Pengawasan Terbalik untuk Mencegah Penyalahgunaan Wewenang

Pengawasan tanpa kualifikasi/pembedaaan antara atasan dan bawahan akan menghapus faksi-faksi perselisihan standar moral dalam berorganisasi sehingga tidak ada lagi protes atau riak-riak yang mempersoalkan sosok pelanggar etikanya.
Ilustrasi pengawasan organisasi. Foto pixabay.com
Ilustrasi pengawasan organisasi. Foto pixabay.com

Tulisan ini ingin menyimpulkan bahwa setiap atasan dapat melakukan penyalahgunaan wewenang apabila tidak ada kontrol dari bawahan. Semakin tidak terkontrol apa yang dilakukan atasan semakin besar potensi penyalahgunaan wewenang.

Tulisan ini mengafirmasi pendapat; pertama, M.T Oosterhagen menyatakan, setiap keputusan atau tindakan yang diambil oleh pihak otoritas harus memenuhi syarat logis dan sah (lawful). Kedua, Faucoult di dalam govermentality menyatakan, setiap atasan akan merumuskan berbagai strategi dan kontrol untuk mengatur populasi di bawahnya. Setiap atasan yang tidak dikontrol akan membatasi independensi bawahan karena hegemoni atasan semakin menguat.   

Gap Expectation 

Mengapa oknum atasan mudah melakukan pelanggaran kode etik dan berperilaku buruk? Karena mereka tidak diawasi oleh bawahannya. Seseorang yang memiliki kewenangan besar yang dianggap cakap dan lebih qualified dalam berbagai aspek namun fakta berbicara sebaliknya, seorang oknum atasan justru tergelincir melakukan perbuatan tercela karena gerak geriknya tidak diawasi.

Ironinya, para oknum atasan justru semakin tidak mau diawasi dengan berbagai dalih dan rasionalisasi sehingga mereka dapat melakukan tindakan apapun dengan dalih kebijakan dan mandat. Relasi kewenangan yang seharusnya dibangun di atas fondasi profesionalisme justru harus kalah saing dengan determinasi nafsu kekuasaan yang ujung-ujungnya organisasi dirugikan. Jika sudah demikian, kemana lagi kelas bawah akan berharap, entah sampai kapan oknum atasan terus melanggar atau memang hal itu yang sengaja diinginkan.

Kewenangan yang besar tanpa pengawasan dapat menimbulkan rezim tirani. Dirinya bebas berbuat sesukanya tanpa tersentuh sistem pengawasan sama sekali, karena menganggap dirinya super, paripurna bahkan menganggap dirinya “setengah malaikat” sehingga tidak butuh diawasi padahal kursi kekuasaannya berdasarkan mandat penunjukan atau pemilihan dari bawahannya.

Kejadian-kejadian yang memilukan yang melibatkan oknum petinggi organisasi, menandakan lemahnya pengawasan terhadap top struktural. Ini disebabkan karena bawahannya tidak berani melaporkan atasan, tidak disediakan mekanisme pengawasan sistematik serta mengakarnya budaya feodalistik yang memang dipeluk oleh bangsa ini. Alih-alih membuat saluran baru yang sistematis untuk mengawasi atasan malah semakin memperbanyak volume pengawasan untuk para bawahannya.

Piramida Terbalik

Tidak hanya atasan langsung, bawahan langsung pun mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengawasi gerak gerik atasannya. Apabila atasan terbukti melakukan kesalahan maka bawahannya pun harus ikut diperiksa. Kalau dahulu hanya atasan yang berwenang mengawasi bawahannya, ke depan bawahan juga berkewajiban untuk mengawasi atasannya.

Konsep pengawasan piramida terbalik mendudukan top struktural menjadi objek pengawasan dari semua bawahannya. Semakin tinggi jabatan seseorang di dalam organisasi maka semakin banyak yang mengawasinya. Kewenangan yang begitu besar harus diawasi secara ketat oleh sorotan mata bawahannya meskipun secara psikologis memang agak berat.

Bawahan relatif enggan, sungkan atau tidak mau ambil pusing untuk melaporkan atasan langsung dan yang lebih atas, karena takut mendapatkan retaliasi atau intimidasi yang akan berpengaruh terhadap nasib karirnya ke depan. Selain itu, atasan juga memiliki kewenangan dan resources yang begitu besar sehingga mudah mengetahui pelaku bawahan yang suka melaporkan dirinya meskipun ditutup rapat-rapat. 

Pengawasan tanpa kualifikasi/pembedaaan antara atasan dan bawahan akan menghapus faksi-faksi perselisihan standar moral dalam berorganisasi sehingga tidak ada lagi protes atau riak-riak yang mempersoalkan sosok pelanggar etikanya.

Menurut Aristoteles yang dikutif oleh B. Herry Priyono di dalam karya master piece-nya yang berjudul korupsi menyatakan, adanya protes dalam menyikapi pelanggaran etik disebabkan karena tidak adanya kesetaraan perlakuan antar orang.

Bawahan akan menuntut atasannya agar dihukum setimpal sebagaimana perlakuan terhadap dirinya. Demikian pula atasan akan berusaha mempertahankan ketidaksetaraan tatkala tidak mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Karena itu, pengawasan tanpa kualifikasi/syarat akan mampu mengawasi secara integral dan objektif tanpa pandang bulu.    

Terbangunnya pengawasan terbalik mengingatkan kita akan pentingnya relasi yang berimbang antara atasan dan bawahan demi mewujudkan pengawasan tanpa kualifikasi. Di dalam konteks pengawasan, atasan dan bawahan memiliki kedudukan yang setara karena mengacu pada standar moral yang sama.

Perbuatan suap yang dilakukan oknum atasan maupun oknum bawahan sama-sama menciderai standar moral dan termasuk kategori perbuatan tercela sehingga bertentangan nalar sehat apabila bawahan melanggar kode etik disanksi sedangkan atasan yang melanggar kode etik tidak disanksi. 

Utilitas Publica

Pendulum pengawasan ke sisi bawahan maupun ke sisi atasan dalam rekatan moral yang sama akan memperkuat integritas organisasi secara berkelindan. Seluruh relasi kekuasaan tidak ada ruang kosong yang terbebas dari sistem pengawasan, dengan harapan mereka berpikir dua kali untuk menabrak prinsip etik.

Pengawasan terbalik memperbaiki tiga kategori kepentingan bersama (utilitas publica) yaitu, pelaku organisasi, pengendalian dampak dan mekanisme kerja.

Pertama, pelaku organisasi yang terdiri atasan maupun bawahan sama-sama masuk dalam ruang lingkup pengawasan yang terjahit dalam satu mekanisme pengawasan integratif. Pelaku organisasi semakin terjaga kode etiknya, mereka akan takut melakukan pelanggaran etik sehingga terbentuk mata rantai pengawasan.

Kedua, pengendalian citra buruk terhadap reputasi organisasi dapat dikendalikan dengan pengawasan terbalik. Semakin diawasi atasan melalui mekanisme yang sistematis maka semakin kecil keterjadian risiko di dalam organisasi.

Ketiga, pengawasan terbalik juga membentuk siklus bekerja lebih transparan dan akuntabel. Area gelap berubah menjadi terang benderang karena berbagai sorotan mata saling mengawasi.

Oleh karena itu, secara normatif perlu dibuat regulasi, standar operasional serta komponen penilaian dan pengawasan seperti apa yang tepat untuk mengawasi para atasan kita agar tidak menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya.