Integritas Hukum dan Nilai dalam Masyarakat

Dalam memutus perkara, hakim bisa memilih menginjakkan kakinya pada dua sistem pemikiran: Formalisme atau realisme. Namun, di antara kedua titik ini ada wilayah abu-abu yang sangat sulit untuk diabaikan.
ilustrasi hakim sedang mendiskusikan kasus. Foto freepik.com
ilustrasi hakim sedang mendiskusikan kasus. Foto freepik.com

“According to law as integrity, propositions of law are true if they figure in or follow from the principles of justice, fairness, and procedural due process that provide the best constructive interpretation of the community’s legal practice.”

Ronald Dworkin (Law’s Empire).

Persoalan menafsir hukum pada akhirnya cenderung masuk dalam wilayah abu-abu, bukan lagi hitam atau putih. Bahkan, bagi warga negara yang awam dengan kompleksitas penalaran legal, ada semacam intuisi yang membuat rakyat percaya atau menolak kewibawaan lembaga peradilan.

Bahkan di Amerika Serikat, tingkat kepercayaan terhadap mekanisme yudisial di 2024 berada di titik terendah sejak survei ini dimulai 2006, dengan 35% (Guardian, 17 Desember 2024). Ini berarti, hanya sepertiga dari hampir 350 juta rakyat negara tersebut (hasil sensus 2024) yang masih menganggap badan yudikatif sebagai lembaga yang masih berwibawa.

Intuisi ini, sejalan dengan teori aturan (rules) versus asas (principles) yang diangkat oleh filsuf hukum Ronald Dworkin. Seturut Dworkin, mengasumsikan rakyat sebagai pihak yang benar-benar awam dalam persoalan hukum adalah sebuah kekeliruan, karena bahan baku hukum bukan hanya aturan yang ditetapkan dari sumber hukum utama yang tidak tertulis (Hart mempergunakan istilah “rule of recognition”), tetapi juga nilai-nilai yang universal yang tumbuh dan matang bersama masyarakat.

Sejarah panjang di Barat yang berkaitan dengan campur tangan institusi agama ke dalam bidang politik memang menjadi trauma bagi orang Eropa. Sebagai tempat kelahiran sistem hukum modern, kegagalan pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berujung pada Perang Dunia Kedua membuat desakan untuk memisahkan hukum dan moralitas (seperti yang yang dilakukan positivisme legal) menjadi cukup dominan.

Pakar hukum Brian Tamanaha (2002) mengeklaim, aliran ini menjadi mazhab paling dominan, yang ironisnya tidak mengakar pada persoalan nyata di masyarakat. Bagi Tamanaha, kita hanya perlu “akal sehat” untuk melihat keganjilan dari pemikiran yang menganggap hukum sebagai seperangkat aturan.

Scott Shapiro (2007), yang banyak mengkaji perdebatan seputar klaim H.L.A. Hart yang dibenturkan pada pemikiran Dworkin, mengatakan, ada titik penting dalam kajian filsafat hukum yang berkaitan dengan positivisme legal: ketika dua hukum yang sah berbenturan untuk kasus yang sama. Di titik ini, putusan hakim menjadi sangat dilematis.

Titik Tengah tanpa Jalan Keluar

Dalam memutus perkara, hakim bisa memilih menginjakkan kakinya pada dua sistem pemikiran: Formalisme atau realisme. Dalam garis formalisme, yang diterima sebagai putusan adalah yang ada dalam peraturan atau undang-undang. Sedangkan di dalam realisme, hakim punya keleluasaan untuk sampai pada keputusan apapun, yang sejalan dengan diskresi yang diargumentasikannya (Kaplan, 2021).

Namun, di antara kedua titik ini ada wilayah abu-abu yang sangat sulit untuk diabaikan, karena menyangkut pengayoman masyarakat dan upaya untuk menegakkan keadilan. Wilayah ini bagai “penumbra” (wilayah bayang tak bertuan) yang menjadi tantangan serius bagi para iuris. Pengkaji filsafat hukum dari Oxford Nicos Stravropoulos mencatat dalam Harvard Law Review bahwa “Dworkin’s target […] was legal positivism, which he defined as a family of theories that purport to explain obligation in law by appeal to the existence of a set of special standards that meet a social test of pedigree: for example, that they have been endorsed by some institution” (Sasaran utama Dworkin […] adalah positivisme hukum, yang ia definisikan sebagai suatu keluarga teori yang berusaha menjelaskan kewajiban hukum dengan merujuk pada keberadaan seperangkat standar khusus yang memenuhi uji sosial mengenai latar belakang-misalnya, standar tersebut telah disahkan oleh suatu institusi tertentu) (Stravropoulos, 2017).

Dengan kata lain, solusi yang ditawarkan positivisme legal (seperti Hart) cenderung jatuh dalam perangkap argumentum ad verecundiam: institusi yang dipaksakan untuk menjadi pihak paling otoritatif untuk menyelesaikan persoalan.

Solusi yang ditawarkan Hart, memang mengatasi persoalan perintah (command) dari John Austin, dan juga pendekatan yang terlalu saintifik dari Hans Kelsen. Dengan mempergunakan Rule of Recognition sebagai fondasi dari peraturan dan perundang-undangan, Hart memang telah meletakkan jangkar yang kuat dari eksistensi juridis.

Namun, yang dilakukan Hart justru mengalihkan persoalan dengan mekanisme kerancuan berpikir “red-herring”: beban justru diletakkan pada berbagai pihak yang tidak terikat langsung pada proses konstruksi juridis.

Dworkin mengatakan: “if we were challenged to back up our claim that some principle is a principle of law, we would mention any prior cases in which that principle was cited, or figured in the argument” (Apabila klaim bahwa suatu prinsip merupakan prinsip hukum dipertanyakan, maka pembuktian atas klaim tersebut akan dilakukan dengan merujuk pada preseden yudisial di mana prinsip dimaksud telah dikutip secara eksplisit atau memainkan peran dalam konstruksi argumentasi hukum yang diajukan dalam putusan tersebut) (Dworkin, 1977:58).

Penumbra Diskresi dan Keputusan Hakim

Ada tiga jalur pembuatan keputusan, bagi Dworkin. Pertama, saat hakim mencoba untuk mempergunakan hukum sebaik mungkin dalam menjatuhkan putusan. Kedua, saat putusan hakim menjadi keputusan akhir yang akan menjadi bagian dari pengambilan keputusan serupa di masa depan. Ketiga, saat hakim tidak terikat dan berhak mengambil keputusan apapun, tanpa mengacu pada undang-undang atau peraturan yang ada (Dworkin, 1977:48-57).

Kesalahan Hart bagi Dworkin adalah saat Hart menyamaratakan upaya hakim dalam menggali pasal-pasal yang ada (jalur satu) dengan kebebasan total untuk membuat hukum yang baru (jalur tiga). Dengan kata lain, Hart memberikan ilusi seolah-olah hukum akan selalu baru karena upaya personal sang hakim untuk memperbaharuinya.

Dalam garis pemikiran Dworkin, “kebaruan” ala Hart adalah semu: seorang hakim sudah selalu hidup dalam asas (principles) tidak tertulis. Sehingga, konstruksi hukum adalah tindakan kolektif yang didasarkan pada nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum selalu bersifat internal.

Kekuatiran Dworkin terutama disebabkan karena diskresi jalur tiga akan dihinggapi oleh kepentingan pribadi atau kelompok, ketika hukum menjadi alat politik. Marilah kita lihat dua kasus berikut ini, Riggs v. Palmer dan Roncarelli v. Duplessis.

Di kasus yang pertama, Elmer Palmer membunuh kakeknya, Francis Palmer. Pengadilan kemudian memutuskan bahwa Elmer, yang dinyatakan bersalah karena membunuh sang kakek, tidak akan mendapatkan warisan, sekalipun namanya ada di daftar wasiat. Tindakan Elmer membunuh sang kakek turut menggugurkan haknya untuk mendapatkan warisan dari sang kakek (Riggs v. Palmer, 115 NY 506, 1889).

Di kasus yang kedua yang terjadi di Kanada, menimpa Roncarelli yang memeluk kepercayaan tertentu. Atas dasar preferensi religius Roncarelli, Duplessis kemudian melakukan tindakan diskriminatif dengan menahan izin berdagang Roncarelli (Roncarelli v. Duplessis, S.C.R. 121, 1959).

Di dalam kedua kasus ini, bila prinsip Positivisme Legal Hart yang dipergunakan, maka hakim bisa saja membiarkan Elmer tetap mendapatkan warisan, atau dengan kata lain, mendapatkan keuntungan dari perbuatan melawan hukumnya. Prinsip yang ada di belakang putusan yang bertolak belakang dengan prinsip Hart ini adalah “tidak mungkin seseorang diuntungkan oleh tindak kejahatan yang dilakukannya”.

Berikutnya, wewenang yang ada di Duplessis dari perspektif Hart memberi kesempatan bagi pejabat negara untuk melakukan apapun (campur tangan kepentingan politik dalam hukum). Bahwa Kanada memberikan kebebasan bagi warga negaranya untuk beragama dan berkepercayaan menjadi dasar putusan hakim, yang sekali lagi bertolak-belakang dengan disposisi Hart, sehingga hakim tetap menegakkan kesetaraan warga negara di hadapan hukum (Scott, 1959:48).

Dengan demikian, di sini kita dapat melihat signifikansi dari gagasan Dworkin tentang integritas hukum dengan nilai masyarakat (law as integrity). Upaya menegaskan asas-asas moral merupakan unsur internal hukum. Dworkin menyediakan jalan keluar yang memungkinkan hakim untuk tidak terperangkap dalam diskresi absolut maupun positivisme murni.

Putusan yang dicontohkan dalam tulisan ini membuktikan, hakim tidak menciptakan hukum baru. Melainkan, menafsirkan warisan normatif yang sudah selalu padu dengan tatanan sosial. Konsistensi penerapan prinsip-prinsip ini menjaga koherensi narasi besar tentang keadilan.

Di tengah merosotnya legitimasi yudisial yang tercermin dalam survei kepercayaan publik, penerapan asas-asas internal tersebutlah yang dapat memulihkan wibawa pengadilan. Singkatnya, masa depan peradilan berpulang pada keberanian hakim memandang hukum bukan sekadar kumpulan aturan, melainkan ekspresi terdalam nilai-nilai luhur tak tertulis (virtue) yang senantiasa bertumbuh dan berkembang. 

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews