Amerika Serikat sebagai negeri adidaya, sering memainkan peran penting dalam menentukan arah kebijakan dunia. Pengaruh kuatnya di kancah global, sering menimbulkan pro dan kontra. Ada negara bersandar kepadanya sebagai sekutu atau bagian dari aliansi yang digagasnya seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Namun, tidak sedikit bersuara lantang menentang sikap dan kebijakan yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat, khususnya saat mencampuri kebijakan negara lainnya, ambil contoh Venezuela dan mayoritas negara di Amerika Latin menentang intervensi Amerika Serikat terhadap urusan domestik negara-negara di wilayah selatan benua Amerika.
Politik ikut campur Amerika Serikat dalam urusan negara lain, bukanlah hal baru dan sejarah mencatatkan beberapa peristiwa, dimana tidak sedikit berujung intervensi militer seperti keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam pada 1955-1975, perang Teluk antara Irak dan Kuwait pada 1990-1991, intervensi militer di Libya yang menjatuhkan Muammar Khadafi dari kursi presiden pada 2011, invasi Irak yang mengakibatkan jatuhnya rezim Saddam Hussein pada 2003, terlibat tindakan rahasia menggulingkan pemerintahan Salvador Allende di Chili pada 1973, dan peristiwa lainnya.
Amerika Serikat sendiri pernah berusaha mengintervensi kebijakan politik dalam negeri Indonesia, contohnya Amerika Serikat dengan memberikan dukungan kepada pemberontakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) yang berpusat di beberapa kota pulau Sulawesi seperti Makassar, Palu dan Manado.
Dukungan Amerika Serikat diketahui saat para penerbang AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan kapal perang Indonesia dari ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) menembak jatuh pesawat tempur berjenis B-26 milik pemerintah Amerika Serikat dan menangkap pilotnya Allen Lawrence Pope ketika berhasil keluar dari pesawatnya menggunakan parasut.
Pope ditugaskan pemerintah Amerika Serikat membantu pemberontakan Permesta dan berangkat dari Pangkalan Udara Amerika Serikat di Filipina pada 28 April 1958. Selanjutnya, bergabung dengan pemberontak Permesta di Manado, yang telah menguasai lapangan udara Mapanget (saat ini Landasan Udara Sam Ratulangi).
Pada 29 April 1958, Pope dengan didampingi seorang disersi AURI, Jan Harry Rantung, melakukan pengeboman pangkalan udara Wolter Monginsidi, di Sulawesi Tenggara dan selanjutnya Pangkalan Udara Pattimura, di Ambon.
Akibat perbuatan Pope, armada militer Indonesia mengalami kerusakan, antara lain pesawat tempur jenis dakota dan mustang. Puluhan personel AURI yang mempertahankan lapangan udara gugur. Selain sasaran militer Indonesia, Pope menyerang konsentrasi sipil di wilayah timur Indonesia. Tercatat ratusan warga sipil meregang nyawa akibat pengeboman yang dilakukan Pope menggunakan pesawat B-26.
Petualangan Pope membantu pemberontakan Permesta tidak berjalan mulus, pesawat yang dikemudikannya jatuh ditembak penerbang AURI dan kapal perang ALRI pada 18 Mei 1958. Kapal yang dikemudikannya hancur berkeping-keping, tetapi Pope dan Jan Harry Rantung berhasil menyelamatkan diri melalui parasut serta mendarat di Pulau Hatala, sebelah barat Kota Ambon. Tidak lama kemudian, prajurit KKO (saat ini marinir) berhasil menemukan dan menangkap Pope bersama Jan Harry Rantung.
Hampir setahun berlalu dari penangkapannya, Pope dihadapkan ke persidangan Pengadilan Militer Jakarta pada 28 Desember 1959. Persidangan Pope dipimpin oleh Mr. R Sardjono selaku Ketua Majelis dan didampingi Major Subambang serta Major Sumarno masing-masing sebagai hakim anggota.
Selama persidangan berlangsung, ruang sidang penuh sesak, di antara pengunjung sidang hadir juga pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta serta media lokal maupun luar negeri.
Tidak hanya dibuktikan mengenai keterlibatan langsung Pope membantu pemberontakan Permesta dengan mengebom instalasi militer, objek vital nasional dan pemukiman penduduk. Pengadilan Militer berdasarkan dokumen persidangan, menemukan adanya instruksi pemerintah Amerika Serikat kepada Pope untuk membantu perjuangan Permesta, sehingga pemerintah Indonesia saat itu menemukan adanya intervensi militer Amerika Serikat pada urusan domestik Indonesia.
Persidangan Pope berlangsung selama 17 kali dan Majelis Hakim berpendapat Pope terbukti bersalah melakukan pembunuhan warga sipil dan aparat militer Indonesia, melakukan perusakan harta benda negara dan masyarakat, serta terlibat dalam pemberontakan/perbuatan subversif terhadap pemerintah Indonesia. Atas perbuatannya, Pope divonis hukuman mati dan berkekuatan hukum tetap.
Pemerintah Amerika Serikat yang tidak menghendaki prajuritnya menjalankan hukuman mati, melakukan lobi politik kepada Presiden Soekarno. Pejabat tinggi Amerika Serikat, silih berganti mengunjungi Presiden Soekarno agar dapat membatalkan vonis mati kepada Pope.
Bahkan, Jaksa Agung Amerika Serikat Robert F Kennedy (adik kandung Presiden John F Kennedy), datang ke Jakarta secara langsung untuk menemui Presiden Soekarno. Selain itu, isteri Pope mengajukan amnesti untuk suaminya dan menemui Presiden Soekarno.
Atas permohonan diplomatik dari pemerintah Amerika Serikat dan pengajuan amnesti dari keluarga Pope, Pemerintah Indonesia menjadikannya sebagai instrumen diplomatik demi kepentingan bangsa, terutama untuk dapatkan dukungan pembebasan Irian Barat (saat ini Papua). Apalagi saat itu Belanda yang berkonflik dengan Indonesia terkait penguasaan Irian Barat, merupakan sekutu Amerika Serikat.
Pada akhirnya, Presiden Soekarno mengabulkan amnesti Pope dan mengirimnya kembali ke Amerika Serikat, serta meniadakan hukuman mati. Terhadap sikap Indonesia tersebut, Amerika Serikat membantu Indonesia dalam menyelesaikan persoalan Irian Barat, mendanai pembangunan jalan Jakarta Bypass (jalan dari Cawang menuju Tanjung Priok sejauh 27 km), mendapatkan persenjataan dan pesawat Hercules C130 B. Bahkan Indonesia tercatat sebagai negara pertama di luar Amerika Serikat, yang menggunakan Hercules C130 B.
Tidak jadi dihukum mati, Pope di ujung usianya mendapatkan penghargaan dari pemerintah Prancis atas jasanya dalam pertempuran di Dien Bien Phu Vietnam. Pope meninggal dunia dan dikebumikan pada 4 April 2020 di Amerika Serikat.