Gema Panggilan Agung di Relung Sang Pengadil
Di tengah panggung peradaban yang terus berubah, di antara riak gelombang kepentingan duniawi yang kerap kali mengaburkan pandangan, terdapat sebuah mercusuar yang diharapkan tetap tegak memancarkan sinar kebenaran dan keadilan institusi peradilan. Dalam sanubarinya, bersemayam sosok insan pilihan, hakim. Pundaknya, dibebani amanah langit dan bumi untuk menjadi penentu nasib, penimbang kebenaran, dan penjaga harmoni hukum.
Menjadi hakim, bukanlah sekadar panggilan atau titian profesi, melainkan sebuah ikrar jiwa untuk laksanakan dan abdikan seluruh eksistensi diri, pada altar keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Hakim sebuah perjalanan sunyi yang menuntut kejernihan batin, ketangguhan moral, dan kesadaran kosmik akan pertanggungjawaban yang melampaui batas-batas dunia fana.
Dalam keheningan refleksi, setiap hakim diajak untuk terus menerus menziarahi hakikat dirinya. Sebagai manusia dengan segala keterbatasannya, hamba sang khaliq yang senantiasa bergantung pada petunjuknya, dan sebagai khalifah fil ardh yang dititipkan mandat suci untuk merajut keadilan di tengah masyarakat.
Dokumen luhur yang menjadi kompas, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, lebih dari sekadar panduan normatif. Kode etik, peta jalan spiritual, sebuah suluh yang menerangi liku-liku pengabdian, serta mengajak para Hakim untuk tidak hanya mahir dalam menerapkan pasal, tetapi piawai menafsirkan bisikan nurani dan kehendak Ilahi.
Asa menyelami kedalaman panggilan ini secara holistik, marilah merenungkan bersama-sama membedah dan menghayati eksistensi seorang hakim melalui kerangka pemahaman tiga dimensi yang integral dan tak terpisahkan. Dimensi struktur sebagai representasi lahiriah dan formalitas peran. Sedangkan dimensi sub struktur sebagai bangunan kokoh intelektualitas, kompetensi, dan profesionalisme, serta menjadi jantung seluruh keberadaan.
Adapun dimensi inner structure, sebagai tempat bersemayamnya kesadaran terdalam, spiritualitas, moralitas adiluhung, dan integritas yang menjadi sauh di tengah badai cobaan. Hanya dengan pemahaman dan penghayatan yang mendalam terhadap ketiga dimensi inilah, seorang Hakim dapat berharap untuk benar-benar mewujudkan marwah profesinya dan menjadi insan peradilan yang utuh, dimana setiap denyut nadinya berirama dengan simfoni keadilan universal.
Perenungan tersebut, ikhtiar untuk tidak hanya memenuhi kuantitas, tetapi lebih dari itu, menggali kualitas makna di setiap jeda dan kata. Wujudnya sebuah upaya membangunkan kembali raksasa kesadaran dalam diri setiap hakim, di balik toga dan palu terdapa jiwa yang merindukan kesucian. Terdapat akal yang mendambakan pencerahan dan raga yang harus menjadi saksi atas tegaknya kebenaran.
Hal ini sebuah monolog panjang seorang hakim kepada dirinya sendiri dan dialog terbuka kepada sesama rekan seperjuangan, untuk bersama-sama teguhkan kembali komitmen pada jalan keadilan yang lurus dan terang. Selain itu, memastikan lembaga peradilan senantiasa menjadi pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan, serta proses pembangunan peradaban bangsa. Di mana, tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan, prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara.
Memulai ekskavasi makna sebagai hakim dengan kesabaran seorang arkeolog jiwa, mengupas lapis demi lapis keberadaan seorang hakim, hingga menemukan kembali mutiara inner structure yang sempat terbenam dalam rutinitas atau tergores oleh debu-debu duniawi.
Sebab, dari sanalah inti terdalam segala kemuliaan profesi hakim bersemi dan memancarkan cahayanya. Berdasarkan kondisi tersebut, para hakim akan menemukan kekuatan untuk senantiasa mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum serta keadilan bagi rakyat banyak. Demikian juga, sebagai perwujudan dari sumpah jabatan yang pernah dilafalkan dengan kesungguhan hati di hadapan Tuhan dan manusia.
Dimensi Struktur Manifestasi Lahiriah dan Simbolisme Jabatan Hakim dalam Tata Peradilan
Saat membicarakan dimensi struktur dalam konteks seorang hakim, kita menyentuh aspek-aspek paling visual dan formal dari keberadaannya. Hal ini, tentang bagaimana seorang hakim hadir secara fisik dan institusional pada panggung peradilan serta persepsi masyarakat luas. Struktur dimaksud, bukan hanya tentang individu hakim sebagai entitas biologis, melainkan juga seluruh perangkat simbolik dan normatif yang melekat pada jabatannya. Toga hitam yang lambangkan ketegasan dan objektivitas, bef putih simbolkan kesucian niat, kursi persidangan yang posisinya lebih tinggi menandakan otoritas dalam memimpin jalannya keadilan, serta palu menjadi instrumen penentu keputusan.
Semua norma tersebut, komponen-komponen struktural yang mengandung filosofi mendalam. Struktur ini adalah garda depan, wajah peradilan yang pertama kali bersentuhan dengan para pencari keadilan, sehingga pemeliharaan citra dan wibawanya menjadi sebuah tanggung jawab yang tidak ringan dan harus diemban dengan penuh kesadaran.
Penampilan seorang hakim, mulai cara berpakaian yang rapi dan pantas sesuai martabat profesi, hingga sikap tubuh tenang, namun tegas di ruang sidang, merupakan bagian integral dari dimensi struktur yang memancarkan kewibawaan. Hal dimaksud, bukan tentang mengejar citra kosong atau formalitas semata, melainkan upaya sadar membangun atmosfer persidangan yang khidmat, di mana setiap pihak merasa dihormati dan proses pencarian keadilan berjalan dengan tertib. Pembukaan Kode Etik menggarisbawahi hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, serta keluhuran martabat, yang salah satunya tercermin dari bagaimana hakim membawa diri.
Struktur ini juga, mencakup kemampuan hakim mengelola ruang sidang, memastikan setiap prosedur formal diikuti dengan benar dan setiap interaksi verbal dilakukan dengan bahasa yang terukur, jelas, dan tidak merendahkan pihak manapun.
Lebih dari sekadar penampilan fisik dan tata kelola persidangan, dimensi struktur berbicara tentang kedudukan hakim sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi yudikatif. Dirinya representasi kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebuah pilar fundamental dalam sistem demokrasi dan negara hukum. Setiap penetapan yang dikeluarkan dan perintah yang diberikan dalam rangka pelaksanaan tugas yudisialnya adalah manifestasi otoritas struktural yang dilimpahkan undang-undang.
Maka, penggunaan otoritas wajib dilandasi prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan orientasi penegakan hukum, serta keadilan. Penyalahgunaan struktur formal untuk kepentingan pribadi atau golongan, merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanah jabatan dan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Namun demikian, wajib senantiasa diingat struktur lahiriah akan rapuh dan kehilangan makna, bilamana tidak ditopang kualitas internal mumpuni. Kewibawaan yang terpancar dari seorang hakim, haruslah kewibawaan autentik dan bukan artifisial yang dibangun dari simbol-simbol kekuasaan semata.
Sosoknya wajib bersumber dari kedalaman ilmu pengetahuan, kematangan profesional dan yang terpenting keluhuran budi pekerti, serta integritas moral yang tidak dapat dipisahkan, karena tanpa fondasi dimaksud, struktur jabatan hakim dapat tergelincir menjadi alat kekuasaan yang menindas, bukan sebagai instrumen keadilan yang mengayomi. Maka, refleksi terus-menerus dan sikap mawas diri, terhadap bagaimana kita menampilkan serta memanfaatkan dimensi struktur ini, dalam koridor etika dan hukum menjadi sebuah keharusan agar marwah profesi tetap terjaga.
Dalam pergaulan sosial di luar kedinasan, dimensi struktur tetap melekat pada diri hakim. Masyarakat akan selalu melihat dan menilai perilaku seorang hakim, termasuk dalam interaksi yang paling informal sekalipun. Kode Etik, secara bijaksana mengatur bagaimana hakim seharusnya menjaga sikap dan perilakunya di tengah masyarakat, menghindari tempat-tempat atau kegiatan yang dapat merendahkan martabat profesi, serta menjaga jarak yang pantas dalam hubungan dengan pihak-pihak yang berpotensi memiliki konflik kepentingan.
Semua hal ini, bagian dari upaya memastikan struktur formal jabatan hakim tidak tercemari perilaku-perilaku yang dapat menimbulkan keraguan terhadap independensi dan imparsialitasnya.
Menjadi hakim bukan hanya integritas pribadi, tetapi bagaimana menjaga wibawa institusi melalui setiap gerak geriknya. Dimensi struktur, tentang bagaimana seorang hakim secara sadar dan bertanggung jawab mengelola panggung, tempat Hakim memainkan peran sentral sebagai penegak keadilan. Dirinya mencakup setiap elemen formal dan simbolik dari jabatannya digunakan untuk memperkuat, bukan melemahkan kepercayaan publik terhadap proses peradilan.
Pemahaman utuh terhadap dimensi ini, akan menuntun seorang hakim untuk tidak sekadar terlihat berwibawa, tetapi sungguh-sungguh menjadi sosok yang layak menyandang kehormatan dan keluhuran martabat, sebagai wakil Tuhan dalam memutuskan perkara di dunia.
Dimensi Sub Struktur Membangun Kapasitas Intelektual dan Profesionalisme Hakim yang Unggul
Beranjak dimensi struktur yang bersifat lahiriah, selanjutnya perlu menyelami lapisan kedua yang menjadi penopang esensial bagi Hakim, yaitu dimensi sub struktur. Inilah ranah kapasitas intelektual, gudang ilmu pengetahuan hukum, serta arena keterampilan profesional ditempa dan diasah, sehingga mencapai tingkat kemahiran paripurna. Jika dimensi struktur, bagaimana seorang hakim tampil dan berada secara formal, maka dimensi sub struktur yakni pengetahuan, pemahaman dan kemampuan Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya.
Tanpa sub struktur yang kokoh, terawat, dan terus dikembangkan, seorang Hakim akan kesulitan menghadapi kompleksitas perkara dan putusan yang dilahirkannya berisiko kehilangan bobot intelektual, serta akurasi yuridis. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dalam berbagai prinsipnya, secara implisit atau eksplisit menuntut adanya sub struktur yang unggul.
Adagium ius curia novit, bukan sekadar peribahasa, melainkan keharusan struktural yang menjadi titik tolak seluruh proses peradilan. Fondasi sub struktur hakim adalah penguasaan ilmu hukum yang mendalam dan aktual. Penguasaan ini, bukan hanya sebatas pengetahuan tekstual atas pasal-pasal undang-undang, melainkan pemahaman holistik terhadap asas-asas hukum, teori-teori hukum, sejarah pembentukan norma, serta perkembangan yurisprudensi dan doktrin para ahli. Seorang hakim wajib menjadi jurisprudent dalam arti sesungguhnya dan cendekiawan hukum yang mampu melakukan penalaran hukum (legal reasoning) secara canggih, logis, serta sistematis.
Hakim dituntut untuk terus menjadi pembelajar abadi dan membuka diri terhadap khazanah ilmu pengetahuan baru, serta tidak pernah merasa puas dengan yang telah dikuasainya. Prinsip bersikap profesional dalam Kode Etik, di mana menuntut hakim untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, serta keterampilan. Hal mana merupakan panggilan langsung membangun sub struktur tanpa henti.
Kemampuan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan dalam batas tertentu penciptaan hukum (rechtschepping), melalui interpretasi progresif, serta berorientasi pada keadilan, dimana merupakan salah satu tolok ukur kematangan sub struktur seorang hakim.
Dalam menghadapi situasi undang-undang tidak jelas, atau tidak relevan dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat, seorang hakim yang memiliki sub struktur kuat, akan dapat merumuskan suatu solusi hukum yang inovatif dan bijak, namun tetap berpijak pada koridor metodologi hukum yang benar. Hakim tersebut, tidak terjebak dalam positivisme legalistik sempit, melainkan mampu menghirup jiwa hukum dan menerjemahkannya ke dalam putusan yang hidup, serta responsif atas kebutuhan zaman.
Selain penguasaan hukum materiil, kemahiran dalam hukum acara (hukum formil), juga merupakan pilar penting dalam sub struktur. Hukum acara adalah seni beracara, panduan formal yang memastikan proses pencarian keadilan berjalan secara tertib, adil (fair trial), dan efisien. Seorang hakim wajib menguasai seluk beluk hukum acara, mulai dari pemeriksaan kelengkapan formal gugatan, memimpin jalannya pembuktian, hingga perumusan amar putusan.
Kemampuan berdisiplin tinggi dalam menerapkan hukum acara secara konsisten, serta berperilaku adil dalam memberikan kesempatan sama kepada para pihak untuk didengar (audi et alteram partem), cerminan dari sub struktur yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi matang dan prosedural. Upaya mewujudkan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan juga sangat bergantung pada efektivitas dan efisiensi sub struktur hakim dalam mengelola perkara.
Keterampilan menyusun pertimbangan hukum (ratio decidendi) dalam sebuah putusan adalah etalase utama dari kualitas sub struktur seorang hakim. Pertimbangan hukum komprehensif, argumentatif, dan mudah dipahami tidak hanya penting bagi para pihak berperkara, tetapi bagi pengembangan ilmu hukum dan pembentukan yurisprudensi.
Setiap putusan sebuah rekaman dari proses berpikir yuridis seorang hakim dan kualitas rekaman tersebut, sangat ditentukan kedalaman dan keluasan sub struktur pengetahuannya. Sebagaimana ditegaskan Pembukaan Kode Etik, "kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi". Dengan demikian, penegasan sub struktur intelektual memiliki kontribusi langsung terhadap marwah dan kehormatan profesi.
Dimensi sub struktur, juga ditempa dan diperkaya melalui pengalaman praktis menangani beragam jenis perkara. Setiap kasus yang dihadapi, dengan segala kompleksitas fakta dan argumen hukumnya, merupakan laboratorium bagi hakim untuk menguji dan mengasah kemampuannya. Diskusi dengan sesama hakim, partisipasi dalam forum-forum ilmiah, serta kemauan merefleksikan setiap putusan yang telah dibuat, adalah cara-cara efektif untuk terus meningkatkan kualitas sub struktur.
Kemampuan berperilaku arif dan bijaksana, acapkali sintesis antara penguasaan teoritis mendalam, dengan pemahaman kontekstual yang diperoleh dari pengalaman. Kearifan memungkinkan hakim melihat melampaui teks hukum dan menangkap nuansa keadilan yang tersirat. Sementara, kebijaksanaan membimbingnya mengambil keputusan paling tepat dan membawa kemaslahatan dalam situasi konkret.
Namun, penting diingat sub struktur, dengan segala kecanggihan intelektual dan profesionalismenya, haruslah menjadi abdi bagi kebenaran dan keadilan, bukan sebaliknya. Tanpa kendali moral dan spiritual inner structure, sub struktur hebat bisa menjadi alat berbahaya, yang digunakan memutarbalikkan fakta atau melegitimasi ketidakadilan.
Maka, pengembangan sub struktur harus selalu berjalan seiring dengan pemurnian inner structure. Profesionalisme seorang hakim tidak hanya diukur dari seberapa banyak undang-undang yang dihafal atau seberapa lihai berargumentasi, tetapi seberapa besar komitmennya menggunakan seluruh kapasitas intelektualnya demi tegaknya hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.
Dalam konteks dunia modern yang terus berubah, sub struktur seorang hakim ditantang untuk mampu beradaptasi dengan isu-isu hukum baru, yang muncul akibat kemajuan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial. Isu-isu seperti hukum siber, perlindungan data pribadi, transaksi elektronik, hingga kejahatan transnasional, menuntut adanya sub struktur dinamis dan responsif.
Keterbukaan mempelajari bidang-bidang baru dan kemampuan menerapkan prinsip-prinsip hukum pada persoalan-persoalan kontemporer merupakan ciri hakim memiliki sub struktur, yang relevan dengan zamannya. Partisipasi aktif dalam komunitas ilmiah dan profesional, baik sebagai peserta atau kontributor pemikiran, menjaga sub struktur seorang Hakim tetap tajam dan berdaya guna.
Dimensi Inner Structure-Jantung Spiritualitas, Moralitas, dan Integritas Sang Pengadil
Inilah inti terdalam, sumber mata air dari segala kemuliaan dan kekuatan seorang hakim yakni dimensi inner structure. Hal tersebut, tempat bersemayamnya nilai-nilai fundamental, seperti kejujuran, integritas, keadilan, kerendahan hati, dan ketaqwaan kepada Sang Pencipta. Tanpa inner structure kokoh, tercerahkan, dan senantiasa terawat, hakim betapapun brilian otaknya atau agung jabatannya, akan seperti kapal tanpa nahkoda, mudah terombang-ambing badai godaan dan tekanan duniawi. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara keseluruhan adalah sebuah seruan membangun dan memelihara inner structure, karena dari sinilah perilaku etis sejati memancar.
Inner structure tentang kepekaan nurani dan kecerdasan moral, yang disebut dalam Pembukaan Kode Etik. Nurani seorang manusia merupakan kompas batiniah dan suara Tuhan yang berbisik di relung jiwa. Hal mana, membedakan hak dan batil, antara adil dan zalim. Mengasah kepekaan nurani berarti melatih diri senantiasa mendengarkan bisikan lembut dimaksud, bahkan di tengah hiruk-pikuk argumentasi hukum paling kompleks sekalipun.
Kecerdasan moral di sisi lain, kemampuan memahami, menghayati, dan menerapkan prinsip-prinsip etika dalam pengambilan keputusan dan perilaku sehari-hari. Bukan hanya soal tahu apa yang benar dan salah, tetapi juga memiliki kekuatan karakter untuk memilih yang benar meskipun sulit, dan menolak yang salah meskipun menggiurkan.
Dimensi inner structure menjadi benteng pertahanan terakhir hakim menghadapi berbagai cobaan profesi. Godaan materi, tekanan kekuasaan, bujukan pertemanan, atau ancaman, semuanya berusaha meruntuhkan integritas sang pengadil. Hanya hakim memiliki inner structure berakar kuat, berdasarkan nilai-nilai spiritual dan moral, akan mampu berdiri tegak dan tidak tergoyahkan.
Irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang terucap di setiap awal pembacaan putusan, sebuah pengingat konstan dimensi pertanggungjawaban tertinggi dimaksud. Hal dimaksud, ikrar setiap keputusan yang diambil tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, tetapi Mahkamah Ilahi. Hebatnya argumentasi hukum tanpa inner structure kuat, berisiko menjelma sebagai alat penindas. Ilmu tajam, logika presisi, dan wewenang besar, dapat berubah menjadi senjata menyakiti keadilan, bilamana tidak dikendalikan kejujuran, ketulusan, dan kesadaran hamba Tuhan.
Ketaqwaan terhadap Tuhan sebagaimana Kode Etik, merupakan fondasi utama seluruh prinsip perilaku hakim. Ketaqwaan bukanlah sekadar ritual ibadah formal, melainkan penghayatan kehadiran Tuhan di setiap aspek kehidupan, termasuk pelaksanaan tugas yudisial. Ketaqwaan berdasarkan rasa takut berbuat curang, malu berlaku tidak adil, dan tanggung jawab untuk berusaha menegakkan kebenaran.
Inner structure yang dipenuhi cahaya ketaqwaan, akan memancarkan kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan dalam setiap ucapan dan tindakan hakim. Maka, perjalanan hakim bagian jejak spiritual. Hal tersebut, proses terus menerus membersihkan hati, menjernihkan pikiran, dan mendekatkan diri kepada sumber segala keadilan.
Dalam kesendirian perenungannya, hakim diajak berdialog dengan nurani, mengevaluasi setiap langkahnya, dan memohon petunjuk, agar senantiasa berada di jalan yang lurus. Sebab, palu keadilan yang dipegangnya adalah amanah yang sangat berat, di mana hanya bisa diemban dengan baik oleh jiwa-jiwa tercerahkan cahaya inner structure luhur.
Tim penulis: Dr. Bony Daniel, S.H., M.H. (Hakim PN Serang) Muhammad Irfansyah, S.H. (Calon Hakim di PN Serang), Maghfiraa Larasati Erlanggaputri, S.H. (Calon Hakim di PN Serang)., dan Catur Noviantoris Yusuf Putra, S.H. (Calon Hakim di PN Serang)