Refleksi Epikurean Normalisasi Kemiskinan

Kemiskinan sering dipahami melalui pendekatan empiris, yaitu sebagai masalah yang dapat diukur dengan angka pendapatan
REFLEKSI EPIKUREAN NORMALISASI KEMISKINAN
REFLEKSI EPIKUREAN NORMALISASI KEMISKINAN

“If the world were ruled by fate, we could not wrest volition away from fate. Epicurus dalam Epicurus on the Self” (Attila Németh)

Kemiskinan sering dipahami melalui pendekatan empiris, yaitu sebagai masalah yang dapat diukur dengan angka pendapatan. Namun, secara konseptual, kemiskinan adalah fenomena yang lebih kompleks dan abstrak, sehingga sulit didefinisikan secara mutlak. Ketidakjelasan ini menciptakan berbagai respons yang berbeda dari pemerintah dalam menghadapi isu tersebut. Pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang efektif di tengah ketidakpastian ini, sekaligus memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi tanpa mengabaikan kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

Secara historis, kemiskinan kemungkinan besar mulai dikenali sebagai fenomena sosial ketika manusia memasuki era pertanian di masa Holosen. Sebelum itu, kelompok manusia yang hidup sebagai pemburu dan peramu mungkin hanya menghadapi penderitaan akibat keterbatasan sumber daya, tetapi tidak mengenal kemiskinan sebagai sebuah konsep. Dengan berkembangnya sistem pertanian dan pola hidup menetap, masyarakat menjadi lebih terstruktur dan terbagi ke dalam hierarki sosial. Pada titik ini, perbedaan akses terhadap kebutuhan dasar, seperti kebutuhan primer, sekunder, dan tersier, mulai terlihat jelas. Dari perspektif filosofis, kemiskinan pun mulai dipisahkan dari penderitaan sebagai gagasan yang berdiri sendiri.

Pada tahun 2024, Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat ditetapkan sebesar Rp1.986.670 per bulan. Jika pekerja dengan pendapatan sesuai UMP ini menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga dengan lima anggota, pendapatan per kapita per bulan hanya sekitar Rp397.334, yang berada di bawah garis kemiskinan per kapita sebesar Rp550.458 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pekerja menerima upah sesuai ketentuan minimum, kondisi ekonomi keluarga besar tetap berpotensi berada di bawah garis kemiskinan.

Di tingkat global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan bahwa pada tahun 2030 akan ada sekitar 575 juta orang yang masih hidup dalam kemiskinan. Lansia diperkirakan menjadi kelompok yang paling terdampak, mencakup sekitar 23,2 persen dari total tersebut. Walaupun angka ini hanya sekitar tujuh persen dari populasi dunia yang mencapai delapan miliar, jumlahnya tetap signifikan. Sayangnya, pengukuran kemiskinan global sering kali berfokus pada indikator kuantitatif seperti pendapatan bulanan atau harian, tanpa mempertimbangkan aspek lain seperti kualitas hidup atau kebahagiaan individu. Pemahaman ini menunjukkan bahwa pendekatan terhadap kemiskinan tidak hanya membutuhkan data statistik, tetapi juga analisis multidimensi yang mencakup aspek kesejahteraan sosial dan emosional.

Antara Kemiskinan dan Kebahagiaan

Parameter kebahagiaan dapat menjadi alat penting untuk menganalisis ambiguitas kemiskinan, terutama karena keduanya memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Kebahagiaan tidak selalu ditentukan oleh aspek material semata, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti kesehatan, hubungan sosial, dan rasa puas terhadap kehidupan. Dalam konteks ini, menarik untuk melihat bagaimana seseorang dapat merasa bahagia meskipun berada dalam kondisi ekonomi yang dianggap miskin. World Happiness Report 2024 (WHR 2024), misalnya, mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat ke-80, jauh tertinggal dari Malaysia di peringkat ke-59

Bahaya terbesar dari ambiguitas dalam konsep kemiskinan adalah penerimaan kondisi tersebut sebagai sesuatu yang normal dan bahkan membahagiakan. Sikap pasrah semacam ini, yang sering kali dianggap sebagai kebajikan, memiliki akar budaya yang dalam, salah satunya dipengaruhi oleh pemikiran Epikurus, seorang filsuf Yunani dari abad ke-4 SM. Sebagai pengikut Aristoteles, Epikurus menekankan pentingnya pancaindra sebagai sumber pengetahuan, tetapi ia memperluas gagasan kebahagiaan dengan menyatakan bahwa kebahagiaan memiliki empat tingkatan: fisik-dinamis, fisik-statis, mental-dinamis, dan mental-statis.

Kemiskinan dan Perspektif Epikurean

Menurut Epikurus, kebahagiaan sejati tercapai ketika seseorang mencapai ketenangan pikiran yang disebut ataraksia, yaitu keadaan damai yang bebas dari gangguan mental. Inti dari kebahagiaan ini adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari godaan kesenangan jangka pendek, karena pengejaran terhadap kenikmatan sesaat justru menjadi akar penderitaan. Pengkaji Epikurus, John Sellars, dalam bukunya The Pocket Epicurean, menekankan pentingnya fokus pada kehidupan mental internal dibandingkan kenikmatan fisik yang sering dikaitkan dengan hedonisme modern. Ia menyebutkan, “It’s the inner working of our mental lives that ought to be the main focus of our attention, not the superficial physical pleasures that people associate with hedonism today.” Dengan kata lain, kebahagiaan mental-statis, atau kemampuan menerima kondisi yang ada, adalah inti dari kebahagiaan menurut Epikurus.

Sikap mental semacam ini, di mana seseorang menerima keadaan apa adanya, memang menunjukkan kedewasaan dan ketenangan rohani. Namun, dalam konteks kebijakan publik, penerimaan terhadap kondisi marjinal sebagai bentuk kebahagiaan tertinggi dapat memiliki dampak negatif. Sikap ini berpotensi menjadi alat bagi pemerintah untuk mengabaikan tanggung jawab memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Contohnya, sikap pasrah terhadap tingginya harga bahan pokok, buruknya kualitas infrastruktur, atau pendidikan yang stagnan sering dianggap lumrah dan tidak memicu prioritas untuk perubahan.

Dalam pandangan Epikurus, kemiskinan bersifat relatif. Seseorang yang merasa cukup dengan makan tempe dan tahu bacem sekali sehari mungkin merasa bahagia, tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keakuratan indikator kuantitatif seperti pendapatan dalam mengukur tingkat kemiskinan. Namun, kesenjangan antara persepsi individual yang puas dengan keadaan dan standar ilmiah berbasis data, seperti angka kecukupan gizi menurut World Health Organization (WHO), mengungkapkan masalah mendasar.

Ataraksia dan Kemiskinan

Pemerintah tidak boleh menggunakan sikap pasrah masyarakat sebagai alasan untuk menunda kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas hidup. Terlepas dari penerimaan individu terhadap kondisi mereka, kewajiban negara adalah memastikan standar hidup yang layak bagi seluruh warga, sesuai dengan ukuran-ukuran obyektif yang dapat mendorong kesejahteraan bersama.

Pemerintah idealnya mengadopsi pola pikir Epikurean, dengan menjadikan kebahagiaan jangka panjang rakyat sebagai fokus utama. Upaya perbaikan, seperti pemenuhan gizi, akses terhadap pendidikan bermutu, dan pembangunan infrastruktur yang memadai, harus dilihat sebagai langkah strategis untuk mencapai kebahagiaan berkelanjutan, bukan sekadar pemenuhan standar minimum. Sikap menerima kondisi saat ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga perlu diwujudkan oleh pemerintah melalui kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.

Ataraksia pada hakikatnya dapat diperluas ke tingkat nasional. Indikator kebahagiaan suatu negara, seperti harapan masyarakat terhadap masa depan, tingkat korupsi, kebebasan memilih jalan hidup, kesehatan, dukungan sosial, dan kemurahan hati, sebagaimana ditunjukkan dalam World Happiness Report 2024, memberikan dasar yang kuat untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan negara dalam menangani kemiskinan.

Namun, persoalan kemiskinan menjadi rumit ketika konsep ini dipadukan dengan kebahagiaan yang lahir dari sikap pasrah. Walaupun beberapa individu mungkin merasa cukup dengan kondisi yang ada, negara tetap memiliki tanggung jawab untuk menyediakan peluang hidup yang lebih baik. Standar hidup masyarakat yang jauh di bawah standar global menunjukkan adanya risiko bahwa pemerintah menunda langkah nyata untuk meningkatkan kualitas hidup warganya secara sistemik.

Jika pemerintah hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar tanpa memperhitungkan dimensi kebahagiaan yang lebih menyeluruh, kemiskinan struktural akan tetap menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Untuk benar-benar mencapai kemajuan, negara harus menyusun kebijakan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan mendasar, tetapi juga mendorong terciptanya kebahagiaan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews