Oleh: Mario Parakas (Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI, Asisten Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung RI)
Keterpenuhan aspek kapabilitas keilmuan dan integritas kepribadian adalah keniscayaan dalam sistem rekrutmen dan pendidikan Hakim, kedua aspek tersebut mutlak harus dijadikan tolok ukur penerimaan, pendidikan, dan pembinaan berkesinambungan bagi profesi hakim.
Hakim adalah penyangga pilar keadilan di muka bumi, ia tidak semata berkewajiban menegakkan hukum, melainkan juga harus mampu mengisikan ruh keadilan di setiap proses penegakan hukum yang ditanganinya.
Pondasi keluasan ilmu (hukum) tentunya adalah prasyarat yang dibutuhkan seorang Hakim untuk dapat senantiasa berlaku adil, dan integritas kepribadian luhur si pengadil menjadi penjamin atau penggenap tegaknya keadilan tersebut.
Prasyarat kepribadian luhur itulah yang coba diterjemahkan dengan instrumen Kode Etik Hakim Indonesia, yang juga berpijak pada The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Secara sederhana Kode etik Hakim tersebut, dapat dimaknai sebagai petunjuk (guidance) untuk menjadi pengadil (hakim) yang seutuhnya, yakni pengadil yang (senantiasa) “adil”.
Menjadi (senantiasa) adil di muka bumi adalah bukan perkara sederhana, tidak hanya sebatas keharusan memberikan putusan yang adil, tetapi pengadil juga harus memberikan rasa keadilan kepada pencari keadilan dalam setiap tahapan dan proses yang dijalankan pengadil.
Dalam proses sedemikian, pengadil harus mampu menumbuhkan kepercayaan kepada pencari keadilan tentang keadilan yang akan diberikannya. Keadilan dalam putusan yang diberikan tidak boleh tereduksi sedikitpun oleh keraguan atas proses peradilan sebelum penjatuhan putusan tersebut. Dalam rentang proses tersebut, pengadil harus benar-benar mampu menjaga dirinya, di dalam maupun di luar persidangan, untuk tetap terlihat terpercaya akan (senantiasa) menegakkan keadilan.
Dalam tataran itulah menjadi harus termafhumi bahwa hakim (pengadil) bukanlah an sich profesi, ia adalah officum nobile (profesi mulia), bukan profesi dengan sekedar limitasi jam kerja atau sebatas pemenuhan target kerja tertentu secara kuantitatif, kemuliaan yang melekat padanya harus terefleksikan dalam setiap detik kehidupan (masa tugas)-nya, kemuliaannya adalah seberat tanggungjawabnya, tanggung jawab untuk senantiasa adil dan menumbuhkan kepercayaan kepada pencari keadilan serta juga masyarakat tentang keniscayaan atas keadilan tersebut.
Keinsyafan atas hakekat tanggung jawab kemuliaan profesi hakim tersebut, membuat Sang Pengadil tidak lantas menjadi istimewa dan atau berlimpah prestasi, karena telah dianggap mampu selalu menghadirkan keadilan dan kemanfaatan hukum. Bukankah itu sudah merupakan definisi dan makna harfiah dari frasa “hakim/pengadil” itu sendiri?
Orientasi kemuliaan dalam profesi hakim haruslah termanifestasikan sebagai kemuliaan yang hakiki, yang bukan sepintas titel kemuliaan duniawi. Sehingga langkah menjadi pengadil haruslah berangkat dari renung kontemplatif tentang keikhlasan dalam nuansa keyakinan ketuhanan, yakni keikhlasan melepaskan diri dari sebagian sifat kodrati manusia.
Seorang pengadil dituntut mampu menekan atau bahkan mengeliminir dari dirinya hasrat atas popularitas, hasrat atas pengakuan eksistensi diri, hasrat atas nikmat keduniawian yang seluas-luasnya, lantas hidup dalam batasan yang lebih ketat di pergaulan lingkungan sosial, harus terbiasa dengan keterpenjaraan dalam standar etika dan kesopanan yang lebih tinggi, dan batasan-batasan lainnya, yang memang membuat insan pengadil mau tidak mau harus melepaskan sebagian sifat kodratinya sebagai manusia.
Niat dan pijakan awal yang benar dalam langkah mengabdikan diri sebagai pengadil niscaya akan melahirkan hakim/pengadil yang amanah, (senantiasa) berkeadilan dan tangguh, yang tak pudar oleh caci, serta tak larut dalam puja-puji.
Ujian terbesar seorang pengadil bukanlah sebatas pada bagaimana ia dapat mengadili perkara dengan benar dan seadil-adilnya, bukan pula sebatas pada bagaimana memenangkan pertarungan inheren melawan hawa nafsu terkait segenap godaan atas imparsialitas. Melainkan, di atas segalanya adalah ujian bagaimana sang pengadil tetap harus mampu senantiasa menjaga dirinya dalam nuansa kebathinan dan keinsyafan tentang tanggung jawab rohaniahnya sebagai pengemban tugas penegak keadilan di muka bumi.
Keinsyafan yang akan (harus) berbanding lurus dengan sikap rendah hati dan tawadhu, mendorong pada kesibukan yang an sich tentang perbaikan (pertaubatan) diri dan introspeksi.
Demikian beratnya amanah seorang pengadil di muka bumi, padahal bagi kita insan yang ber-ketuhanan, kehidupan di muka bumi ini hanyalah sepintas lalu, dan kita berkeyakinan akan adanya kehidupan kekal kelak, yang atasnya maka sebenarnya menjadi pengadil di muka bumi adalah jelas sebuah “pertaruhan” atau “perniagaan” besar.
Tak mengherankan apabila kita mendengar di waktu silam, seorang Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah) yang dikenal sebagai alim ulama besar yang bijak bestari dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya tentang amanah dan keadilan yang akan diberikannya, ternyata lebih memilih dicambuk dan kemudian dipenjara daripada menerima tawaran (perintah) untuk menjadi qadli (hakim) di Kufah.
Catatan ringan ini tidak bermaksud menyurutkan langkah Bapak Ibu Calon Hakim Mahkamah Agung RI yang dalam waktu dekat akan dilantik dan diangkat sumpah pengabdiannya dalam profesi hakim. Justru sebaliknya, catatan ini adalah bentuk harapan dan optimisme yang semoga mampu turut mengiringi langkah besar Bapak Ibu Hakim Muda Indonesia untuk merengkuh dan menegakkan kemuliaan sebagai pilar penopang keadilan di bumi Indonesia.
Semoga Bapak Ibu adalah insan-insan pengadil yang berorientasi pada kemuliaan hakiki, insan pengadil yang (senantiasa) mampu adil, menjalani dan mengemban amanah dengan kesalihan, hingga mampu memenangkan perniagaan besar di muka bumi demi kemuliaan di akhirat kelak.
Wallahu a’lam bish-shawabi.