“When I enter most intimately into what I call myself, I always stumble on some particular perception of heat or cold, light or shade, love or hatred, pain or pleasure. […] I never catch myself at any time without a perception, and never can observe anything but the perception.”
David Hume (A Treatise of Human Nature).
Sejarah lahirnya subjek hukum (legal person) yang berasal dari tradisi pemikiran Barat, sebenarnya cukup lekat dengan kelahiran diri (the self) dalam garis filsafat dari Yunani klasik.
Sebelum para sofis (filsuf sebelum Sokrates) mulai menuangkan gagasan mereka, konsep tentang keutuhan diri masih samar (ambigu) dan acak (contingent). Dalam perkembangan selanjutnya, sang diri berkembang dari terbagi (dividuum) menjadi tidak terbagi (individuum).
Sejalan dengan perkembangan ini, heteronomi pun berkembang menjadi otonomi. Seseorang bertumbuh dari tergantung (dependent) menjadi bebas (independent). Kelayakan seorang individu di depan hukum pun sejalan dengan jejak historis dari konsep ini: otonom dan independen.
Sejalan dengan itu, tindak pencederaan didasarkan atas prinsip (harm principles) bahwa sang diri yang otonom dan independen dilanggar hak-haknya. Di zaman Yunani klasik, hanya manusia laki-laki dewasa berdarah Yunani asli (aristos) dan memiliki rumah tangga (oikos) yang bisa dicederai dari sisi hukum pada waktu itu (graphe plēgēs). Tindak pencederaan terhadap perempuan dan anak-anak dianggap sebagai mencederai hak seorang aristos, dan menyakiti budak sama seperti merusak propertinya (Kapparis, 2018).
Kita dapat melihat ide dasar dari fenomena ini: bahwa hanya aristos-lah yang dianggap memiliki otonomi dan bebas berdaulat sebagai sang diri. Selanjutanya, di era Modern, setiap manusia dianggap sebagai “the self” yang utuh. Pola pikir ini bertahan hingga kehadiran internet dalam bentuk kejahatan siber (cybercrime) mengangkat konsep impersonalitas ke permukaan.
Hukum dalam Keterbatasan Digitalnya
Berdasarkan laporan Facts dan Figures dari International Telecommunication Union (ITU), pada 2024 sekitar 5,5 miliar orang terhubung dengan internet, atau sekitar 68% dari total penduduk dunia.
Dari angka ini, konektivitas 93% ada di negara maju, sementara di negara berpenghasilan rendah hanya 27%. Masih dari fakta statistik yang sama, koneksi ke internet mencapai 83% untuk daerah perkotaan, dan 48% di daerah pedesaan (ITU, 2024).
Meskipun demikian, lepas dari ketimpangan digital (digital divide), angka ini jauh lebih tinggi daripada satu dekade sebelumnya, yaitu 3 miliar orang terhubung dengan internet, atau sekitar 40% populasi global (ITU, 2014). Bila laju pertumbuhan pengguna bisa kita anggap konstan, maka projeksi angka ini sepuluh tahun yang akan datang mungkin saja mendekati 100%. Singkatnya, cepat atau lambat, semua orang pasti terhubung.
Saat ranah riil dan virtual berbagai angka yang sama (manusia hidup di dunia nyata dan di internet), tindak kejahatan pun mungkin terbagi dalam proporsi yang sama.
Sederhananya, kepemilikan dan akses ke hak milik (termasuk privasi) bisa ditemukan di tubuh fisik atau avatar (ikon profil) imajerial, dan pencederaan bisa dilakukan di kedua dimensi tersebut. Bagi L. Cohen dan M. Felson, kejahatan memerlukan tiga kondisi, keberadaan pelaku kejahatan (offenders), munculnya celah untuk melakukan tindakan (opportunities), dan ketiadaan (absence) aparat penegak yang berwenang (capable guardians) (Cohen & Felson, 1979:588-589). Gagasan ini dikenal dengan istilah “teori aktivitas rutin” atau “routine activity theory” (Clough, 2015:5-6).
Elemen yang ketiga, capable guardians, adalah “persoalan baru masalah lama” dari dunia yang tidak sepenuhnya dikenal, terutama yang berkaitan dengan dunia digital dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence – AI) (Kissinger, Schmidt & Huttenlocher, 2021:172).
Dalam dunia manusia, menurut Immanuel Kant, “Humans has the peculiar fate in one species of itscognitions that it is burdened with questions which it cannot dismiss, since they are given to it as problems by the nature itself, but which it also cannot answer, since they transcend every capacity of human reason” (Manusia memiliki keadaan yang unik dalam cara berpikirnya: mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa diabaikan karena pertanyaan itu datang dari alam itu sendiri, tetapi sekaligus tidak bisa dijawab karena melebihi kemampuan akal manusia untuk memahaminya) (Kant, 1998:99).
Singkatnya, seturut Kant, fenomena sosial (termasuk kejahatan) sudah selalu berada di luar kemampuan manusia untuk merumuskannya. Tidak heran bila hukum seolah selalu datang terlambat untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan kompleksitas teknologis (Bilott, 2019).
Ironi Impersonalitas Dunia Siber
Pakar teori kejahatan siber dari Monash, Australia, Jonathan Clough, mengatakan, persoalan terbesar dari kriminalitas jenis ini ada pada beberapa elemen: (1) skalanya sangat besar, (2) aksesibilitasnya sangat mudah, (3) anonimitasnya sangat mudah dilakukan, (4) portabilitas serta pemindahannya cepat, (5) jangkauannya bersifat global, yang membuat kesulitan wilayah jurisdiksi semakin kompleks, dan (6) ketiadaan penegak yang kompeten (Clough, 2015:6-9).
Di tulisan ini kita akan melihat aspek ketiga, anonimitas, atau yang dapat kita baca dalam konsep filsafat sebagai impersonalitas. Sisi anonim inilah yang menjadi persoalan yang semakin pelik lagi, terutama dengan kehadiran AI sebagai sebuah pelengkap yang tidak lagi dapat dikesampingkan (Kurzweil, 2024).
Sebagai ilustrasi peliknya dunia komputasi mari kita lihat ilustrasi berikut ini. Dunia teknologi di Abad 21 dibangun atas agregat kerja sama internasional yang tidak bisa dipisahkan. Elemen-elemen penyusunnya bersifat anonim-impersonal.
Dari laporan tahunan perusahaan Belanda ASML (Advanced Semiconductor Materials Lithography), misalnya, kita bisa mengetahui kalau pabrik tersebut adalah satu-satunya penghasil mesin EUV (Extreme Ultraviolet) di dunia untuk memproduksi chip komputer untuk kebutuhan AI. Tiga perusahaan chip terbesar di dunia (Intel, Nvidia, dan TSMC) bergantung pada produk ASML, yang dibuat dari lebih 100.000 komponen dari lebih 5.000 pemasok dari seluruh dunia (ASML, 2024).
Dari contoh ini, sebuah komputer merek “X” pada dasarnya dibangun dari ribuan atau mungkin puluhan ribu industri yang bagi pengguna akhir (end-user) terkesan anonim. Singkatnya, dunia abad ini adalah “realitas impersonal.”
Dunia yang kompleks ini bergerak lebih jauh sebelum hukum bisa menjangkau aspek-aspek terkecilnya. Demikian pula, kejahatan siber yang bergantung pada teknologi komputer juga beroperasi dengan anomitas yang sama. Sebelum teknologi digital, kehidupan manusia bersifat personal (Harari, 2024).
Sekarang, identitas dan kedaulatan di ranah internet menjadi tidak relevan. Dalam kondisi seperti ini, anonimitas bersifat paradoks: di satu sisi melindungi pengguna, di sisi yang lain menjadi senjata bagi pelaku kejahatan siber (Lusthaus, 2018). Dengan kata lain, di dunia luring yang melakukan bisa diidentifikasi, di dunia daring pelakunya bisa siapa saja (impersonal).
Dalam Cybercrime Judicial Monitor (Juli 2024:27) tentang mata uang kripto, misalnya, dikatakan: “the use of anonymisation (mixer) services, decentralised platforms/cryptocurrencies, private coins/exchanges and unhosted wallets makes the tracing of the origin of the transactions and funds very difficult” (Penggunaan layanan anonimisasi, platform atau mata uang kripto terdesentralisasi, koin atau bursa privat, dan dompet digital membuat pelacakan asal-usul transaksi dan dana menjadi sangat sulit).
Sebuah Jalan kembali ke Personalitas
Di Uni Eropa, kasus EncroChat memberikan contoh ketika anonimitas dapat disingkap (de-anonimisasi) dengan putusan pengadilan (CJEU, C/2024/3723). Data yang disandikan (encrypted) dalam layanan pesan (messaging) dapat diinterupsi oleh pihak berwenang dan didekripsi (decrypted) untuk kebutuhan proses penyelidikan. Dalam filsafat hukum, langkah seperti ini dapat dianggap sebagai upaya untuk kembali memasukkan personalitas ke dalam arus diskursif. Dalam istilah psikologi Jungian (dari filsuf C.G. Jung), impersonalitas telah menjadi arketip (persona/ciri) Abad 21 (Karagiannopoulos, 2018).
Membiarkan haktivisme (hacktivism-salah satu arketip impersonal) semacam ini bergerak bebas melakukan perbuatan melawan hukum di dunia siber sangat destruktif-terutama bagi nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, tantangan bagi hukum modern adalah menemukan titik keseimbangan baru antara kebutuhan akan anonimitas dan pentingnya menjaga personalitas sebagai dasar tanggung jawab dan akuntabilitas hukum. Kompleksitas dunia digital telah membawa kita jauh melampaui batas-batas klasik konsep otonomi individu sebagaimana dipahami oleh filsafat Yunani klasik, sekaligus menegaskan perlunya kerangka hukum yang fleksibel namun kokoh.
Dalam masyarakat global yang semakin terhubung ini, hukum harus mampu menembus anonimitas demi melindungi hak-hak fundamental, sambil tetap menghormati kebebasan berekspresi dan privasi individu. Jalan kembali menuju personalitas adalah proses dialektis yang terus-menerus, menuntut kemampuan hukum beradaptasi secara dinamis terhadap perkembangan teknologi dan perubahan sosial di abad ke-21 ini.