7 Poin Penting untuk Jaga Kesehatan Mental Hakim

Dengan kesehatan mental yang baik seorang hakim diharapkan dapat memaknai hidup dan segala yang terjadi di sekitarnya secara positif dan optimis.
Ilustrasi, kesehatan mental hakim. Foto gemini.google.com/
Ilustrasi, kesehatan mental hakim. Foto gemini.google.com/

MARINews, Jakarta-Hakim bukan sekedar profesi, melainkan panggilan untuk menegakkan keadilan di tengah riuhnya suara kepentingan dan dinamika sosial yang terus bergerak. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia, Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., pada Webinar “Pembekalan Mental Health Awareness dalam Menyongsong Tugas Mulia sebagai Hakim Peradilan Agama”. 

Workshop yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama tersebut, turut menghadirkan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bagus Takwin, M.Hum. selaku narasumber kedua. 

Topik mengenai kesadaran kesehatan mental ini sejatinya juga sangat relevan dengan tugas para hakim dari lingkungan peradilan lainnya, yakni hakim peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer. Untuk itu, penulis akan menguraikan beberapa poin penting yang disampaikan oleh para narasumber sebagaimana tulisan berikut ini.

Prinsip dalam Menangani Suatu Perkara

Dalam pemaparannya, Nani Indrawati menjelaskan, letak kemuliaan dan daya tarik dari profesi hakim yang diwajibkan adalah, untuk senantiasa menjaga integritas ketika godaan datang bertubi-tubi. Begitu juga untuk merumuskan keadilan yang hidup, bukan sekedar berdasarkan teks tetapi, juga berdasarkan konteksnya.

“Karena sejatinya, menjadi hakim adalah merangkai nalar, hati nurani dan keberanian dalam satu garis lurus demi keadilan yang sejati,” jelas Nani Indrawati.

Selanjutnya, ia memberi semangat kepada para hakim yang masih bertugas di Pengadilan Kelas II. Menurutnya, penugasan di kelas tersebut merupakan kesempatan yang baik untuk belajar, karena jumlah perkara belum terlalu banyak dan tingkat kesulitannya relatif rendah.

Nani Indrawati menambahkan, proses belajar tidak harus selalu melalui jalur formal seperti S-2 atau S-3. Membaca buku, berdiskusi dengan rekan sesama hakim, maupun berdialog dengan pimpinan juga merupakan cara efektif untuk mengasah profesionalitas.

Hakim Agung Kamar Perdata itu juga membagikan prinsip yang selalu ia pegang dalam menangani perkara, yakni: tidak memiliki kepentingan lain selain menegakkan hukum dan keadilan.

“Satu-satunya kepentingan saya adalah menyelesaikan perkara sebaik mungkin agar bisa memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak,” tegasnya.

Karena itu, lanjut Nani Indrawati, hakim sebenarnya bisa lebih mudah bersikap independen, karena konstitusi menjamin bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.

Pentingnya Komitmen Keluarga dalam Hadapi Tantangan Sebagai Hakim 

Benih dari stres dapat datang dari keadaan seorang hakim yang secara periodik dimutasi/dipromosi ke kota lain. Nani Indrawati menuturkan, menjadi hakim harus adaptif terhadap lingkungan baru. Tentunya akan menjadi suatu masalah di kemudian hari apabila seorang hakim belum selesai dengan adaptasi lingkungan sedangkan hakim tersebut diberikan tugas penyelesaian perkara.

Berkaitan dengan tantangan dalam lingkup keluarga, Nani Indrawati menjelaskan, kunci untuk menjaga saling setia sebuah rumah tangga adalah adanya komitmen kuat dengan pasangan. Selain itu, komitmen untuk saling mengunjungi dalam suatu periode yang terukur juga menjadi hal penting yang harus dibicarakan dengan pasangan. 

Untuk itu, Nani Indrawati menyarankan agar memberikan pemahaman kepada anak-anak dengan bahasa yang sederhana perihal ketidakhadiran seorang ibu menemani anak-anaknya terkait tour of duty seorang hakim.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum BPHPI tersebut membagikan tiga kunci sukses menjadi seorang hakim, sebagai berikut:

- Kewajiban untuk senantiasa mengasah ilmu teknis judisial, sehingga hakim menjadi handal dalam menangani perkara khususnya hukum acara.

- Menjaga integritas, dengan tidak menggapai sesuatu yang tidak sesuai dengan besaran gaji seorang hakim. Hal ini agar hakim tidak gampang tergoda dengan apa yang diiming-imingi oleh para pihak.

- Mengasah hati nurani agar tetap sensitif guna melahirkan putusan yang progresif.

Pada akhir pemaparannya, Nani Indrawati sebagai Ketua Umum BPHPI mengaku, telah memberi usulan kepada pimpinan Mahkamah Agung agar memfasilitasi para hakim dengan kehadiran seorang psikolog dalam masing-masing satuan kerja yang hadir seminggu sekali atau maksimum dua minggu sekali sebagai tempat konsultasi.

Harapannya, kehadiran psikolog dimaksud dapat memberikan bekal kepada para hakim agar dapat mengelola stres dengan baik sehingga tidak mengganggu jiwa seorang hakim yang dapat berpotensi menuju ke arah depresi.

Mengapa Kesadaran Kesehatan Mental bagi Hakim Begitu Penting?

Narasumber kedua yaitu, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bagus Takwin, M.Hum., memberikan penekanan akan pentingnya kesadaran kesehatan mental bagi hakim.

“Kesadaran akan kesehatan mental hakim merupakan isu penting dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Karena peran dan tanggung jawab hakim sangat berat dan penuh tekanan,” ujarnya.

Ia menyebutkan, tekanan dalam profesi hakim dapat berupa menangani perkara yang kompleks secara objektif dan adil di antara tekanan publik, politik atau media. Selain itu, hakim menghadapi kasus-kasus emosional seperti perkara pidana berat, kekerasan dalam rumah tangga atau sengketa keluarga yang dapat menimbulkan stres kronis.

Selain itu, Bagus Takwin menuturkan, menjaga kesehatan mental hakim dalam hal seringnya berpindah tugas ke berbagai daerah di Indonesia turut menjadi tantangan yang sangat berat bagi hakim dan menjadi penting sekali untuk dipikirkan.

Hakim dituntut untuk memiliki kondisi yang prima dan stabilitas psikologis dengan objektivitas dan integritas tinggi dalam tugasnya yang menerima, memeriksa dan memutus perkara.

Bagus Takwin menuturkan, hakim yang baru dipindahkan ke tempat baru akan berhadapan dengan ketidakpastian dan perlu adaptasi dengan budaya lokal. Sebagaimana diketahui, setiap daerah memiliki dinamika sosial, adat istiadat bahkan tafsir hukum yang berbeda beda secara implisit. 

Ia menyoroti adanya tekanan terhadap hakim untuk cepat menyesuaikan diri dan kesenjangan komunikasi yang dialami seorang hakim. Hal ini disebabkan, hakim terputus dari relasi sebelumnya dan dukungan emosional yang biasa hakim dapatkan, karena profesi hakim yang menuntut untuk berpindah tugas ke berbagai tempat baru dan terjadi secara berulang kali.

“Risikonya, membuat hakim merasa kesepian dan rasa kehilangan support system. Kemudian kita melihat, tekanan psikologis profesi hakim tetap jalan terus, objektivitas, independensi, pengambilan keputusan atas perkara-perkara berat tersebut. Bayangkan betapa beratnya tugas menjadi hakim. Efeknya panjang,” papar Bagus Takwin panjang lebar.

Tekanan berat itu, ia menyebut, nantinya dapat menyebar ke gangguan-gangguan yang lain seperti gangguan tidur, lelah emosional, tidak bersemangat mengerjakan apapun. Apabila stres berlebih dapat menimbulkan burn out dan yang terburuk dapat kehilangan kontak realitas hingga bisa menjadi gangguan psikosis.

Dekan Fakultas Psikologi UI tersebut menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental bagi para hakim. Hal ini diperlukan agar dapat menjamin kualitas putusan yang adil, bijak dan berimbang serta menjaga integritas lembaga peradilan. Secara pribadi, kesehatan mental penting untuk kebahagiaan masing-masing hakim agar dapat bekerja optimal dalam jangka panjang.

“Menyadari kesehatan mental sendiri itu, merupakan dasar kunci dari pengelolaan diri yang sehat dan lebih jauh dapat memungkinkan hakim untuk memaknai hidup secara lebih bermakna dan lebih baik dengan memandang positifnya hidup,” tegasnya.

Di tengah pemaparannya, Bagus Takwin menggambarkan seorang hakim yang banyak mengeluh atas sedikitnya rezeki yang didapat dan banyaknya pekerjaan. Ia menilai, hakim seperti itu memiliki indikasi masalah kesehatan mental. Dengan kesehatan mental yang baik seorang hakim diharapkan dapat memaknai hidup dan segala yang terjadi di sekitarnya secara positif dan optimis.

Tujuh Poin Penting untuk Jaga Kesehatan Mental Hakim

Pada akhir pemaparannya, Bagus Takwin menyebut tujuh poin penting yang harus diperhatikan para hakim guna menjaga kesehatan mental di tengah tekanan pekerjaan sehari-hari sebagai berikut:

Pertama, untuk bisa bertahan dengan baik dalam menghadapi beban tanggung jawab yang besar, hakim disarankan untuk melakukan refleksi personal secara rutin setelah sidang.

Misalnya dengan mencatat hal-hal yang sudah dilakukan secara adil dan objektif, apa yang masih bisa ditingkatkan dan apakah yang dilakukan selama ini telah sejalan dengan nilai-nilai dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Selain itu, membangun forum diskusi terbatas dengan rekan sesama hakim untuk berbagi pengalaman tanpa melanggar independensi juga tak kalah penting. 

“Percayai proses hukum dan pahami bahwa tidak semua beban hasil putusan berada pada pundak Anda secara pribadi,” ujar Bagus Takwin.

Kedua, menjaga netralitas dan independensi di tengah tekanan dengan berfokus pada prinsip hukum dan fakta persidangan sebagai landasan utama pengambilan putusan, bukan berdasar pada opini publik atau tekanan eksternal.

Hakim dapat menyimpan dokumentasi atau log tekanan eksternal (jika ada) dan laporkan melalui saluran resmi seperti Komisi Yudisial atau Ketua Pengadilan bila perlu. Berbicara dengan hakim senior yang dipercaya, sebagai tempat untuk mencari perspektif tanpa harus memendam tekanan sendiri juga dapat menjadi pilihan bagi pribadi hakim.

Ketiga, mengatasi isolasi sosial dan profesional, dengan mengikuti kegiatan sosial atau keagamaan internal antarhakim dan keluarga hakim sebagai bentuk interaksi aman dan etis. Hakim dapat menyisihkan waktu berkualitas dengan keluarga secara rutin sebab dukungan emosional dari lingkungan pribadi sangat penting bagi ketahanan mental.

Selain itu, ciptakan rutinitas sederhana di luar pekerjaan seperti membaca, berolahraga, melakukan hobi lainnya untuk menjaga keseimbangan hidup dan menjauh dari tekanan isolasi.

Keempat, menghadapi kasus emosional dan traumatis dengan berlatih teknik self-care seperti deep breathing, menulis jurnal pribadi, atau berbicara dengan seseorang yang dipercaya di luar substansi perkara. Hakim dapat meminta penugasan rotasi perkara jika merasa terlalu sering menangani perkara berat seperti kasus kekerasan terhadap anak atau pembunuhan.

“Pisahkan juga identitas pribadi dari beban perkara. Anda adalah hakim yang bertugas menegakkan hukum, bukan pihak yang harus memikul penderitaan setiap korban.” tegasnya.

Kelima, mengelola beban kerja dan tekanan waktu dengan menggunakan fitur SIPP dan aplikasi manajemen perkara untuk mengefisienkan pekerjaan administratif. Penting bagi hakim untuk menentukan prioritas perkara setiap hari dan menghindari perfeksionisme berlebih dalam hal yang tidak prinsipil. Hakim juga dapat mengambil waktu istirahat singkat di sela sidang atau setelah menyusun putusan selama 10-15 menit untuk meregangkan pikiran.

Keenam, mengatasi kurangnya dukungan psikologis institusional dengan mencari dukungan profesional secara pribadi, seperti psikolog atau konselor. Apabila merasa tekanan tidak bisa ditangani sendiri, gunakan layanan konseling online terpercaya sebagai alternatif awal apabila belum tersedia layanan dari MA. 

Ketujuh, menguatkan kepribadian hakim untuk kesehatan mental dengan pengembangan resiliensi psikologis, penguatan identitas profesional dan makna tugas, pengelolaan beban kerja dan stres organisasi, peningkatan kompetensi emosional dan sosial serta penguatan jaringan dukungan sosial.

“Hakim itu, semulia-mulianya, sehebat-hebatnya dan seberat-beratnya tugas, tetap manusia biasa yang mentalnya perlu dirawat dan dijaga supaya kesehatan mentalnya baik. Sadari dan waspadai terhadap kondisi kesehatan mental Anda. Karena kondisi mental yang baik jadi syarat bagi hakim dapat bekerja dengan baik.” tandasnya di akhir pemaparan materi.

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews