Publikasi Putusan Pengadilan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 195 KUHAP, dan Pasal 26 ayat (7) Perma 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, mewajibkan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan memublikasikannya pada Sistem Informasi Pengadilan (SIP) pada hari yang sama dengan pengucapan putusan.
Putusan pengadilan dalam arti luas meliputi putusan dan penetapan, yaitu pernyataan hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dihasilkan dari prosedur acara pemeriksaan persidangan dan memuat pertimbangan hukum berdasarkan alasan dan dasar hukum.
Putusan pengadilan yang dihasilkan dapat berupa dokumen elektronik maupun dokumen cetak di mana keduanya menurut SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Layanan Informasi Publik di Pengadilan jo. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, adalah informasi yang wajib disediakan setiap saat oleh pengadilan.
Pertemuan antara keterbukaan informasi publik dengan perkembangan teknologi informasi terlihat dari lahirnya platform digital Direktori Putusan. Di mana, melalui platform itu, masyarakat dengan mudah mengunduh dokumen putusan pengadilan dari seluruh Indonesia.
Pada satu sisi hal tersebut adalah suatu kemajuan berupa kemudahan akses dan pendidikan hukum bagi masyarakat. Namun, di sisi lain berpeluang besar terjadinya pelanggaran privasi karena identitas entitas yang termuat di dalamnya dapat diidentifikasi ulang. Baik menggunakan pengenal langsung (direct identifier) seperti nama, alamat, tempat, tanggal lahir maupun pengenal tidak langsung (indirect identifiers) seperti profesi, gelar akademik, data kesehatan, perusahaan dan lainnya.
Bayangkan, dengan adanya bantuan teknologi katakanlah seperti Named Entity Regognision (NER), memungkinkan dalam waktu sangat singkat, masyarakat dapat mengumpulkan informasi penting dari dokumen putusan. Cara kerjanya dengan menandai kata-kata seperti orang, tempat/lokasi, waktu, kejadian dan lainnya.
Anonimisasi dan Uji Konsekuensi
Menurut tafsir otentik Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik juncto SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Layanan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi atas “Data Pribadi” dihubungkan dengan tafsir bahasa dari www.meriiam-webster.com pada 1625 dan KBBI, pada pokoknya anonimisasi merujuk pada pengaburan identitas diri suatu entitas hukum dari dokumen putusan.
Anonimisasi bukan satu-satunya cara untuk mengaburkan identitas. Beberapa negara di Uni Eropa menggunakan pseudonimisasi agar data putusan yang sudah dipublikasikan tidak rusak dan menghindarkan ketidakkonsistenan pengaburan data. Kelebihannya dibandingkan anonimisasi adalah dimungkinkannya data putusan untuk dikembalikan seperti semula. Pseudonimisasi menggunakan metode berbasis pengenalan entitas untuk mengklasifikasikan, menutupi, atau menggeneralisasi pengidentifikasi langsung.
Sementara di Indonesia, publikasi putusan melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) disediakan dalam dua versi dokumen, yakni berupa putusan berbentuk e-doc biasa dan e-doc anonimisasi. Di mana, putusan yang sudah dianonimisasi tersebut akan diteruskan ke direktori putusan mahkamah agung sehingga masyarakat luas hanya dapat mengunduh e-doc versi anonimisasi tanpa menghilangkan putusan versi lengkapnya yang tersimpan di pangkalan data Mahkamah Agung.
Di Indonesia, selain anonimisasi dikenal pula istilah uji konsekuensi yakni pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan secara saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dengan demikian badan publik, melalui PPID, sebagai pengambil keputusan publik yang mempertimbangkan perlindungan privasi dan kepentingan publik berdasarkan urutan prioritas apabila keduanya saling berbenturan.
Pengujian konsekuensi memastikan apakah pemberian informasi akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang seperti melanggar kepentingan pertahanan dan keamanan negara, persaingan tidak sehat, kepentingan umum lainnya. Pengecualian informasi dalam suatu dokumen (putusan/penetapan) bukan berarti menjadikan dokumen tersebut seutuhnya tidak dapat dibuka dan diberikan kepada publik (lihat Pasal l 50 Ayat (2) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik).
Lain halnya dengan anonimisasi putusan yang dilakukan oleh hakim atau panitera sidang sebelum dokumen putusan diunggah ke SIPP/e-court/e-berpadu, uji konsekuensi dilakukan oleh PPID dengan tujuan untuk menganalisis risiko dan manfaat informasi sebelum informasi tersebut disajikan kepada masyarakat maupun saat ada permohonan informasi oleh masyarakat. Dari hasil uji konsekuensi, pengadilan dapat saja menolak permohonan dokumen informasi (putusan/penetapan) yang dimintakan oleh masyarakat. Lalu terhadap masyarakat diberikan ruang untuk mengajukan keberatan.
Perkara yang putusan/penetapannya harus anonimisasi didasarkan pada kriteria perlindungan yang hendak diberikan sebagai berikut:
1. Perlindungan privasi atas perkara bermuatan kesusilaan dan dalam perkara lingkup domestik, sebagai berikut:
a. Pasal 10 huruf c Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
b. Pasal 68 Ayat (2) dan 80 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
c. Pasal 46 dan Pasal 8 huruf a UU KDRT;
d. Pasal 68 Ayat (2) dan 80 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2. Perlindungan terhadap identitas Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) baik sebagai pelaku, korban ataupun saksi:
a. Pasal 10 huruf c Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
b. Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
d. Pasal 59 Ayat (2) huruf b juncto Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
3. Perlindungan terhadap proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf i juncto Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur bahwa Saksi dan Korban berhak dirahasiakan identitasnya dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK;
4. Perlindungan terhadap pihak-pihak/yang berkaitan dalam tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) sebagai berikut:
a. Pasal 44 Ayat (1) dan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
b. Pasal 61 Undang -Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
5. Perlindungan terhadap Ketertiban Umum dan Keselamatan Negara sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 70 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
b. Pasal 141 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Ditjen Badilum melalui Surat Nomor 352/DJU/HM02.3/3/2021 tanggal 10 Maret 2021 perihal Akurasi dan Pengendalian Mutu Data SIPP sebagaimana telah diperbarui dengan Surat Keputusan Dirjen Badilum Nomor 100/DJU/TI1.1.1/I/2025 tanggal 21 Januari 2025 perihal Akurasi dan Pengendalian Mutu Data SIPP dengan lampiran Pedoman Pengaburan Informasi (Anonimisasi) pada Perkara Secara Elektronik di Pengadilan dengan penambahan jenis informasi yang dianonimisasi yakni:
a. Data Pribadi berupa NIK
b. Mengaburkan identitas hakim, panitera sidang, JPU, Penyidik, saksi dan ahli dalam perkara terorisme;
c. Identitas Anak Berhadapan dengan Hukum;
d. Gambar terkait kesusilaan;
e. Identitas pihak yang dikaburkan: nama dan alias, NIK / parpor, pekerjaan, tempat dan identitas kepegawaian yang bersangkutan, sekolah atau lembaga pendidikan yang diikuti;
f. Nomor dokumen bukti surat;
Penutup
Kelalaian dalam anonimisasi putusan ataupun pengaburan putusan melalui uji konsekuensi dapat mengakibatkan pejabat dimaksud dipandang melakukan tindakan tidak profesional (unprofessional conduct).
Pesatnya perkembangan teknologi informasi, perlu menjadi bahan pertimbangan untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam mengaburkan atau menghitamkan informasi yang ada di dalam putusan/penetapan pengadilan. Fungsinya untuk meminimalisir human error dengan tetap mempertahankan konsistensi data.
Di antara teknik yang dikenal seperti pengacakan (shuffling), pertukaran nilai (tokenization), generalisasi (generalization) dan enkripsi (encryption) dapat menjadi bahan pertimbangan.
Oleh karena entitas hukum ternyata dapat diidentifikasi dengan cara mengkombinasikan beberapa informasi berupa direct identifier dan indirect identifier, maka sebaiknya anonimisasi putusan tidak sekedar pada nomor perkara, nomor surat dan identitas umum (penegak hukum maupun pihak-pihak terkait) tetapi termasuk juga identitas spesifik sebagaimana diklasifikasikan dalam UU Perlindungan Data Pribadi yang diantaranya meliputi informasi kesehatan, biometrik, genetika, catatan kejahatan, data anak, keuangan pribadi dan data lainnya.