Semiologi di Pengadilan: Analisis Tanda dan Makna dalam Proses Peradilan

Pengadilan merupakan arena di mana berbagai sistem tanda berinteraksi dan dielaborasi untuk mengkonstruksi makna dan kebenaran hukum.
Ilustrasi ruang pengadilan. Foto pixabay.com
Ilustrasi ruang pengadilan. Foto pixabay.com

Semiologi sebagai ilmu tentang tanda dan simbol pada hakikatnya memainkan peran penting namun sering terabaikan dalam sistem peradilan. Di ruang pengadilan yang penuh formalitas, berbagai tanda diinterpretasikan, diperdebatkan, dan diputuskan maknanya dalam proses pencarian keadilan.

Pendahuluan

Semiologi atau ilmu tentang tanda dan sistem tanda dalam masyarakat, menawarkan perspektif yang berharga dalam memahami kompleksitas komunikasi dan representasi makna di berbagai bidang (Ferdinand de Saussure, 2011) termasuk pada sistem peradilan.

Pengadilan sebagai institusi yang berfungsi menegakkan keadilan, tidak hanya beroperasi pada tataran formal prosedur dan penerapan hukum, tetapi juga pada tingkat simbolik yang mendalam.

Di pengadilan, hampir semua elemen memiliki nilai semiotik. Mulai dari pakaian para penegak hukum dengan toga hitam melambangkan kewibawaan dan netralitas, seragam yang menandakan otoritas negara, hingga tata letak ruangan yang menempatkan hakim di posisi tertinggi sebagai simbol kekuasaan tertinggi dalam hierarki persidangan.

Dalam persidangan, bahasa tubuh terdakwa, ekspresi saksi, intonasi para advokat, semuanya menjadi tanda yang "dibaca" oleh hakim, pencari keadilan dan publik secara umum. Seorang terdakwa yang menunduk mungkin diinterpretasikan sebagai tanda penyesalan atau justru kebersalahan, sementara kontak mata yang tegas bisa dimaknai sebagai kejujuran atau malah kecongkakan.

Tulisan singkat ini mengeksplorasi bagaimana pendekatan semiologi dapat memberikan wawasan baru terhadap proses peradilan dan interpretasi hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Barthes, sistem tanda tidak hanya berfungsi pada tataran denotatif (makna harfiah), tetapi juga pada tingkat konotatif yang melibatkan asosiasi kultural dan ideologis (Roland Barthes, 1968). Dalam konteks hukum, pemahaman terhadap kedua tingkatan makna ini menjadi krusial untuk mencapai keadilan yang substantif.

Semiologi dalam Arsitektur, Ruang Fisik , dan Komunikasi di Pengadilan

Sejak lama pengadilan senantiasa dijadikan simbol kewibawaan hukum dan keadilan di setiap negara, berbagai kebijakan pun diterbitkan dalam rangka membangun prototipe gedung pengadilan yang mengarah pada makna tersebut. Hal tersebut jika dikaji berdasarkan simbolisme arsitektur, pengadilan pada dasarnya dirancang dengan penuh pertimbangan semiotik untuk mengkomunikasikan otoritas, ketidakberpihakan, dan keagungan hukum.

Mulford mengamati bahwa elemen-elemen seperti pilar klasik, tangga monumental, dan fasad batu yang masif berfungsi sebagai penanda visual yang menegaskan stabilitas dan permanensi sistem hukum (S. Mulford, 2018). Lokasi pengadilan yang sering berada di pusat kota juga merepresentasikan posisi sentral hukum dalam tatanan sosial.

Tata ruang dalam gedung pengadilan pun menggambarkan simbol yang mengomunikasikan hierarki dan pembagian peran secara eksplisit. Posisi hakim yang lebih tinggi, pemisahan area untuk jaksa dan penasihat hukum, serta pembatasan fisik antara para pihak yang berperkara dan pengunjung merupakan manifestasi visual dari struktur kekuasaan dalam sistem peradilan.

Resnik dan Curtis berpendapat, pengaturan spasial ini tidak hanya memfasilitasi fungsi praktis, tetapi juga memperkuat narasi tentang otoritas dan legitimasi kekuasaan yudisial (J. Resnik and D. Curtis, 2011)

Tidak hanya berkaitan dengan  makna dari arstitektur dan ruang fisik, di pengadilan sendiri sering tanpa kita sadari, hal tersebut dilengkapi dengan penggunaan komunikasi nonverbal dan performativitas di ruang pengadilan. Komunikasi nonverbal, termasuk ekspresi wajah, postur, dan gestur, pada dasarnya membentuk dimensi semiotik penting dalam proses peradilan.

Studi oleh Birdwhistell, menunjukkan bagaimana isyarat-isyarat halus dapat memengaruhi kredibilitas kesaksian dan persepsi terhadap karakter (Ray L. Birdwhistell, 1970). Dalam persidangan, hakim tidak hanya mengevaluasi konten verbal, tetapi juga membaca dan menafsirkan "teks" nonverbal yang ditampilkan oleh saksi, terdakwa, dan para pengacara.

Selain itu, ritual pengadilan seperti pengambilan sumpah, pembacaan putusan, dan palu hakim, merupakan tindakan performatif yang mendapatkan kekuatan hukumnya melalui konvensi semiotik. Austin dan Searle telah mendemonstrasikan bagaimana ucapan tertentu tidak hanya mendeskripsikan tetapi juga melakukan tindakan (J.L. Austin, 1969). Pendekatan semiologi membantu menganalisis bagaimana legitimasi dan otoritas dikonstruksi melalui repetisi ritual dan praktik performatif di pengadilan.

Semiologi dalam Penggunaan Bahasa Hukum dan Pembuktian di Pengadilan

Publik dan sebagian besar pemerhati hukum bahkan dari kalangan pengadilan sendiri, sering bertanya bahkan memberikan kritik tentang mengapa proses di pengadilan harus menggunakan peristilahan hukum yang jauh dari penggunaan bahasa sehari-hari hal yang dianggap justru menjauhkan hukum dari masyarakat tempat hukum itu diterapkan.

Wacana tersebut dari aspek pragmatik memang dapat dibenarkan namun jelas memiliki perbedaan yang signifikan jika dipandang dari aspek semiologi, karena sebenarnya bahasa hukum dari aspek semiologi memang sengaja dibentuk dengan sistem tanda yang kompleks dengan kosa kata, sintaksis, dan konvensi retoris tersendiri. Terminologi hukum yang teknis dan formula linguistik yang kaku tersebut berfungsi sebagai penanda yang membedakan wacana hukum dari komunikasi sehari-hari.

Maley berpendapat,  kekhususan bahasa ini tidak hanya berfungsi untuk ketepatan makna, tetapi juga sebagai mekanisme untuk mempertahankan otoritas dan eksklusivitas profesi hukum (Yon Maley, 1994).

Selain itu, bentuk-bentuk wacana hukum, seperti putusan pengadilan, dakwaan, pembelaan, dan sumpah pada hakikatnya memiliki struktur semiotik yang distinct.

Goodrich menyoroti bagaimana struktur argumen hukum mengikuti pola-pola tanda tertentu yang mencerminkan asumsi epistemologis dan ontologis dari sistem hukum (P. Goodrich, 1986), oleh karena itu analisis semiotik terhadap teks hukum penting untuk mengungkapkan bagaimana makna dibangun dan dilegitimasi melalui praktik diskursif tertentu.

Pada perkembangan pengadilan modern, penggunaan semiologi di pengadilan justru semakin dibutuhkan apalagi jika dikaitkan dengan penggunaan “bukti visual” yang hingga saat ini telah menghadirkan tantangan semiotik tersendiri. Hal tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi yang telah meningkatkan penggunaan bukti visual di pengadilan, seperti foto, video, dan rekonstruksi digital. Analisis semiologis pada praktiknya dapat membantu memahami bagaimana bukti visual ini "dibaca" dan diinterpretasikan oleh berbagai pihak dalam proses peradilan, karena pada dasarnya bukti visual tidak pernah netral secara semiotik, makna mereka selalu bergantung pada konteks budaya dan hukum tempat mereka ditampilkan.

Sontag misalnya, telah menjelaskan bahwa meskipun fotografi sering dianggap sebagai representasi objektif dari realitas, setiap gambar sesungguhnya merupakan hasil dari serangkaian pilihan teknis dan komposisional yang membentuk maknanya. Secara kontekstual, interpretasi terhadap bukti visual melibatkan analisis terhadap berbagai tingkat penandaan dari dokumentasi faktual hingga implikasi naratif yang dapat memengaruhi persepsi kesalahan atau ketidakbersalahan (S Sontag, 1977).

Kemajuan teknologi memungkinkan penggunaan rekonstruksi digital dan simulasi sebagai bukti di pengadilan. Feigenson dan Spiesel menganalisis bagaimana representasi visual ini berfungsi sebagai sistem tanda yang kompleks, dengan potensi persuasif yang tinggi namun juga risiko distorsi dan manipulasi (N.Feigenson and C. Spiesel, 2009) Pendekatan semiologi menawarkan kerangka untuk mengevaluasi validitas dan keterbatasan bukti-bukti semacam ini.

Implikasi untuk Praktik Hukum dan Reformasi Peradilan

Pemahaman terhadap mekanisme semiotik dapat memperkaya kompetensi profesional dalam bidang hukum. Jika dikaji dalam pandangan yang lebih luas, pendidikan hukum yang mengintegrasikan perspektif semiologi memungkinkan para praktisi untuk lebih peka terhadap nuansa makna dan lebih efektif dalam komunikasi hukum. Kesadaran semiotik juga dapat membantu hakim untuk mengidentifikasi dan meminimalisir bias interpretasi dalam evaluasi bukti dan kesaksian.

Pada akhirnya analisis kritis terhadap dimensi semiotik pengadilan membuka peluang untuk reformasi yang bertujuan meningkatkan aksesibilitas dan keadilan. Redesain arsitektur pengadilan, simplifikasi bahasa hukum, dan protokol yang lebih inklusif untuk presentasi bukti merupakan beberapa area di mana perspektif semiologi dapat berkontribusi terhadap reformasi sistem peradilan.

Simpulan

Pengadilan merupakan arena di mana berbagai sistem tanda berinteraksi dan dielaborasi untuk mengkonstruksi makna dan kebenaran hukum. Pendekatan semiologi memungkinkan analisis yang lebih dalam terhadap proses-proses tersebut, mengungkapkan bagaimana tanda-tanda verbal, visual, dan spasial membentuk pemahaman dan keputusan hukum. Implikasi dari analisis ini bersifat teoretis maupun praktis, menawarkan wawasan baru untuk studi sosio-legal sekaligus pedoman untuk reformasi sistem peradilan.

Pada akhirnya, pengakuan terhadap kompleksitas semiotik dalam konteks pengadilan tidak mengurangi objektivitas hukum, tetapi justru memperkuatnya dengan memberikan kerangka untuk memahami dan mengelola berbagai lapisan makna secara sadar dan kritis.

Sebagaimana dinyatakan oleh Robert Cover, "Hukum tidak hanya serangkaian perintah atau aturan yang menunggu penegakan, tetapi dunia di mana kita hidup."(Cover, 1983). Dunia tersebut, dari perspektif semiologi, adalah konstruksi dari jaringan tanda yang kompleks dan dinamis.