Mayoritas kolonialisme memberikan penderitaan bagi tanah jajahan, tidak terkecuali penjajahan Belanda di bumi pertiwi. Program yang diselenggarakan penjajah, meskipun dilegalisasi lewat pembentukan aturan hukum, tidak memberikan keadilan dan membawa kesejahteraan bagi rakyat terjajah.
Ambil contoh, kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang memberikan dampak positif berupa pelunasan hutang Belanda dan pengisian kekosongan perbendaharaan negara, memberikan penderitaan bagi rakyat bumiputera. Kelaparan dan penyakit merupakan dampak negatif dari sistem tanam paksa yang dibebankan kepada masyarakat selama 4 dekade.
Kritik dalam negeri Belanda, khususnya dari kelompok politik liberal terhadap kebijakan tanam paksa di Hindia Belanda (Indonesia dahulu) mengakibatkan penghentian tanam paksa. Kebijakan yang diatur dalam Staatsblad 1834 No.22 digantikan dengan pengesahan dan penerapan UU Gula (Suiker Wet 1870) serta UU Agraria Tahun 1870 (Agrarische Wet 1870).
Ketentuan Suiker Wet meniadakan keharusan pembudidayaan tebu oleh rakyat bumiputera sebagai komoditas perdagangan ke negeri lainnya. Adapun yang dizinkan untuk dijual adalah tebu yang telah bertransformasi menjadi gula setelah melewati proses penggilingan.
Pembentukan UU Gula tersebut, membuka kesempatan pihak swasta di luar Belanda, untuk menanamkan modalnya dalam pengelolaan atau industrialisasi gula di Hindia Belanda. Selain itu, UU Gula menegaskan kepemilikan tanah hanya diperbolehkan untuk warga bumiputera. Bagi warga negara non-Hindia Belanda dan perusahaan swasta hanya dizinkan menyewa tanah.
Secara berjenjang pemerintah kolonial, juga menihilkan keterlibatan dalam industri gula dengan swastanisasi dan menutup perusahaan plat merah milik Hindia Belanda. Bahkan diberikan tenggang waktu sampai dengan 1891, proses swastanisasi perusahaan gula milik pemerintah sudah harus diselesaikan dan tidak ada lagi keterlibatan pemerintah dalam produksi gula.
Pemerintah Belanda hanya bertindak sebagai pemungut pajak dari perusahaan swasta yang bergerak di industri gula. Era ini dinilai sebagai zaman liberalisasi ekonomi yang memberikan dampak positif masuknya investasi luar negeri ke Hindia Belanda, khususnya dalam industri gula.
Dalam dokumen sejarah, yang dihimpun para ahli sejarah menerangkan, terbitnya UU Gula berakibat meningkatnya stok gula di Hindia Belanda dan Hindia Belanda dikenal secara global sebagai negara penghasil gula terbanyak kedua di dunia, setelah Kuba di benua Amerika. Kas negara Belanda dipenuhi dari keuntungan swastanisasi dan penjualan gula di pasar dunia.
Namun, majunya industrialisasi gula melalui penanaman modal asing yang dilegalkan melalui Suiker Wet 1870 (UU Gula), belum menjawab problematika sosial rakyat terjajah.
Upah murah dan jam kerja yang melebihi taraf kemanusiaan masih menjadi isu krusial akibat industrialisasi gula setelah terbitnya aturan gula dimaksud. Walaupun harus diakui juga, terbitnya UU Gula merupakan cikal bakal pengakuan hak kepemilikan atas tanah bagi rakyat bumiputera dan penanaman modal asing di tanah Hindia Belanda.
Sumber Referensi:
- https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/14/110000879/suiker-wet-undang-undang-gula-di-era-hindia-belanda
- https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20241030140956-25-584235/kisah-ri-pertama-kali-impor-gula-terjadi-di-era-presiden-ini
- https://zcampus.indozone.id/news/2484932418/pahit-manis-undang-undang-gula-buat-belanda-kaya-namun-petani-menderita
- https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Gula_1870