Yurisprudensi MA RI: Gugatan Tanah Bersertifikat Tidak Mencantumkan Batas-Batas dalam Gugatan

Tidak diiuraikannya batas-batas tanah, juga menjadi preseden gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena obscuur libel.
Pengadilan Negeri Lembata melaksanakan kegiatan eksekusi  Putusan Perkara Perdata Nomor: 17/Pdt.G/2021/PN. Lbt, Jo. Nomor : 4/Pdt.Eks/2024/PN. Lbt. Foto pn-lembata.go.id
Pengadilan Negeri Lembata melaksanakan kegiatan eksekusi Putusan Perkara Perdata Nomor: 17/Pdt.G/2021/PN. Lbt, Jo. Nomor : 4/Pdt.Eks/2024/PN. Lbt. Foto pn-lembata.go.id

Secara historis, perlindungan terhadap kepemilikan tanah di Indonesia sudah berjalan sejak zaman kolonial. Pada 1870, kelompok politik liberal Belanda memenangkan pemilu nasional dan selanjutnya menghapuskan sistem tanah paksa (cultuur stelsel) yang menyengsarakan kaum bumiputera di Hindia Belanda (dahulu Indonesia), serta menggantinya dengan membentuk Agrarische Wet 1870 atau Undang-Undang Pertanahan yang lebih ramah terhadap bumiputera pemilik tanah. 

Dalam Agrarische Wet 1870 atau Undang-Undang Pertanahan Kolonial, mengatur beberapa hal penting antara lain mengakui kepemilikan rakyat bumiputera atas tanah, khususnya terhadap tanah persawahan, perkebunan dan ladang. Sedangkan untuk tanah perhutanan, dimiliki oleh negara.

Dengan adanya Agrarische Wet 1870, pemerintah kolonial juga menerbitkan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (hak milik) yang dapat menjadi agunan utang dan dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik tanah. Selain itu, bagi pemodal atau perusahaan swasta yang akan menggunakan tanah milik rakyat bumiputera dan negara, dapat menyewanya dengan diterbitkannya hak erpacht atau saat ini dikenal sebagai Hak Guna Usaha.

Untuk hak erpacht, pihak swasta dapat menyewa dari negara paling lama untuk 75 (tujuh puluh lima) tahun dan dari tanah milik bumiputera maksimal selama 30 (tiga puluh) tahun. 
Untuk melaksanakan Agrarische Wet 1870, Raja Belanda menerbitkan ketentuan pelaksana berupa Agrarische Besluit.

Dalam peraturan pelaksana tersebut, para pihak yang tidak dapat membuktikan kepemilikan tanah, maka tanahnya diambil alih negara dan menjadi kepunyaan negara. Pada awalnya ketentuan tersebut, berlaku di Pulau Jawa dan Madura. 

Setelah Indonesia merdeka, perlindungan kepemilikan atas tanah dilanjutkan melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraia (UU PA). Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Ayat 1 UU PA, hak atas tanah terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang sifatnya sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

Seseorang atau badan hukum, untuk membuktikan haknya atas sebidang tanah, melalui sertifikat hak atas tanah dan merupakan alat bukti yang kuat sebagaimana ketentuan Pasal 19 Huruf c UU PA. Terbitnya sertifikat hak atas tanah ditujukan untuk pemegang hak atas tanah. Agar dengan mudah membuktikan haknya sesuai penjelasan Pasal 31 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. 

Meskipun tanah telah bersertifikat dan dinyatakan pemegang haknya, tidak menutup peluang adanya sengketa. Para pihak yang mendalilkan sebagai pemilik hak atas tanah dimaksud, masih dapat mengajukan gugatan perdata atas kepemilikan objek tanah. Tidak sedikit, pihak mengajukan gugatan perdata yang objeknya tanah bersertifikat tidak mencantumkan batas-batas tanah tersebut.

Atas kondisi tersebut, penulis akan menguraikan mengenai pertimbangan Yurisprudensi MA RI mengenai gugatan tanah bersertifikat yang tidak menguraikan batas-batas tanah dalam gugatan. 

Kaidah Hukum Yurisprudensi MA RI tentang Gugatan Tanah Bersertifikat Tidak Cantumkan Batas Tanah Dalam Gugatan

Gugatan perdata wajib disusun secara cermat, terang dan jelas, sehingga tidak menimbulkan ketidakjelasan (obscuur libel) dalil yang disampaikan penggugat dalam surat gugatannya. Praktik persidangan perdata, untuk menyatakan suatu gugatan jelas atau tidak didasarkan ketentuan Pasal 8 Rv dan berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.

Adapun menurut ketentuan Pasal 8 Rv, uraian dalil gugatan wajib memiliki kesimpulan yang jelas dan spesifik (een duidelijk en bepaalde conclusie). Beberapa contoh gugatan kabur (obscuur libel) dalam persidangan perkara perdata yang dihimpun dari berbagai Yurisprudensi MA RI, antara lain kaburnya dasar dalil hukum gugatan, tidak diuraikan secara jelas objek gugatan, petitum kabur seperti tidak diuraikan secara rinci dan adanya pertentangan antara posita dengan petitun.

Sedangkan dalam praktik persidangan perdata yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara pertanahan, ada beberapa problematika yang mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak jelas dan kabur, antara lain, luas tanah yang dipermasalahkan dalam gugatan berbeda dengan hasil pemeriksaan setempat, tidak menerangkan secara terperinci alamat atau letak tanah yang minimal terdiri dari penyebutan jalan, desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten sebagaimana Yurisprudensi MA RI Nomor 1149 K/Sip/1975. Selain itu, tidak samanya batas dan luas tanah dalam gugatan dengan yang dibawah penguasaan tergugat. 

Tidak diiuraikannya batas-batas tanah, juga menjadi preseden gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena obscuur libel. Namun, apakah untuk tanah bersertifikat yang di dalamnya terdapat atau terlampir denah atau gambar lokasi tanah, secara otomatis terkualifikasi sebagai gugatan tidak jelas atau kabur. 

Sesuai kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2626 K/Pdt/2019 dalam perkara antara Mashudi, dkk sebagai para penggugat melawan H. Supeno, dkk selaku para tergugat, pada pertimbangan hukumnya menjelaskan gugatan dinyatakan kabur (obscuur libell), karena ternyata para penggugat tidak menerangkan mengenai batas-batas tanah yang dipersengketakan, meskipun sudah terdapat sertifikat hak atas tanah di objek sengketa. Namun sertifikat hak atas tanah bukanlah menunjukan bukti batas-batas tanah, melainkan hanya bukti kepemilikan. 

Bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2626 K/Pdt/2019 yang diputus 7 Oktober 2019 oleh Majellis Hakim Agung yang diketuai H. Hamdi, S.H., M.Hum dengan didampingi Maria Anna Samiyati, S.H., M.H. dan Dr. H. Panji Widagdo, S.H., M.H., terdapat dalam kolom kompilasi kaidah hukum, pada Direktori Putusan Mahkamah Agung RI. 

Semoga uraian kaidah hukum Yurisprudensi MA RI mengenai gugatan tanah bersertifikat yang tidak mencantumkan batas-batas tanah dalam gugatan, menjadi referensi bagi para hakim dalam mengadili perkara serupa dan menambah cakrawala pengetahuan bagi para akademisi serta praktisi hukum lainnya. 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews