Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan judisial sedang menjadi sorotan buntut kasus suap pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada April 2025. Padahal, belum luput dari ingatan kasus serupa yang menjerat beberapa hakim di Pengadilan Negeri Surabaya di pertengahan 2024. Kejadian tersebut, bukan hanya menciderai keadilan, tetapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Integritas dan kemandirian hakim pun dipertanyakan.
Namun, dalam setiap pemberitaan dan reaksi yang muncul, narasi yang dominan cenderung berfokus pada kegagalan personal hakim dalam menjaga integritas. Seolah-olah, akar masalah semata-mata adalah lemahnya moral individu yang tergoda uang. Padahal, realitas di balik runtuhnya kemandirian hakim jauh lebih kompleks dan tidak bisa disederhanakan sebatas pada angka nominal suap.
Ketika seorang hakim dijerat kasus suap, respons publik seringkali lantang: moral hakim dipertanyakan, profesionalismenya diragukan. Tidak dipungkiri suap dalam bentuk uang atau barang mewah adalah ancaman serius terhadap sistem peradilan. Namun, bahaya yang lebih senyap tetapi tak kalah merusak adalah ancaman terhadap keamanan pribadi dan intimidasi yang justru sering tidak terlihat dan sulit dibuktikan.
Keduanya sama-sama menggerus independensi, tetapi memiliki karakter yang sangat berbeda dalam penanganannya. Praktik suap, meskipun tersembunyi, masih meninggalkan jejak. Transfer uang mencurigakan, gaya hidup mewah yang tak sejalan dengan penghasilan, atau relasi tidak wajar dengan pihak berperkara dapat menjadi titik masuk bagi pengawasan.
Lembaga seperti Komisi Yudisial, KPK, dan PPATK memiliki instrumen untuk melacak pola semacam ini. Karena itu, pencegahan suap bisa dilakukan dengan pengawasan proaktif dan audit menyeluruh terhadap aset dan transaksi para hakim.
Namun, ada ironi yang luput dari perhatian: bahwa hakim kerap beroperasi dalam tekanan yang tak hanya berupa godaan uang, tetapi juga ancaman, baik yang kasar maupun halus, terbuka maupun terselubung yang menggunakan kekuasaan atau kekerasan untuk memengaruhi putusan.
Bentuknya bisa berupa teror fisik, penguntitan, intimidasi terhadap keluarga, bahkan penyebaran fitnah di ruang publik. Masalah ini tentu lebih sulit untuk dilacak. Tidak ada aliran uang, tidak ada rekening gendut, hanya ketakutan yang membungkam dan membuat hakim terpaksa “berpihak” bukan karena tergoda, tetapi karena terancam.
Bentuk ancaman yang paling sering diabaikan adalah intimidasi bermantel penegakan kode etik yang menjadi santapan sehari-hari para hakim. Di tengah semangat pengawasan publik yang tinggi, hakim menghadapi gelombang laporan yang tidak selalu ditujukan untuk menjaga integritas, tetapi untuk menekan dan memengaruhi.
Ucapan seperti, “Kalau putusan tidak sesuai, kami akan laporkan ke Bawas dan KY” atau “Nanti KPK akan kami libatkan”, menjadi tekanan psikologis yang dialami oleh hakim dalam menangani perkara. Bahkan sebelum sidang selesai, ancaman pelaporan sudah dilayangkan. Ini bukan bentuk kontrol, tetapi bentuk penggiringan kehendak, yang bila dibiarkan akan merusak esensi kemandirian hakim.
Sementara itu, hakim tidak memiliki saluran efektif untuk melaporkan godaan, tekanan atau ancaman yang mereka terima, baik dalam bentuk ajakan suap maupun intimidasi dari pihak berperkara. Bilapun ada kanal formal tersebut, jarang sekali respons yang cepat dan berpihak pada perlindungan hakim sebagai penjaga keadilan.
Kasus-kasus contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan menjadi bukti paling nyata. Banyak tindakan pihak berperkara di ruang sidang, baik dalam bentuk interupsi kasar, penggiringan opini, hingga pernyataan tidak pantas terhadap hakim maupun lembaga peradilan, tidak pernah diikuti dengan sanksi yang sepadan. Sementara hakim yang bersikap tegas terhadap perilaku semacam itu justru berisiko dilaporkan.
Permasalahan kemandirian badan peradilan secara umum, dan hakim secara khusus tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyorot sisi internal pengadilan atau menyerukan moralitas individu. Yang lebih mendesak adalah merekonstruksi ekosistem peradilan itu sendiri, yang saat ini timpang dalam distribusi kewenangan dan perlindungan. Ibarat pertandingan, wasit (hakim) dituntut objektif dan bersih, tetapi dibiarkan bermain dalam medan yang penuh tekanan tanpa perlindungan, sementara para pemain (pihak berperkara) memiliki semua celah untuk menekan.
Untuk itu, hakim perlu dilindungi dari intimidasi yang tidak selalu berwujud fisik atau finansial, melainkan juga dari ancaman pelaporan yang manipulatif dan digunakan sebagai alat tekanan. Pengawasan terhadap hakim harus tetap ada, tetapi harus disertai dengan mekanisme filtrasi yang jelas, agar tidak setiap laporan dijadikan alat untuk mendiskreditkan dan melemahkan kemandirian putusan.
Sehingga, selain adanya penilaian validitas laporan baik kepada badan pengawasan maupun Komisi Yudisial sebelum dilanjutkan ke proses pemeriksaan substansi, guna membedakan antara kritik konstruktif dan intimidasi terselubung, diperlukan juga penguatan penegakkan kode etik yang tidak hanya ditekankan kepada hakim, tetapi juga kepada seluruh penegak hukum dengan adanya efek penegakkan kode etik lintas profesi dan organisasi yang sifatnya mengikat, serta penindakan atas laporan yangs sifatnya intimidasi terselubung tersebut.
Perlunya suatu kanal formal dan terpercaya bagi hakim untuk melaporkan jika dirinya mengalami rayuan suap, tekanan atau bahkan dilema etik yang menjamin kerahasiaan, menindaklanjuti laporan dengan cepat, dan mampu mengambil langkah perlindungan bila diperlukan, agar ke depannya hakim tidak memilih diam atau menyelesaikannya secara informal, yang justru membuka ruang kompromi.
Pengadilan bukan hanya tempat bertemunya argumen hukum, tapi juga arena etika dan perilaku. Namun selama ini, pelanggaran etik oleh pihak berperkara baik di dalam maupun di luar ruang sidang, seperti mengintimidasi hakim, menghina pihak lawan, atau mempolitisasi kasus ke media, seringkali tidak berujung pada sanksi yang nyata. Sehingga sangat diperlukan penguatan mekanisme contempt of court dengan tata cara dan sanksi yang jelas.
Hakim harus didukung dalam menegakkan wibawa persidangan, termasuk memberi peringatan, mendiskualifikasi pihak yang mempersulit jalannya persidangan, hingga merekomendasikan proses etik.
Terakhir, masyarakat perlu memahami bahwa pengawasan terhadap hakim sejatinya sah, tapi tidak boleh menjadi alat tekanan. Sehingga persepsi yang dibangun melalui media haruslah mendorong pemahaman bahwa hakim adalah manusia dengan batas psikologis dan sosial, yang perlu dukungan, bukan sekadar tuntutan. Media dan masyarakat berperan penting dalam menciptakan atmosfer peradilan yang sehat. Selama ini, narasi yang berkembang cenderung berat sebelah tanpa ada presumption of integrity. Padahal, menjaga kepercayaan publik tidak berarti mengorbankan martabat profesi.
Integritas peradilan adalah fondasi utama negara hukum. Ketika hakim sebagai pihak yang seharusnya paling netral bisa dibeli atau dipaksa, maka keadilan tak lagi menjadi prinsip, melainkan komoditas. Kemandirian hakim adalah benteng terakhir dari keadilan, namun jika para penjaga hukum ini terus dipaksa berjalan di atas tali tipis antara integritas, godaan dan intimidasi, maka seluruh sistem peradilan sedang berada dalam bahaya.
Mencegah suap dan korupsi memang penting, tetapi tidak cukup. Negara juga harus memastikan bahwa hakim dapat bekerja dengan pikiran yang jernih dan hati yang merdeka. Jika negara gagal melindungi aparat peradilannya dari godaan, tekanan dan ancaman, maka harapan terhadap putusan yang adil hanya akan menjadi semu.
Transparansi harus berjalan beriringan dengan perlindungan, karena jika tidak, keadilan yang lahir dari ruang sidang bukan berasal dari nalar hukum yang murni, melainkan dari kompromi karena rasa takut. Dan itu, sejatinya, adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara hukum.