Batas Kewenangan Mengadili Perkara Permohonan yang Tak Diatur Undang-Undang dan Solusi Yuridisnya

Tanpa dasar hukum yang jelas, setiap penetapan berpotensi kehilangan legitimasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto  Unsplash
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto Unsplash

Dalam menjalankan tugasnya, pengadilan memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara, termasuk perkara perdata dalam ranah hukum privat. Subjek hukum yang dapat mengajukan perkara adalah orang perseorangan atau badan hukum. Perkara perdata dapat bersifat sengketa (contentiosa) maupun nonsengketa (voluntary).

Sengketa diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan melalui gugatan (parte), dan diputuskan oleh pengadilan dalam bentuk putusan. Sementara itu, perkara nonsengketa diajukan secara sepihak (ex parte) melalui permohonan, dan diputus dalam bentuk penetapan. Dalam kasus tertentu, terdapat pengaturan yang eksepsional di mana permohonan dapat melibatkan dua pihak.

Berkaitan dengan perkara permohonan di lingkungan peradilan umum, pada dasarnya Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan apabila ditentukan oleh undang-undang. Namun dalam praktiknya, masih terdapat perkara permohonan yang diajukan ke Pengadilan Negeri d iluar dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Salah satu jenis permohonan yang sering diajukan adalah mengenai ditetapkannya orang yang sama atas dua dokumen hukum yang penulisan namanya berbeda. Terhadap permohonan semacam ini, terdapat perbedaan pandangan dari hakim pemeriksa perkara dalam memberikan pertimbangannya, ada yang mengabulkan, menolak, dan ada juga yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Pada kesempatan ini, penulis akan memberikan pandanganya terhadap perkara permohonan yang demikian.

Dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan, hakim harus memperhatikan ketentuan khusus (lex specialis) dari undang-undang yang dimaksud, termasuk tata cara pemeriksaan permohonan bersangkutan.

Ada beberapa hal yang secara khusus diatur dalam undang-undang untuk mengadili suatu permohonan. Hal-hal secara khusus tersebut, meliputi wilayah hukum pengadilan yang berwenang, kualifikasi pihak yang berhak mengajukan permohonan, tenggang waktu mengajukan permohonan, tata cara pemanggilan pihak, saksi-saksi terkait yang harus dipanggil untuk didengar dalam persidangan, alat bukti yang diajukan, hak dari para pihak dalam persidangan, produk atau hasil akhir persidangan apakah berbentuk putusan atau berbentuk penetapan dan lain sebagainya. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah apakah  Pengadilan negeri berwenang mengadili materi permohonan yang diajukan.

Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata khusus Edisi 2007, telah menggariskan ketentuan mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara permohonan.

Pada halaman 44 angka 6 disebutkan bahwa “Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.  Lebih lanjut di dalam Buku II juga telah ditentukan jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan ke Pengadilan Negeri (halaman 45 angka 11).

Berdasarkan ketentuan dalam Buku II, dapat dijadikan pedoman bahwa untuk menentukan apakah suatu permohonan dapat diperiksa dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri-atau termasuk dalam yurisdiksi voluntair-maka materi atau jenis permohonan tersebut harus secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa diperlukan penetapan dari pengadilan.

Dalam konteks permohonan sebagaimana disebutkan di atas, tidak ditemukan satu pun peraturan perundang-undangan yang menyebutkan, mengatur, atau mensyaratkan adanya penetapan pengadilan, untuk menyamakan nama pada dua dokumen hukum yang penulisannya berbeda.

Meskipun permohonan ini tidak termasuk dalam kategori larangan permohonan sebagaimana tercantum pada Halaman 47 angka 12 Buku II, penulis berpendapat, aspek kewenangan mengadili merupakan unsur esensial dalam memutus suatu perkara. Hal ini berkaitan erat dengan kepatuhan terhadap ketentuan prosedural (formil), yang pada akhirnya menentukan sah atau tidaknya produk hukum yang dihasilkan-dalam hal ini berupa penetapan pengadilan.

Dengan kata lain, apabila Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus perkara di luar kewenangannya, maka penetapan yang dijatuhkan menjadi tidak sah. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa permohonan semacam ini tidak memenuhi syarat formil, sehingga tidak dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri.

Lalu apa upaya yang harus ditempuh oleh pihak tersebut jika pada faktanya memang benar dia adalah orang yang sama dari dua dokumen hukum yang penulisannya berbeda?

Penulis berpendapat, ada dua cara. Pertama menggunakan proses administrasi dengan cara membuat surat keterangan yang dibuat dan ditandatangani oleh kepala pemerintahan (kepala desa/lurah), di mana pemohon tersebut bertempat tinggal. Dengan adanya surat keterangan tersebut, selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan administrasi dokumen-dokumen yang dimiliki pemohon dan dokumen lainnya milik pemohon. Apabila upaya pertama ini tidak berhasil dan ditolak oleh instansi yang menerbitkan dokumen tersebut, maka upaya yang kedua adalah dengan mengajukan gugatan.

Kedua, apabila dokumen tersebut berkaitan dengan hak kepemilikan, maka pihak yang merasa haknya dirugikan atas dua dokumen dengan penulisan namanya berbeda tersebut, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, di mana tergugatnya adalah instansi yang berwenang menerbitkan dokumen tersebut.

Pengadilan Negeri akan memeriksa alasan mengapa terjadi perbedaan penulisan nama antara dua dokumen hukum tersebut yang dihubungkan dengan alat bukti yang diajukan. Karena pada dasarnya dalam perkara gugatan, kewenangan Pengadilan Negeri tidak dibatasi sebagaimana perkara permohonan yang jenis permohonannya eksplisit ditentukan oleh undang-undang.

Namun demikian, tidak adanya pengaturan eksplisit yang melarang permohonan mengenai ditetapkannya orang yang sama atas dua dokumen hukum yang penulisan namanya berbeda akan terus timbul pandangan yang berbeda sehingga menyebabkan penetapan yang dijatuhkan berbeda pula. 

Kesimpulan

Perlu ditekankan kembali, kewenangan mengadili adalah asas fundamental yang tidak dapat diabaikan dalam setiap perkara. Tanpa dasar hukum yang jelas, setiap penetapan berpotensi kehilangan legitimasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh karena itu, selama belum terbit regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur mengenai permohonan penetapan identitas atas dokumen berbeda, Pengadilan Negeri seyogianya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima, sedangkan pihak yang merasa haknya dilanggar dapat menempuh mekanisme administrasi melalui instansi pemerintah setempat maupun mengajukan gugatan terhadap penerbit dokumen melalui Pengadilan Negeri.  

Saran

Menurut penulis, untuk menyamakan persepsi bagi hakim dan mencegah terjadinya disparitas terhadap perkara permohonan, maka diperlukan suatu peraturan khusus yang mengatur mengenai pedoman mengadili perkara permohonan. Dalam fungsi mengatur, Mahkamah Agung dapat untuk mengeluarkan kebijakan apabila terjadi kekosongan hukum acara. Atas hal tersebut, Mahkamah Agung perlu membentuk PERMA yang spesifik mengatur mengenai pedoman dalam mengadili perkara permohonan.