorang hakim.

Pertama, keberhasilan dalam menjalankan peran sebagai mediator patut diapresiasi. Hakim yang mampu mendamaikan para pihak melalui mediasi tidak hanya menunjukkan kapasitas komunikasi yang baik, tetapi juga mengurangi beban perkara dan menciptakan keadilan restoratif.

Kedua, kontribusi intelektual hakim melalui penulisan karya ilmiah atau opini hukum mencerminkan semangat akademik dan keterlibatan dalam pengembangan wacana hukum. Aktivitas ini menunjukkan bahwa hakim tidak sekadar bekerja menyelesaikan perkara, tetapi juga berpikir, meneliti, dan membagikan pengetahuan kepada publik hukum.

Ketiga, rekam jejak kedisiplinan dan integritas harus menjadi indikator utama. Hakim yang tidak pernah menerima laporan pelanggaran etik, tidak menjadi subjek pengaduan dari para pihak, dan tidak pernah dikenai sanksi disiplin, menunjukkan kualitas pribadi dan profesional yang patut diteladani.

Pada akhirnya, menilai kinerja hakim tidak bisa dilakukan secara seragam dengan pendekatan yang berlaku bagi ASN administratif pada umumnya. Tugas kehakiman menyangkut dimensi intelektual, moral, dan sosial yang tak dapat dicerminkan hanya melalui indikator prosedural administratif.

Oleh karena itu, penerapan e-Kinerja bagi hakim perlu dikaji ulang secara serius agar tidak sekadar menjadi beban administratif, tetapi benar-benar menjadi alat refleksi profesional. Diperlukan pendekatan evaluasi yang lebih kontekstual yang berpijak pada kualitas putusan, integritas pribadi, kompetensi hukum yang terus diperbarui, beban kerja yang realistis, serta kontribusi nonjudisial yang menunjukkan dedikasi terhadap keadilan. Hanya dengan cara demikian, kita dapat memastikan bahwa sistem penilaian kinerja tidak sekadar mencatat kerja, tetapi turut menjaga martabat dan keagungan profesi hakim itu sendiri.
 

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews