Pendahuluan
Dalam lanskap demokrasi modern, tidak ada institusi yang lebih paradoksal daripada peradilan. Di satu sisi, hakim dituntut untuk menjadi sosok yang dapat diakses dan dekat dengan rakyat, sebuah aspirasi yang sejalan dengan semangat egalitarian demokrasi.
Di sisi lain, mereka harus mempertahankan aura dignitas dan otoritas yang diperlukan untuk menjalankan fungsi yudisialnya dengan efektif. Paradoks ini menjadi semakin kompleks di Indonesia, di mana tradisi hierarkis bertemu dengan tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik yang semakin menguat.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana menjaga keseimbangan antara kesederhanaan yang autentik dengan profesionalitas yang bermartabat? Apakah mungkin seorang hakim tetap dapat menjalankan fungsinya dengan optimal sambil menjalani gaya hidup yang sederhana dan terbuka? Atau justru ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar dalam upaya mendekatkan diri kepada masyarakat?
Filosofi Martabat Yudisial dalam Konteks Demokrasi
Konsep martabat yudisial (judicial dignity) bukanlah sekedar formalitas seremonial, melainkan fondasi epistemologis dari otoritas hukum itu sendiri. Max Weber dalam analisisnya tentang otoritas legal-rasional menunjukkan, legitimasi hukum modern bergantung pada persepsi publik terhadap imparsialitas dan kompetensi institusi peradilan (Max Weber, 1978). Ketika hakim tampil dalam kesederhanaan yang berlebihan, risiko yang muncul bukan hanya degradasi simbolik, tetapi juga erosi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan secara keseluruhan.
Namun, di era post-otoriter seperti Indonesia pasca-1998, tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas telah mengubah paradigma tradisional tentang jarak sosial antara penyelenggara negara dengan rakyat. Hakim tidak lagi dapat bersembunyi di balik tembok kemegahan institusionalnya. Mereka dituntut untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mereka layani, bukan kasta terpisah yang hidup dalam kemewahan yang tidak terjangkau oleh rakyat biasa.
Dilema ini memerlukan pendekatan yang lebih bernuansa daripada sekadar dikotomi antara "sederhana" versus "mewah". Yang diperlukan adalah konsep "kesederhanaan bermartabat" (dignified simplicity), sebuah gaya hidup yang menunjukkan integritas personal tanpa mengorbankan otoritas profesional.
Standar Berpakaian: Simbolisme dan Substansi
Pakaian adalah bahasa nonverbal yang paling kuat dalam komunikasi sosial. Bagi hakim, pilihan berpakaian bukan semata preferensi personal, tetapi statement politik tentang bagaimana mereka memposisikan diri dalam struktur sosial. Tradisi toga hitam yang dikenakan hakim di pengadilan, misalnya, bukan sekadar seragam, tetapi simbol dari imparsialitas, kontinuitas tradisi hukum, dan jarak profesional yang diperlukan untuk membuat keputusan yang objektif.
Di Indonesia, standar berpakaian hakim diatur dalam berbagai regulasi, mulai dari Peraturan Mahkamah Agung hingga kode etik profesi. Namun, regulasi formal ini seringkali tidak mampu menangkap kompleksitas situasi di mana hakim harus berinteraksi dengan publik di luar ruang pengadilan. Bagaimana seorang hakim harus berpakaian ketika berbelanja di pasar tradisional? Atau ketika menghadiri acara kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya?
Pengalaman negara-negara lain memberikan perspektif yang menarik. Di Inggris, tradisi judicial wig dan robe yang sangat formal di pengadilan dikombinasikan dengan kebebasan berpakaian kasual di luar jam kerja, dengan pemahaman bahwa dignitas judicial terikat pada konteks dan fungsi, bukan pada penampilan 24 jam sehari. Sebaliknya, di Jepang, konsep tatemae (wajah publik) mengharuskan hakim untuk mempertahankan standar berpakaian yang relatif formal bahkan di luar pengadilan, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka (Ichiro Kitamura, 1993).
Model yang seharusnya dapat diadaptasi untuk Indonesia adalah konsep contextual formality-standar berpakaian yang disesuaikan dengan konteks interaksi, namun tetap mempertahankan elemen-elemen yang menunjukkan keseriusan dan profesionalitas. Ini berarti hakim dapat berpakaian sederhana namun tetap rapi dan sopan, menghindari ekstrem kemewahan maupun kecerobohan dalam penampilan.
Gaya Hidup: Antara Transparansi dan Privasi
Isu gaya hidup hakim menjadi semakin kompleks di era media sosial dan jurnalisme investigatif. Setiap aspek kehidupan personal hakim berpotensi menjadi sorotan publik, dari rumah yang mereka tempati hingga kendaraan yang mereka gunakan. Fenomena ini menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa, di mana hakim harus terus-menerus menunjukan kesederhanaan mereka di hadapan publik.
Namun, transparansi yang berlebihan juga dapat menjadi kontraproduktif. Ketika hakim terlalu terbuka tentang kehidupan personalnya, batas antara ruang publik dan privat menjadi kabur, yang pada akhirnya dapat mengganggu independensi yudisial. Hakim yang terus-menerus khawatir tentang persepsi publik terhadap gaya hidupnya mungkin akan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan popularitas daripada keadilan.
Pengalaman negara-negara Skandinavia menawarkan model yang menarik. Di negara-negara seperti Denmark dan Swedia, hakim memang menjalani gaya hidup yang relatif sederhana, namun ini lebih merupakan refleksi dari budaya egalitarian masyarakat secara keseluruhan daripada tuntutan khusus terhadap profesi hakim (Synnøve Bendixsen, 2018) Kesederhanaan mereka otentik karena tidak dipaksakan, melainkan merupakan bagian natural dari nilai-nilai sosial yang mereka anut.
Di Indonesia, tantangannya adalah menciptakan norma sosial yang memungkinkan hakim untuk hidup dengan wajar sesuai dengan penghasilan yang sah, tanpa tekanan untuk menunjukkan kemiskinan “buatan” demi memenuhi ekspektasi populis. Ini memerlukan perubahan pola pikir yang lebih dewasa di masyarakat dalam memahami perbedaan antara kesederhanaan yang orisinil dengan kemewahan yang tidak proporsional.
Perbandingan Internasional: Lessons Learned
Studi komparatif terhadap berbagai sistem peradilan menunjukkan berbagai pendekatan dalam mengelola citra dan gaya hidup hakim. Di Amerika Serikat, Judicial Conduct Codes mengatur, hakim harus menghindari aktivitas yang dapat menimbulkan kesan impropriety (ketidakpantasan), namun tidak secara spesifik mengatur standar gaya hidup (Model Code of Judicial Conduct, 2020). Penekanannya lebih pada substansi perilaku etis daripada penampilan.
Kontras dengan ini, di Singapura, hakim diberikan gaji yang sangat tinggi dengan ekspektasi yang jelas bahwa mereka akan menjalani gaya hidup yang mencerminkan status profesional mereka. Filosofinya adalah, dengan memberikan kompensasi yang memadai (adequate), hakim akan terhindar dari godaan korupsi dan dapat mempertahankan independensi mereka (Tey Tsun Hang, 2010).
Model Jerman menawarkan pendekatan middle ground yang mungkin relevan untuk Indonesia. Hakim di Jerman diharapkan untuk menjalani gaya hidup yang angemessen (pantas/wajar), tidak mewah berlebihan namun juga tidak secara artifisial terlihat sederhana. Standar ini diinterpretasikan secara kontekstual dengan mempertimbangkan posisi, pengalaman, dan tanggung jawab masing-masing hakim (Guidelines on Judicial Ethics and Professional Conduct, 2019).
Di Korea Selatan, reformasi pascademokratisasi 1980-an menghasilkan model yang menarik di mana hakim senior secara aktif menunjukkan gaya hidup yang sederhana sebagai bagian dari kampanye untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Namun, ini dilakukan sebagai pilihan kolektif profesi, bukan sebagai persyaratan yang diamanatkan peraturan (Woo-young Rhee, 2019).
Tantangan Implementasi di Indonesia
Konteks Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri yang tidak sepenuhnya dapat dibandingkan dengan negara-negara lain. Pertama, kesenjangan ekonomi yang masih sangat lebar membuat setiap tampilan kemewahan dari pejabat publik menjadi sensitif secara politis. Kedua, warisan budaya feodal yang masih kuat menciptakan ekspektasi ambivalen terhadap figur otoritas-di satu sisi dituntut rendah hati, di sisi lain diharapkan memiliki karisma dan wibawa.
Ketiga, sistem remunerasi hakim di Indonesia yang relatif rendah (dibandingkan dengan profesi hukum di sektor swasta) menciptakan tensi antara ekspektasi gaya hidup sederhana dengan realitas kebutuhan hidup yang layak untuk profesi dengan tanggung jawab yang besar. Keempat, perbedaan kondisi ekonomi regional yang sangat signifikan membuat standar "kesederhanaan" di Jakarta berbeda dengan di daerah terpencil.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan pendekatan yang bersifat adaptif dan kontekstual. Alih-alih menetapkan standar rigid yang berlaku universal, lebih baik mengembangkan prinsip-prinsip yang dapat diinterpretasikan secara fleksibel sesuai dengan kondisi lokal, namun tetap mempertahankan nilai utama dari integritas dan profesionalitas.
Rekomendasi: Menuju Kesederhanaan Bermartabat
Berdasarkan analisis di atas, menurut penulis beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk menjaga keseimbangan antara kesederhanaan dan profesionalitas hakim di Indonesia:
Pertama, perlu dikembangkan konsep "proportionate lifestyle"-gaya hidup yang proporsional dengan penghasilan sah dan tanggung jawab profesi. Ini berarti hakim tidak dituntut untuk hidup di bawah standar ekonomi mereka, namun juga harus menghindari pemandangan kemewahan yang tidak beralasan.
Kedua, standar berpakaian perlu dibuat lebih spesifik namun fleksibel, dengan kategorisasi berdasarkan konteks: formal untuk pengadilan, kasual untuk acara resmi di luar pengadilan, dan santai namun layak untuk interaksi sosial informal. Yang penting adalah konsistensi dalam menunjukkan penghormatan terhadap institusi dan masyarakat.
Ketiga, perlu ada mekanisme peer review (evaluasi dari rekan sejawat) dan mentoring dalam profesi hakim untuk memberikan panduan tentang ethical lifestyle choices (gaya hidup yang sejalan dengan kode etik hakim). Ini menurut penulis lebih efektif daripada regulasi top-down yang seringkali kaku dan tidak praktis.
Keempat, edukasi publik tentang independensi yudisial dan mengapa hakim perlu mempertahankan tingkat martabat tertentu dalam penampilan dan gaya hidup mereka. Publik perlu memahami bahwa ini bukan tentang elitisme, tetapi tentang menjaga kepercayaan dan rasa hormat terhadap institusi peradilan.
Kesimpulan
Menjaga martabat hakim di era tuntutan kesederhanaan bukanlah tentang memilih antara yang satu atau yang lain, melainkan tentang menemukan sintetis yang otentik dan berkelanjutan. Kesederhanaan yang sejati bukan tentang menampilkan kemiskinan palsu, tetapi tentang hidup dengan integritas dan menghindari ekses yang tidak dibutuhkan.
Apa yang diperlukan adalah evolusi kesadaran, baik dari sisi hakim maupun masyarakat, untuk memahami bahwa kehormatan sejati datang dari integritas dalam menjalankan tugas, bukan dari simbol eksternal semata. Hakim yang sederhana namun bermartabat adalah mereka yang dapat menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mereka layani, namun tetap mempertahankan profesionalitas dan independensi yang diperlukan untuk menegakkan keadilan.
Dalam jangka panjang, solusi berkelanjutan untuk dilema ini hanya dapat dicapai melalui perubahan kultural yang bertahap, di mana nilai-nilai integritas, profesionalitas, dan pelayanan publik menjadi lebih penting daripada pertunjukan simbolis kekayaan atau kemiskinan. Ini tentu adalah perjalanan yang memerlukan komitmen jangka panjang dari seluruh pemangku kebijakan dalam sistem peradilan Indonesia.