Aksesi OECD dan Kesetaraan Gender Berbasis Kompetensi

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah sebuah organisasi internasional yang terdiri dari negara-negara dengan ekonomi maju dan berkembang
Aksesi OECD dan Kesetaraan Gender Berbasis Kompetensi
Aksesi OECD dan Kesetaraan Gender Berbasis Kompetensi

“In a well-ordered society […] the distribution of material means is left to take care of itself in accordance with pure procedural justice regulated by just background institutions which narrow the range of inequalities so that excusable envy does not arise.” – John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah sebuah organisasi internasional yang terdiri dari negara-negara dengan ekonomi maju dan berkembang, yang bekerja sama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan kesejahteraan global yang didirikan pada tahun 1961, dan bertujuan untuk memfasilitasi koordinasi kebijakan ekonomi, meningkatkan standar hidup, serta mendorong stabilitas keuangan di antara negara-negara anggotanya. Organisasi ini juga berperan dalam memberikan analisis, rekomendasi, dan pedoman kebijakan dalam berbagai isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di tahun 2023 Indonesia menjadi negara yang memohon keanggotaan OECD, dan di tahun 2024 bersama dengan Argentina, Brazil, Bulgaria, Kroasia, Peru, dan Romania, resmi menjadi negara aksesi yang diperhitungkan untuk menjadi anggota organisasi tersebut.

Menjadi anggota OECD bagi beberapa negara menjadi picu untuk maju. Berdasarkan keterangan dari www.ekon.go.id, Kosta Rika, Kolombia, dan Chile mengalami perbaikan indikator setelah keanggotaan mereka diterima. Defisit anggaran Kosta Rika berhasil ditekan ke lima persen dari PDB mereka. Kolombia mengalami reformasi BUMN yang sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi. PDB dan investasi asing langsung Chile mengalami peningkatan pasca insepsi. Peningkatan signifikan ini didukung oleh 242 instrumen penilaian yang harus diadopsi oleh calon anggota OECD lewat penilaian 26 komite. Dengan masa tunggu aksesi bervariasi (sekitar 3 sampai 7 tahun), negara-negara yang hendak naik ke jajaran ini harus menyesuaikan diri dengan standar negara maju dan lepas dari jebakan negara kelas menengah (middle income trap).

Negara-negara OECD (38 anggota) berdasarkan data di laman OECD secara umum memiliki kinerja tinggi. Untuk inflasi, misalnya, angka rata-rata berada di kisaran 5,4 persen per Juli 2024, yang mengindikasikan tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap performa ekonomi, ditambah dengan stabilnya angka pengangguran di 5% pada bulan yang sama serta peningkatan PDB sebesar 0,5% di triwulan kedua 2024. Indonesia membutuhkan kepercayaan bulat semacam ini untuk menjamin serapan bonus demografi untuk dioptimalkan menjadi pijakan menuju negara maju. Berdasarkan data dari BPS tentang Proyeksi Penduduk Indonesia dari hasil SUPAS 2015-2045, celah peluang Indonesia dimulai di 2011 dan tertutup di 2041, yang dimotori oleh penduduk usia produktif sebesar 68,7%. Untuk mengelola potensi ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kompeten menjadi unsur yang penting dan genting.

Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara, ada lebih dari 4,7 juta ASN dengan komposisi pria dan wanita 43 berbanding 57 persen. Sebagian besar (70%) bekerja sebagai tenaga fungsional sebagai dosen, guru, tenaga medis dan teknis; mayoritas (78%) bekerja di instansi daerah. Secara gender, persentase ASN perempuan berkaitan dengan dokumen yang berbicara tentang kesetaraan (OECD, Recommendation of the Council on Gender Equality in Public Life, OECD/LEGAL/0418). Berkaitan dengan itu, kita dapat mempertanyakan relevansi antara komposisi dengan maksud yang tersirat di dalam rekomendasi tersebut.

Sebuah Catatan untuk Ketimpangan

Dalam rekomendasinya tentang kesetaraan gender yang menjadi instrumen penilaian, dokumen 0418 tersebut mengacu pada kesepakatan dari pertemuan para menteri OECD pada 7-8 Juni 2017. Dalam rangkuman besarnya, dikatakan bahwa “significant gender disparities and biases nevertheless remain in educational and occupational choices; earning levels and working conditions; career progression; representation in decision-making positions; in public life; in the uptake of paid and unpaid work; in entrepreneurial activities; in access to finance for entrepreneurs; and in financial literacy and financial empowerment”. Catatan ini mengacu pada temuan tahun 2013. Tiga tahun setelahnya, laporan OECD mencatat bahwa “In 2016, women held only 28.7% of seats in lower houses of Parliament on average across the OECD. While women make up 55% of all judges (according to available national data), their presence decreases when moving up the judicial hierarchy. In the private sector in 2016, women occupied 20% of board seats of publicly listed companies and only 4.8% of chief executive officer positions.”

Dengan kata lain, dokumen tahun 2024 tersebut masih memberi penekanan tentang disparitas gender dalam masyarakat. Masalah terbesar dari ketimpangan ini adalah tentang keadilan dalam pendapatan kesempatan. Perempuan cenderung untuk mendapatkan pendapatan lebih rendah dan kesempatan lebih sedikit untuk maju. Catatan tambahan lainnya dari laporan pertemuan tingkat menteri tersebut: “Girls do better in reading and boys continue to do better in mathematics, on average, in PISA testing, but in recent years most OECD countries have recorded a narrowing of gender gaps in PISA scores.” Ini berarti tidak ada alasan untuk mengabaikan jurang pemisah berbasis gender. Indonesia sebagai kandidat aksesi OECD tidak dapat berkelit dari tuntutan.

Pada tahun 2023, data BPS menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam pendidikan sudah mulai berimbang, dengan Tingkat Partisipasi Kasar (TPK) pendidikan tinggi perempuan mencapai 30,4%, sedikit di bawah laki-laki yang berada di angka 31,6%. Namun, kesenjangan masih terlihat jelas dalam partisipasi angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya mencapai 54,5%, jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki yang berada di angka 82,5%, yang menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan tidak terlibat dalam angkatan kerja dibandingkan laki-laki. Selain itu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan juga lebih tinggi, yakni 5,9%, sedangkan laki-laki hanya 5,5%. Angka-angka ini, meskipun demikian, masih jauh lebih baik dari tudingan yang diberikan OECD.

Perspektif Rawls tentang Ketimpangan Gender

John Rawls adalah filsuf Amerika yang berbicara banyak tentang teori keadilan yang ia gali dari pemikir besar lainnya, Immanuel Kant. Singkatnya, Rawls mendudukkan kembali Kant ke titik sentral perdebatan tentang fondasi dari keadilan. Secara umum Kant menegaskan bahwa ada dua pemahaman penting tentang keputusan etis. Pertama, yang ia sebut dengan imperatif hipotetis yang intinya menyatakan bahwa untuk mencapai sesuatu, seseorang akan mempergunakan rasionya untuk memfasilitasi instrumen-instrumen yang dibutuhkan. Kedua, Kant menyebutnya sebagai imperatif kategoris, yang intinya berbicara bahwa yang rasional akan selalu mencari cara untuk menjaga agar keputusan etis bisa menjadi sesuatu yang universal. Rawls mengelaborasi keputusan yang kedua ini. Menurut Rawls, yang paling rasional adalah saat keputusan etis dibuat untuk mereka yang paling kurang beruntung dalam hidupnya.

Fondasi keadilan semacam ini membuat teori keadilan yang diangkat Rawls dikenal dengan istilah “justice as fairness”. Sebagai ilustrasi, bila dua orang, A dan B, hendak memulai usaha, maka sikap pemerintah yang adil adalah dengan memberikan garis kesempatan yang sama. Bila A berasal dari keluarga menengah ke atas dan B berasal dari keluarga miskin, maka negara perlu memberi kesempatan pada B untuk memulai usaha dengan cara memberikan modal awal yang diperlukan. Di sini negara telah mengambil keputusan yang paling rasional. Seperti yang dikatakan Rawls dalam A Theory of Justice (7): “In this way the institutions of society favor certain starting places over others. These are especially deep inequalities. Not only are they pervasive, but they affect men’s initial chances in life; yet they cannot possibly be justified by an appeal to the notions of merit or desert.”

Dengan demikian, poin-poin utama tentang kesetaraan gender dalam dokumen 0418 tersebut selaras dengan pemikiran Rawls tentang keadilan dan kesetaraan. Dalam terang pemikiran Rawls, posisi otoritatif harus dapat diakses oleh semua orang terutama mereka yang tidak bisa bersaing karena berbagai latar belakang yang diwarisi generasi sebelumnya seperti kelainan genetik, diskriminasi ekonomi atau rasial. Selain itu, tuntutan untuk mengakhiri kesenjangan upah berbasis gender selaras dengan prinsip perbedaan Rawls yang mengizinkan ketidaksetaraan hanya jika hal itu menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung. Masalahnya, dengan menerapkan prinsip untuk membedakan, gender dianggap setara dengan penyakit atau kondisi ekonomi. Pemikiran Rawls tersebut setidaknya memiliki dua titik lemah.

Catatan Lanjut untuk Garis Pemikiran Rawls tentang Gender dalam Aksesi OECD

Dengan memperlakukan gender seperti kelainan fisik atau ketimpangan ekonomi, OECD dengan demikian mengabaikan perspektif kultural yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain. Dengan kata lain, tuntutan kuota keterwakilan direduksi hanya sebagai tuntutan keterwakilan fisik. Bila diacu pada tuntutan dalam dokumen OECD 0418: “Encourage greater role of parliaments and parliamentary committees to support progress in gender equality, for example, by integrating gender perspectives in parliamentary practices, legislation and budgets, by promoting legislative initiatives focusing on gender equality and by providing oversight of the implementation of gender equality and mainstreaming strategies and initiatives”, ini adalah sebuah upaya untuk mereduksi representasi politik dalam bentuk yang terlalu sederhana. Keterwakilan politik adalah persoalan agensi yang kompleks.

Masalah berikutnya yang muncul dari tuntutan kuota seperti yang diendors oleh OECD adalah kompetensi. Dalam semangatnya untuk mengatasi ketimpangan gender, lembaga ini seperti mengabaikan kompetensi sebagai prasyarat mendasar dari profesionalisme. Untuk bisa duduk di puncak pimpinan atau di lembaga legislatif atau eksekutif, yang lebih mendasar adalah persoalan kompetensi. Ekses dari prasyarat kuota adalah ketidaksiapan kompetensi yang pada akhirnya memicu ketidakstabilan. Pemikiran Rawls sebenarnya lebih tepat diterapkan dalam situasi anomali saat kandidat yang memiliki kompetensi digugurkan hanya karena persoalan gendernya. Adalah keliru untuk menginterpretasi prinsip pembedaan yang diperlukan (difference principle) sebagai menurunkan tuntutan kompetensi atas nama gender.

Aksesi Indonesia untuk menjadi anggota OECD tidak dengan sendirinya mencangkok semua instrumen penilaian yang diminta oleh organisasi itu ke dalam sistem politik, ekonomi, atau bisnis begitu saja. Solusinya yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia sebagai kandidat adalah dengan menunjukkan kinerja yang tidak ambigu yang memiliki dampak signifikan terhadap kualitas hidup warga negara Indonesia. Perlu diingat bahwa aksesi keanggotaan OECD dimulai dengan semangat untuk keluar dari jebakan negara kelas menengah, dengan indikator ekonomi, dan bukan kultural. Dengan kata lain, dari ratusan instrumen penilaian yang diterapkan oleh komite admisi, ada prioritas yang perlu dicermati dengan baik.

 

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews