Pengukuhan 1.451 hakim pengadilan tingkat pertama pada empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia, yang berlangsung di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, bukan hanya sebuah peristiwa seremonial belaka. Pengukuhan yang terjadi pada Kamis (12/6) tersebut, menjadi momentum penting, sebuah langkah awal perjalanan para hakim yang akan menjadi garda terdepan keadilan, tempat masyarakat mencari kepastian, kebenaran, dan kejujuran.
Hadirnya Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto pada peristiwa tersebut, menjadi sebuah dukungan moral yang luar biasa. Dalam sambutannya, presiden menyampaikan: “Syarat menjadi negara yang berhasil adalah memiliki sistem hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat. Hakim adalah benteng terakhir keadilan. Dengan hakim yang kuat, Indonesia akan menjadi negara yang berhasil.”
Selain visi tersebut, presiden juga memberikan dukungannya secara konkrit, yaitu mengumumkan kenaikan gaji hakim bervariasi dengan kenaikan tertinggi 280% untuk hakim dengan golongan paling junior.
Langkah tersebut memang patut diapresiasi, karena menjadi wujud kepedulian bangsa dan negara terhadap peran penting hakim dan peradilan. Dengan gaji yang lebih layak, diharapkan hakim dapat fokus melaksanakan kewajibannya tanpa dibebani masalah ekonomi, dan dapat menjaga integritas, kewibawaan, dan profesionalisme.
Kenaikan Gaji: Anugerah sekaligus Ujian
Meskipun kenaikan gaji merupakan sebuah anugerah, penulis menyampaikan sebuah kekhawatiran yang patut menjadi renungan.
Kenaikan gaji yang signifikan memang dimaksudkan untuk menunjang kinerja, menjaga kewibawaan, dan memenuhi kebutuhan hidup hakim secara layak, sehingga hakim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya tanpa dibebani masalah ekonomi. Hal ini sejalan dengan visi presiden dan bangsa, yaitu mewujudkan peradilan yang mandiri, profesional, dan dapat dipercaya.
Akan tetapi, apabila momentum ini tidak disikapi secara matang, dapat terjadi pergeseran ukuran hidup dan sikap moral hakim. Ada risiko, sebagian hakim terlena, terjebak pada gaya hidup konsumtif, hedonis, dan pamer kemewahan. Hal ini terjadi apabila ukuran kepuasan hidup bergeser dari kesederhanaan dan kewajaran, menjadi ukuran material dan tampilan luar.
Perilaku hidup yang mewah, pamer, dan melupakan kesederhanaan nantinya dapat menjadi pintu masuk perbuatan tercela, seperti korupsi dan suap. Dalam kondisi inilah kewibawaan peradilan dapat tercoreng, dan kepercayaan masyarakat kepada institusi hakim dapat luntur.
Hal ini jelas bertentangan dengan visi Mahkamah Agung, visi bangsa, dan kewajiban hakim sebagai penjaga keadilan.
Dalam perspektif bangsa, hakim bukanlah penguasa, tetapi pelayan masyarakat; bukan figur yang mencari kemewahan, tapi teladan kesederhanaan; bukan orang yang bergelimang harta, tetapi manusia yang menjaga hati, integritas, dan kewibawaannya demi kepentingan bangsa dan keadilan.
Singkatnya, kenaikan gaji bukan ukuran kesuksesan, tetapi ukuran tanggung jawab. Semakin besar gaji dan tunjangan yang diterima, semakin besar kewajiban dan akuntabilitas yang harus diemban. Dalam kondisi inilah integritas dan moral hakim tengah diuji: apakah mampu menjaga diri dan kewibawaannya, atau justru terlena dan terjerumus pada gaya hidup yang melalaikan visi dan misi peradilan.
Mengingat Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 4 Tahun 2025,
saya kira, momentum kenaikan gaji hakim ini menjadi saat yang tepat untuk mengingat dan menerapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum.
Edaran tersebut bukan dimaksudkan untuk mengekang, apalagi merenggut kebebasan dan martabat hakim, tapi demi menjaga kewibawaan peradilan dan kepercayaan masyarakat. Dalam Surat Edaran tersebut, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum meminta hakim dan aparatur peradilan:
1. Menghindari gaya hidup hedonis.
2. Menghindari sikap konsumtif, pamer, dan mencari kesenangan tanpa ukuran.
3. Menghindari kesenjangan dan kecemburuan sosial, dengan tidak mengunggah foto-foto atau video yang menunjukkan kemewahan di media sosial.
4. Mengedepankan kesederhanaan, kepatutan, kewajaran, dan kehati-hatian.
Ini bukan pembatasan, tetapi sebuah ukuran moral dan etika demi menjaga integritas, kewibawaan, dan kepercayaan masyarakat kepada peradilan.
Mengajak Mengemban Tanggung Jawab
Saya juga ingin menyampaikan ajakan tegas kepada para hakim di seluruh penjuru tanah air, dan terutama hakim yang baru dikukuhkan agar menyadari bahwa gaji yang diterima bukan ukuran kesuksesan, tetapi ukuran tanggung jawab.
Negara, bangsa, dan rakyat tengah memberikan kepercayaan yang besar. Karena itu, jangan menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Jadilah hakim yang jujur, adil, rendah hati, dan hidup sesuai ukuran kepatutan.
Kalau masih ada hakim yang terlena, masih mencari-cari suap, masih melawan integritas, segera hentikan perbuatan tercela itu. Mahkamah Agung tidak akan memberikan toleransi (zero tolerance) terhadap hakim yang melanggar etika dan menyimpang.
Sebab, kesalahan satu dua orang dapat menjadi noda yang mencoreng citra seluruh hakim dan lembaga peradilan. Nila setitik dapat merusak susu sebelanga. Karena itu, menjaga integritas bukan hanya demi diri sendiri, tetapi demi kewibawaan institusi dan kepercayaan masyarakat secara luas.
Penutup: Harapan Rakyat dan Masa Depan Peradilan
Hakim adalah cahaya di tengah gelap, tempat rakyat mencari keadilan. Kalau hakim menjaga integritas, hidup sederhana, dan teguh pada prinsip, maka visi Mahkamah Agung dan bangsa yaitu peradilan yang adil, mandiri, dan dapat dipercaya akan terwujud.
Mari jadikan momentum kenaikan gaji ini sebagai pendorong perbaikan, bukan masalah. Jadikan gaji yang layak sebagai landasan, bukan ukuran kesuksesan, dan kesederhanaan sebagai jati diri. Dengan begitu, hakim akan dicintai rakyat, dihormati bangsa, dan dikenang sebagai pahlawan keadilan.